Laman

Minggu, 22 Desember 2013

Pengembangan Etika Kepolisian

A.      Pendahuluan
Sejarah panjang telah membentuk kepolisian Indonesia yang menjadi polri pada saat ini. Tanpa mengurangi besarnya keberhasilan yang telah dicapai polisi, telah terbukti mampu menjadi salah satu pilar penegak keamanan yang mengantar pembangunan Bangsa dan Negara. Polisi terus berjuang keras, karena belum mampu menjawab tuntutan pelayanan masyarakat yang meningkat cepat sebagai hasil pembangunan, sedangkan kemampuan polisi nyaris tidak berkembang, celaan, cemoohan, tudingan bahwa polisi tidak professional.
Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki polisi yang professional, efektif, efisien, dan modern. Tetepi kita semua tahu, kendalanya sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya kecenderungan melemahnya penghayatan dan pengamalan Etika Kepolisian. Etika sendiri terbentuk dari endapan sejarah, budaya, kondisi social dan lingkungan dengan segala aspek dan prospeknya. Internalisasi dan penerapan Etika Kepolisian yang tidak mantap, merupakan faktor penyebab kurang dalamnya pendalaman etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam pembangunan.[1]
Tujuannya adalah berusaha meletakkan Etika Kepoloisian secara proposional berkaitan dengan masyarakat. Sekaligus juga bagi polisi berusaha memberikan bekal keyakinan bahwa internalisasi Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh,
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Etika kepolisian itu?
2.      Bagaimanakah Pengembangan Etika Kepolisian?



C.     Pembahasan
Etika Kepolisian
Etika adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia yang terkait dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku pada masyarakat. Sedang pengertian kepolisian pada intinya adalah aparat penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum ,keselamatan dan keamanan masyarakat. Jadi Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi penegak hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.[2]
Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang baik dan benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakatnya. Etika kepolisian dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik.
Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi seperti etika lainnya, walaupun usianya lebih tua. Hal itu disebabkan karena sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam, antara Negara yang satu dengan yang lain. Sehingga dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan kepolisian sering melupakan beberapa ciri atau karakter pelaku polisi atau sering disebut budaya polisi (Police Cultura) yang dominant pengaruhnya terhadap kegagalan tindakannya. Kecendrunga itu antara lain[3]:
a. Orientasi tindakan sering mengutamakan pencapaian hasil optimal (efektifitas), sehingga sering mengabaikan efisiensi.
b. Polisi diajar untuk selalu bersikap curiga, sehingga harus bertanya dengan detail. Sedangkan sikap curiga ini mengandung makna waspada dengan dasar pengertian etika.
c. Disatu pihak polisi dinilai tidak adil, tidak jujur, tidak professional, di pihak lain banyak petunjuk bahwa polisi harus mendukung dan menunjukkan solidaritas pada lingkungan.
d. Pragmatisme yang banyak mendatangkan keberhasilan, sering membuai polisi dan lalu melalaikan akar pragmatisme itu sendiri.
Proses penyimpangan etika di Amerika Serikat, yang pada hakekatnya terjadi dimana-mana, diawali dengan banyaknya penyimpangan etika kepolisian atau prilaku polisi yang tidak etis, berupa tindakan-tindakan kekerasan, penyimpangan berupa tindakan yang menyalahi prosedur, tindakan yang tidak melahirkan keadilan dan kebenaran dll. Hal itu mengakibatkan masyarakat sering memberi simpati pada orang-orang yang menjadi korban tindakan polisi itu, walaupun mereka berbuat jahat.[4]
Sikap antipati terhadap polisi itu meluas pada orang-orang yang diindikasi membantu polisi untuk mencelakakan sesama warga. Disana dikenal istilah fink (tukang lapor), stool pigeon yang kalau di Indonesia diistilahkan informan, orang yang diumpankan untuk menangkap penjahat, yang terburuk adalah chiken (pengecut), julukan ini diberikan kepada orang-orang yang menunjukkan penjahat bahkan kadang orang-orang yang tidak bersalah dilaporkan sebagai penjahat. Seballiknya, orang yang dianggap pahlawan kalau dia diam, tidak melapor, membiarkan kejahatan terjadi atau tidak memberikan kesaksian, walaupun dirinya bahkan nyawanya jadi taruhan. Kenyatan-kenyataan itulah yang membuat renggang polisi dengan masyarakat.[5]



