Laman

Sabtu, 02 April 2011

Seni Fotografi Dalam Perpektif Hukum Islam


Seni Fotografi Dalam
Perpektif Hukum Islam
Latar belakang masalah


Kamera merupakan alat yang berfungsi untuk menangkap dan mengabadikan gambar/image. Kamera yang pertama kali disebut sebagai camera obscura, Camera obscura merupakan sebuah instrumen yang terdiri dari ruang gelap atau box, yang memantulkan cahaya melalui penggunaan 2 buah lensa konveks, kemudian meletakkan gambar objek eksternal tersebut pada sebuah kertas/film yang diletakkan pada pusat fokus dari lensa tersebut. Camera obscura pertama kali ditemukan oleh seorang ilmuwan muslim yang bernama Alhazen seperti yang dijelaskan pada bukunya yang berjudul Books of Optics (1015-1021).
Foto adalah hasil dari jepretan kamera. sejak saat itu kamera digunakan sebagai alat untuk mengabadikan sesuatu / moment yang berkesan (istimewa). Karena dirasa cepat dan hasilnya sesuai dengan kondisi saat pengambilan foto. Seni fotografi sekarang telah mewabah dan telah banyak ditekuni banyak orang. Seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi maka seni fotografi tak hanya sebuah pekerjaan, melainkan sebuah profesi yang mendatangkan (perestis) atau keuntungan yang besar. Dunia fotografi tak hanya mengambil sebuah foto dan di cetak, melainkan ada seni dan kepuasan tersendiri dalam sebuah pengambilan foto dan dalam proses editing.
Banyaknya kaum muslimin yang sekarang mendalami dunia fotografi membuat dan Tentunya ini menjadi masalah baru bagi dunia hokum islam, mengingat hadist – hadist Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang shahih, musnan dan sunnah yang menunjukkan haramnya menggambar segala sesuatu yang memiliki roh baik itu manusia dan yang lainnya.
Referensi
Ø www.wikipedia.com

