Sejarah Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu-Riau,
salah satu bahasa daerah yang berada di wilayah Sumatera. Bahasa Melayu-Riau
inilah yang diangkat oleh para pemuda pada “Konggres Pemoeda”, 28 Oktober 1928,
di Solo, menjadi bahasa Indonesia. Pengangkatan dan penamaan bahasa Melayu-Riau
menjadi bahasa Indonesia oleh para pemuda pada saat itu lebih “bersifat
politis” daripada “bersifat linguistis”. Tujuannya ialah ingin mempersatukan
para pemuda Indonesia, alih-alih disebut bangsa Indonesia. Fonologi dan tata bahasa bahasa
Indonesia dianggap relatif mudah.
Peristiwa-peristiwa penting yang berkaitan dengan
perkembangan bahasa Indonesia
Peristiwa penting itu, sebagai berikut:
1.
Tahun 1896 disusunlah ejaan
resmi bahasa Melayu
oleh Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib
Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab
Logat Melayu.
2.
Tahun 1908 pemerintah
kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie
voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917
diubah menjadi Balai
Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah
Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan,
yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat
luas.
3.
Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo
menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya
dalam sidang Volksraad,
seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.[9]
4.
Tanggal 28 Oktober 1928
secara resmi Muhammad
Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia.
5.
Tahun 1933 berdiri sebuah
angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang
dipimpin oleh Sutan
Takdir Alisyahbana.
6.
Tahun 1936 Sutan Takdir
Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
7.
Tanggal 25-28 Juni 1938
dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat
disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah
dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
8.
Tanggal 18 Agustus 1945
ditandatanganilah Undang-Undang
Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36)
menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
9.
Tanggal 19 Maret 1947
diresmikan penggunaan ejaan
Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
10.
Tanggal 28 Oktober s.d 2
November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan
perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa
Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa
negara.
11.
Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden
Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang
dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
12.
Tanggal 31 Agustus 1972
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku
di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
13.
Tanggal 28 Oktober s.d 2
November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres
yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain
memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak
tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
14.
Tanggal 21-26 November 1983
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini
diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam
putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus
lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal
mungkin.
15.
Tanggal 28 Oktober s.d 3
November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres
ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari seluruh
Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu
ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar
Bahasa Indonesia dan Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
16.
Tanggal 28 Oktober s.d 2
November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta.
Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India,
Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres
mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya
menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang
Bahasa Indonesia.
17.
Tanggal 26-30 Oktober 1998
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia,
Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
Dialek dan ragam bahasa
Pada keadaannya bahasa Indonesia menumbuhkan banyak varian
yaitu varian menurut pemakai yang disebut sebagai dialek dan varian menurut
pemakaian yang disebut sebagai ragam
bahasa.
Dialek dibedakan atas hal ihwal berikut:
1.
Dialek regional,
yaitu rupa-rupa bahasa yang digunakan di daerah tertentu sehingga ia membedakan
bahasa yang digunakan di suatu daerah dengan bahasa yang digunakan di daerah
yang lain meski mereka berasal dari eka bahasa. Oleh karena itu, dikenallah bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta (Betawi), atau bahasa Melayu
dialek Medan.
2.
Dialek sosial,
yaitu dialek yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu atau yang
menandai tingkat masyarakat tertentu. Contohnya dialek wanita dan dialek
remaja.
3.
Dialek temporal,
yaitu dialek yang digunakan pada kurun waktu tertentu. Contohnya dialek Melayu
zaman Sriwijaya
dan dialek Melayu zaman Abdullah.
4. Idiolek, yaitu keseluruhan ciri bahasa
seseorang. Sekalipun kita semua berbahasa Indonesia, kita masing-masing
memiliki ciri-ciri khas pribadi dalam pelafalan, tata bahasa, atau pilihan dan
kekayaan kata.
Kata Serapan Dalam Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa yang terbuka. Maksudnya
ialah bahwa bahasa ini banyak menyerap kata-kata dari bahasa lainnya. Setiap
masyarakat memiliki bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan gagasan dan
perasaan atau untuk menyebutkan atau mengacu ke benda-benda di sekitarnya.
Hingga pada suatu titik waktu, kata-kata yang dihasilkan melalui kesepakatan
masyarakat itu sendiri umumnya mencukupi keperluan itu, namun manakala terjadi
hubungan dengan masyarakat bahasa lain, sangat mungkin muncul gagasan, konsep,
atau barang baru yang datang dari luar budaya masyarakat itu. Dengan sendirinya
juga diperlukan kata baru. Salah satu cara memenuhi keperluan yang sering
dianggap lebih mudah adalah mengambil kata yang digunakan oleh masyarakat luar
yang menjadi asal hal ihwal baru itu.
Penyerapan kata dari bahasa Cina sampai sekarang masih
terjadi di bidang pariboga
termasuk bahasa Jepang yang agaknya juga potensial menjadi sumber penyerapan.
Di antara penutur bahasa Indonesia beranggapan bahwa
bahasa Sanskerta yang sudah ’mati’ itu merupakan sesuatu yang bernilai tinggi
dan klasik. Alasan itulah yang menjadi pendorong penghidupan kembali bahasa
tersebut. Kata-kata Sanskerta sering diserap dari sumber yang tidak langsung,
yaitu Jawa Kuno. Sistem morfologi bahasa Jawa Kuno lebih dekat kepada bahasa
Melayu. Kata-kata serapan yang berasal dari bahasa Sanskerta-Jawa Kuno misalnya
acara, bahtera, cakrawala, darma, gapura, jaksa, kerja, lambat, menteri,
perkasa, sangsi, tatkala, dan wanita.
Bahasa Arab menjadi sumber serapan ungkapan, terutama
dalam bidang agama Islam. Kata rela (senang hati) dan korban (yang menderita
akibat suatu kejadian), misalnya, yang sudah disesuaikan lafalnya ke dalam
bahasa Melayu pada zamannya dan yang kemudian juga mengalami pergeseran makna,
masing-masing adalah kata yang seasal dengan rida (perkenan) dan kurban
(persembahan kepada Tuhan). Dua kata terakhir berkaitan dengan konsep
keagamaan. Ia umumnya dipelihara betul sehingga makna (kadang-kadang juga
bentuknya) cenderung tidak mengalami perubahan.
Sebelum Ch.
A. van Ophuijsen menerbitkan sistem ejaan untuk bahasa Melayu pada tahun
1910, cara menulis tidak menjadi pertimbangan penyesuaian kata serapan. Umumnya
kata serapan disesuaikan pada lafalnya saja.
Kata serapan dari bahasa Inggris ke dalam kosa kata
Indonesia umumnya terjadi pada zaman kemerdekaan Indonesia, namun ada juga
kata-kata Inggris yang sudah dikenal, diserap, dan disesuaikan pelafalannya ke
dalam bahasa Melayu sejak zaman Belanda yang pada saat Inggris berkoloni di
Indonesia antara masa kolonialisme Belanda.. Kata-kata itu seperti kalar,
sepanar, dan wesket. Juga badminton, kiper, gol, bridge.
Sesudah Indonesia merdeka, pengaruh bahasa Belanda mula
surut sehingga kata-kata serapan yang sebetulnya berasal dari bahasa Belanda sumbernya
tidak disadari betul. Bahkan sampai dengan sekarang yang lebih dikenal adalah
bahasa Inggris.
Sumber:
re-searchengines.com/1006masnur.html
re-searchengines.com/1006masnur.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Kata_serapan_dalam_bahasa_Indonesia