A.
Pendahuluan
Sejarah panjang telah membentuk kepolisian Indonesia
yang menjadi polri pada saat ini. Tanpa mengurangi besarnya keberhasilan yang
telah dicapai polisi, telah terbukti mampu menjadi salah satu pilar penegak
keamanan yang mengantar pembangunan Bangsa dan Negara. Polisi terus berjuang
keras, karena belum mampu menjawab tuntutan pelayanan masyarakat yang meningkat
cepat sebagai hasil pembangunan, sedangkan kemampuan polisi nyaris tidak
berkembang, celaan, cemoohan, tudingan bahwa polisi tidak professional.
Republik Indonesia ini sudah mendesak untuk memiliki
polisi yang professional, efektif, efisien, dan modern. Tetepi kita semua tahu,
kendalanya sangat banyak. Salah satu akar permasalah adalah adanya
kecenderungan melemahnya penghayatan dan pengamalan Etika Kepolisian. Etika
sendiri terbentuk dari endapan sejarah, budaya, kondisi social dan lingkungan
dengan segala aspek dan prospeknya. Internalisasi dan penerapan Etika
Kepolisian yang tidak mantap, merupakan faktor penyebab kurang dalamnya pendalaman
etika, sehingga polisi ditingkat pelaksanaan sangat labil, mudah goyah dan
terombang-ambing dalam gelombang dan gegap gempitanya perubahan dalam
pembangunan.[1]
Tujuannya adalah berusaha meletakkan Etika
Kepoloisian secara proposional berkaitan dengan masyarakat. Sekaligus juga bagi
polisi berusaha memberikan bekal keyakinan bahwa internalisasi Etika kepolisian
yang benar, baik dan kokoh,
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah Etika
kepolisian itu?
2.
Bagaimanakah Pengembangan
Etika Kepolisian?
C.
Pembahasan
Etika
Kepolisian
Etika adalah ilmu pengetahuan tentang perilaku
manusia yang terkait dengan norma dan nilai-nilai atau ukuran baik yang berlaku
pada masyarakat. Sedang pengertian kepolisian pada intinya adalah aparat
penegak hukum yang bertanggung jawab atas ketertiban umum ,keselamatan dan
keamanan masyarakat. Jadi Etika Kepolisian adalah norma tentang perilaku polisi
untuk dijadikan pedoman dalam mewujudkan pelaksanaan tugas yang baik bagi
penegak hukum, ketertiban umum dan keamanan masyarakat.[2]
Manfaat etika sebenarnya memperkuat hati nurani yang
baik dan benar dari diri pribadi, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan
bahwa hidupnya, pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah
berguna, bermanfaat bagi masyarakat, dan karenanya dia dihargai, diterima,
bahkan ditempatkan secara terhormat didalam masyarakatnya. Etika kepolisian
dapat mengangkat martabat kepolisian didalam masyarakat jika dilaksanakan
dengan baik.
Etika kepolisian saat ini memang belum mentradisi
seperti etika lainnya, walaupun usianya lebih tua. Hal itu disebabkan karena
sejak awal etika kepolisian itu terus berkembang dan berubah-ubah, sehingga isi
dan bentuk profesi kepolisian itu sendiri belum seragam, antara Negara yang
satu dengan yang lain. Sehingga dalam aplikasi, para pemikir dan pimpinan
kepolisian sering melupakan beberapa ciri atau karakter pelaku polisi atau
sering disebut budaya polisi (Police Cultura) yang dominant pengaruhnya
terhadap kegagalan tindakannya. Kecendrunga itu antara lain[3]:
a. Orientasi tindakan sering mengutamakan pencapaian
hasil optimal (efektifitas), sehingga sering mengabaikan efisiensi.
b. Polisi diajar untuk selalu bersikap curiga,
sehingga harus bertanya dengan detail. Sedangkan sikap curiga ini mengandung
makna waspada dengan dasar pengertian etika.
c. Disatu pihak polisi dinilai tidak adil, tidak
jujur, tidak professional, di pihak lain banyak petunjuk bahwa polisi harus
mendukung dan menunjukkan solidaritas pada lingkungan.
d. Pragmatisme yang banyak mendatangkan
keberhasilan, sering membuai polisi dan lalu melalaikan akar pragmatisme itu
sendiri.
Proses penyimpangan etika di Amerika Serikat, yang
pada hakekatnya terjadi dimana-mana, diawali dengan banyaknya penyimpangan
etika kepolisian atau prilaku polisi yang tidak etis, berupa tindakan-tindakan
kekerasan, penyimpangan berupa tindakan yang menyalahi prosedur, tindakan yang
tidak melahirkan keadilan dan kebenaran dll. Hal itu mengakibatkan masyarakat
sering memberi simpati pada orang-orang yang menjadi korban tindakan polisi
itu, walaupun mereka berbuat jahat.[4]
Sikap antipati terhadap polisi itu meluas pada
orang-orang yang diindikasi membantu polisi untuk mencelakakan sesama warga.
Disana dikenal istilah fink (tukang lapor), stool pigeon yang
kalau di Indonesia diistilahkan informan, orang yang diumpankan untuk
menangkap penjahat, yang terburuk adalah chiken (pengecut), julukan ini
diberikan kepada orang-orang yang menunjukkan penjahat bahkan kadang
orang-orang yang tidak bersalah dilaporkan sebagai penjahat. Seballiknya, orang
yang dianggap pahlawan kalau dia diam, tidak melapor, membiarkan kejahatan
terjadi atau tidak memberikan kesaksian, walaupun dirinya bahkan nyawanya jadi
taruhan. Kenyatan-kenyataan itulah yang membuat renggang polisi dengan
masyarakat.[5]
Pengembangan
Etika Kepolisian
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan,
ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik
adalah dengan cara-cara sebagai berikut:
a.