Pengembangan Etika Kepolisian
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
a. Membangun masyarakat
Mewujudkan masyarakat yang mampu berbuat etis tidaklah mudah, karena harus memperhitungkan segenap unsur pendukung eksistensinya yang berdimensi sangat luas. Dengan mengasumsikan bahwa terdapat banyak dimensi prilaku masyarakat yang baik dan mendukung etika kepolisian dengan baik, maka dari banyak dimensi itu yang paling signifikan bagi pelaksanaan tugas polisi adalah berupa dimensi hukum, kepatuhan mereka kepada hukum dan sikap menolak gangguan keamanan atau pelanggaran hukum.
b. Membentuk polisi yang baik
Bibit-bibit atau calon polisi yang baik adalah dididik, dilatih, diperlengkapi dengan baik dan kesejahteraan yang memadai. Calon yang baik hanya dapat diperoleh dari masyarakat yang terdidik baik, persyaratan masuk berstandar tinggi, pengujian yang jujur dan fair (penuh keterbukaan), dan bakat yang memadai berdasarkan psikotes.
c. Membentuk pimpinan polisi yang baik
Pada dasarnya, sama dan serupa dengan proses membentuk individu polisi yang baik diatas. Namun, untuk pimpinan yang berstatus perwira harus dituntut standar yang lebih tinggi. Semakin tinggi pangkatnya maka semakin tinggi pula standar persaratannya, khususnya unsur kepemimpinannya.
5. Kode Etik
Pokok pikiran Don L.Kooken dalam bukunya “Ethis in PliceService” yang berpendapat bahwa Etika Kepolisian itu tidak mungkin dirumuskan secara universal semua dan berlaku sepanjang masa maka, rumusannya akan berbeda satu dengan yang lain. Namun suatu Kode Etik kepolisian yang baik adalah rumusan yang mengadung pokok pikiran sebagai berikut[6]:
1. Mengangkat kedudukan profesi kepolisian dalam pandangan masyarakat dan untuk memperkuat kepercayaan masyarakat kepada kepolisian.
2. Mendorong semangat polisi agar lebih bertanggung jawab.
3. Mengembangkan dan memelihara dukungan dan kerjasama dari masyarakat pada tugas-tugas kepolisian.
4. Mengalang suasana kebersamaan internal kepolisian untuk menciptakan pelayanan yang baik bagi mayarakat.
5. Menciptakn kerjasama dan kordinasi yang harmonis dengan sesama aparat pemerintah agar mencapai keuntungan bersama(sinegi).
6. Menempatkan pelaksanaan tugas polisi sebagai profesi terhormat dan memandang sebagai sarana berharga dan terbaik untuk mengabdi pada masyarakat.
Pokok pikiran ini dinilai sebagai cita-cita yang tinggi dan terhormat bagi kepolisian, dasar dari pola pikir pemikiran yang diangap bersifat universal. Sehingga Internasional Association of Chief of Police (IACP) atau Asosiasi Kepala-Kepala Kepolisian Iternasional yang selalu mengadakan pertemuan rutin setiap tahun di Amerika Serikat, menganggap masalah ini penting untuk dibahas dan disepakati untuk dijadikan pedoman perumusan Kode Etik Kepolisian, dijadikan pokok-pokok pikir pedoman, namun namun rumusan akhirnya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan instansi
Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan merupakn sarana untuk:[7]
  • Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
  •  Mencapai sukses penugasan
  •  Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat
  •  Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.
D.     Kesimpulan
Manfaat etika adalah memperkuat hati nurani yang baik dan benar, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat bagi masyarakat, karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakatnya. Sehingga dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik.
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan, ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik adalalh dengan cara-cara-cara:
a. Membangun masyarakat
b. Membentuk Polisi yang baik
c. Membentuk pimpinan polisi yang baik
Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan merupakn sarana untuk:
a. Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
b.  Mencapai sukses penugasan
c. Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat
d. Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.




E.     Penutup
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan, sebagai perbaikan penulis ke depan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita semua dalam kompetensi terkait.
F.      Daftar Pustaka
*   Suparlan, Parsudi. Kode etik untuk menunjang profesionalisme Polri. PTIK press. Jakarta. 2007
*    C.S.T. Kansil,  Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,  Balai Pustaka, Jakarta,1986. 
*   Adami Chazawi,  Pelajaran Hukum Pidana Bag. 1,  Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 67. 
*   Sumaryono,  Etika Profesi Hukum,  Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius, Yogyakarta, 1995,


[1] C.S.T. Kansil,  Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,  Balai Pustaka, Jakarta,1986, hal.257. 
[2] Sumaryono,  Etika Profesi Hukum,  Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius, Yogyakarta, 1995, Hal. 12.
[3] Ibid, hal. 15
[4] Suparlan, Parsudi. Kode etik untuk menunjang profesionalisme Polri. PTIK press. Jakarta. 2007. Hal. 57
[5] Ibid. hal 59
[6] Sumaryono,  Etika Profesi Hukum,  Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 1995. Hal. 49
[7] Suparlan, Parsudi, Loc.Cit. hal. 61