Membangun masyarakat
Mewujudkan
masyarakat yang mampu berbuat etis tidaklah mudah, karena harus memperhitungkan
segenap unsur pendukung eksistensinya yang berdimensi sangat luas. Dengan
mengasumsikan bahwa terdapat banyak dimensi prilaku masyarakat yang baik dan
mendukung etika kepolisian dengan baik, maka dari banyak dimensi itu yang
paling signifikan bagi pelaksanaan tugas polisi adalah berupa dimensi hukum,
kepatuhan mereka kepada hukum dan sikap menolak gangguan keamanan atau
pelanggaran hukum.
b.
Membentuk polisi yang baik
Bibit-bibit
atau calon polisi yang baik adalah dididik, dilatih, diperlengkapi dengan baik
dan kesejahteraan yang memadai. Calon yang baik hanya dapat diperoleh dari
masyarakat yang terdidik baik, persyaratan masuk berstandar tinggi, pengujian
yang jujur dan fair (penuh keterbukaan), dan bakat yang memadai berdasarkan
psikotes.
c.
Membentuk pimpinan polisi yang baik
Pada
dasarnya, sama dan serupa dengan proses membentuk individu polisi yang baik
diatas. Namun, untuk pimpinan yang berstatus perwira harus dituntut standar
yang lebih tinggi. Semakin tinggi pangkatnya maka semakin tinggi pula standar
persaratannya, khususnya unsur kepemimpinannya.
5.
Kode Etik
Pokok
pikiran Don L.Kooken dalam bukunya “Ethis in PliceService” yang
berpendapat bahwa Etika Kepolisian itu tidak mungkin dirumuskan secara
universal semua dan berlaku sepanjang masa maka, rumusannya akan berbeda satu
dengan yang lain. Namun suatu Kode Etik kepolisian yang baik adalah rumusan
yang mengadung pokok pikiran sebagai berikut[6]:
1. Mengangkat kedudukan profesi kepolisian dalam
pandangan masyarakat dan untuk memperkuat kepercayaan masyarakat kepada
kepolisian.
2. Mendorong semangat polisi agar lebih bertanggung
jawab.
3. Mengembangkan dan memelihara dukungan dan
kerjasama dari masyarakat pada tugas-tugas kepolisian.
4. Mengalang suasana kebersamaan internal kepolisian
untuk menciptakan pelayanan yang baik bagi mayarakat.
5. Menciptakn kerjasama dan kordinasi yang harmonis
dengan sesama aparat pemerintah agar mencapai keuntungan bersama(sinegi).
6. Menempatkan pelaksanaan tugas
polisi sebagai profesi terhormat dan memandang sebagai sarana berharga dan
terbaik untuk mengabdi pada masyarakat.
Pokok pikiran ini dinilai sebagai cita-cita yang
tinggi dan terhormat bagi kepolisian, dasar dari pola pikir pemikiran yang
diangap bersifat universal. Sehingga Internasional Association of Chief of
Police (IACP) atau Asosiasi Kepala-Kepala Kepolisian Iternasional yang
selalu mengadakan pertemuan rutin setiap tahun di Amerika Serikat, menganggap
masalah ini penting untuk dibahas dan disepakati untuk dijadikan pedoman
perumusan Kode Etik Kepolisian, dijadikan pokok-pokok pikir pedoman, namun
namun rumusan akhirnya disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan instansi
Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan
merupakn sarana untuk:[7]
- Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
- Mencapai sukses penugasan
- Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat
- Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.
D.
Kesimpulan
Manfaat etika adalah memperkuat hati nurani yang
baik dan benar, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan bahwa hidupnya,
pengabdiannya, pelaksanaan tugasnya dan tingkah lakunya adalah berguna, bermanfaat
bagi masyarakat, karenanya dia dihargai, diterima, bahkan ditempatkan secara
terhormat didalam masyarakatnya. Sehingga dapat mengangkat martabat kepolisian
didalam masyarakat jika dilaksanakan dengan baik.
Pengembangan Etika Kepolisian dapat dilakukan,
ditumbuhkan, dibangun dan dipupuk agar dapat subur dan berkembang dengan baik
adalalh dengan cara-cara-cara:
a.
Membangun masyarakat
b.
Membentuk Polisi yang baik
c.
Membentuk pimpinan polisi yang baik
Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh, akan merupakn
sarana untuk:
a. Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai
seorang polisi, yang kemudian dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
b. Mencapai
sukses penugasan
c. Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar
membentuk partisipasi masyarakat
d. Mewujudkan polisi yang professional, efektif,
efesien dan modern, yang bersih dan berwibawa, dihargai dan dicintai
masyarakat.
E.
Penutup
Demikian makalah
yang dapat penulis sampaikan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat penulis
harapkan, sebagai perbaikan penulis ke depan. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan kita semua dalam kompetensi terkait.
F.
Daftar
Pustaka
Suparlan,
Parsudi. Kode etik untuk menunjang
profesionalisme Polri. PTIK press. Jakarta. 2007
C.S.T. Kansil,
Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,1986.
Adami
Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bag.
1, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2005, hal. 67.
Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, (Kanisius,
Yogyakarta, 1995,
[1] C.S.T.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta,1986, hal.257.
[2] Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum,
(Kanisius, Yogyakarta, 1995, Hal. 12.
[3] Ibid, hal.
15
[4] Suparlan,
Parsudi. Kode etik untuk menunjang
profesionalisme Polri. PTIK press. Jakarta. 2007. Hal. 57
[5] Ibid. hal
59
[6]
Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma Bagi Penegak Hukum, Kanisius,
Yogyakarta, 1995. Hal. 49
[7] Suparlan,
Parsudi, Loc.Cit. hal. 61