Rabu, 30 Maret 2011

unifikasi Hukum Pidana Adat


A. Pendahuluan
Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota-kota dan desa-desa. Keragaman itupun menjadi suatu kekayaan akan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakatnya, masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ubi societas Ibi ius, dimana ada masyarakat dan di situ ada hukum. Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun tidak tertulis, berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat.
Di dalam lapangan hukum publik, salah satu sumber hukum yang diakui secara nasional dan terkodifikasikan adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun, di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam sekitarnya yang magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang kental, sumber hukum yang diakui di dalam lapangan hukum pidana adalah Hukum Pidana Adat. Keberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun terkodifikasikan.
Di masa pemberlakuan otonomi daerah saat ini, dimana daerah diberi kewenangan menyelenggarakan pemerintahannya sendiri harus mendasarkan pada prinsip-prinsip antara lain otonomi yang bertanggung jawab, menekankan pada demokrasi, menunjang aspirasi, peran serta masyarakat dan potensi daerah maupun keanekaragaman daerah. Tiap daerah tersebut memiliki kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, sosial budaya serta politik yang berbeda-beda sehingga tidak menutup kemungkinan dalam meyelesaikan masalahnya menggunakan cara yang berbeda, termasuk dalam lapangan hukum publik karena didasari oleh latar belakang yang berbeda pula.
Antara hukum dengan kehidupan masyarakat memang berkaitan erat. Hukum berperan besar dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan aman. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang maka peranan hukum dapat dilihat secara lebih konkret. Di dalam lapangan hukum pidana, ada dua hukum yang berbeda yang digunakan oleh masyarakat yaitu hukum pidana yang bersumber pada KUHP serta peraturan tertulis lainnya dan hukum yang bersumber pada peraturan tidak tertulis ataupun kebiasaan yaitu Hukum Pidana Adat.
B. Permasalahan
1. Apakah Hukum Pidana Adat yang bersumber dari berbagai daerah itu masih dapat digunakan ataukah dapat lebih diperhatikan dalam menhadapi suatu permasalahan dalam lapangan hukum pidana.
2. Apakah Hukum Pidana Adat dapat diramu ataupun di-unifikasikan menjadi kaidah perundang-undangan yang akan mengisi hukum pidana nasional.
C. Pembahasan
Istilah Hukum Pidana Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda yaitu Adat Delicten Recht atau Hukum Pelanggaran Adat. Istilah yang demikian tidak dikenal dikalangan masyarakat adat. Mereka menggunakan istilah lain seperti Salah (Lampung), Sumbang (Sumatera Selatan) untuk menyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat. Hukum Pidana Adat adalah hukum yang menunjukan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan tersebut mengganggu keseimbangan masyarakat.
Masyarakat Indonesia, terutama yang bermukim di desa-desa yang letaknya jauh dari kota sangatlah dipengaruhi oleh alam sekitarnya yang magis religius. Alam pikirannya mempertautkan antara yang nyata dan tidak nyata, anatara yang alam fana dan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib dan antara hukum manusia dengan hukum Tuhan alam pikiran yang demikian tersebut mengandung azas-azas dari Pancasila seperti azas Ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan dan kebersamaan, kerakyatan dan kesepakatan, serta keadilan dan kemasyarakatan. Oleh karenanya, hukum adat dikatakan hukum yang berfalsafah Pancasila dan berbhineka tunggal ika dikarenakan hukum adat di masing-masing daerah adalah berbeda satu sama lain. Meskipun berbeda namun tetap ika dalan negara kesatuan Republik Indonesia.
Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup (living law). Hukum Pidana Adat dijiwai oleh Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang magis religius, dimana yang diutamakan bukanlah rasa keadilan perorangan melainkan rasa keadilan kekeluargaan sehingga cara penyelesaiannya adalah dengan penyelesaian damai yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan. Hukum Pidana Adat tidak bermaksud menunjukan hukum dan hukuman apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi tujuannya adalah memulihkan kembali hukum yang pincang sebagai akibat terjadinya pelanggaran.
Apabila kita melihat jauh kebelakang, maka dapat kita ketahui bahwa Hukum pidana nasional yang digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah hukum pidana barat dengan KUHP yang sudah berlaku sejak tahun 1946 yang merupakan kodifikasi dari hukum di negeri Belanda.[1] KUHP ini sudah berlaku begitu lama sehingga sudah membudaya bagi semua rakyat, meskipun ketentuan-ketentuan di dalamnya banyak yang kita rasakan tidak sesuai dengan falsafah negara Pancasila dan tidak sesuai dengan kepentingan pembangunan negara untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kondisi tersebut berbeda dengan Hukum Pidana Adat yang berfalsafah Pancasila dan berbhineka tunggal ika. Meskipun tidak tertulis, Hukum Pidana Adat tetap dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat karena Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat adat itu sendiri sehingga sesuai dengan jiwa masyarakat adat yang bersangkutan.
Hukum Pidana Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang dijiwai oleh falsafah Pancasila. Meskipun dijiwai oleh Pancasila, namun ketentuan Hukum Pidana Adat sulit untuk dapat digunakan sebagai hukum nasional. Hal ini dikarenakan Hukum Pidana Adat di suatu daerah berbeda dengan Hukum Pidana Adat di lain daerah, artinya setiap daerah mempunyai Hukum Pidana Adat yang berbeda.
Dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan kebijakan daerah. Hal ini memungkinkan digunakannya hukum yang sesuai dengan jiwa dari masyarakat daerah yang bersangkutan yaitu hukum adat termasuk disini adalah Hukum Pidana Adat. Namun jika kita melihat ketentuan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa :
Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
Dengan demikian, meskipun daerah tersebut memiliki kewenangan namun kewenangan itu terbatas dimana tidak termasuk dalam peradilan. Jika suatu daerah diberi kewenangan dalam peradilan, dalam hal ini menggunakan Hukum Pidana Adatnya sendiri maka akan menimbulkan kerancuan karena tidak adanya kesatuan persepsi mengenai hukum (unifikasi hukum). Hal ini berbahaya karena ada kemungkinan, kejahatan di suatu daerah itu dianggap bukanlah kejahatan di daerah lain walaupun masih dalam kerangka suatu negara.
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim dapat menggali asas-asas yang ada di dalam masyarakat apabila terjadi kekosongan hukum. Asas-asas yang dimaksud di sini adalah asas-asas yang hidup di masyarakat. Salah satu contohnya adalah asas keadilan. Bahwa dalam menjatuhkan hukuman, hakim tidak selalu berpegang teguh kepada ketentuan yang ada di dalam KUHP.[2] Hakim juga memperhatikan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi seseorang berbuat demikian yang dapat mempengaruhi keputusan hakim. Hal yang demikian merupakan ketentuan hukum adat, dimana ketentuannya tidak bersifat pasti, artinya bersifat terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang dijadikan ukuran disini adalah rasa keadilan, selain itu hakim dalam mengambil keputusan juga sering memperhatikan ketentuan-ketentuan adat dari suatu daerah dimana hakim tersebut bekerja, meskipun ketentuan tersebut tidak secara mutlak digunakan.
Jadi, di dalam era otonomi daerah ini, Hukum Pidana Adat masih dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum nasional yang berlaku. Namun disini bukan berarti Hukum Pidana Adat dapat dijadikan landasan ataupun sumber hukum yang utama di daerah, Hukum Pidana Adat hanyalah menjadi pendukung dari hukum pidana nasional yang bersumber pada peraturan-peraturan tertulis lainnya.
Hukum Pidana Adat juga dapat mempengaruhi dalam merancang suatu ketentuan hukum pidana yang berlaku secara nasional. Hal ini didasarkan pada fenomena bahwa bahwa Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang nyata ada di masyarakat dan berlaku serta di taati walaupun ketentuannya tidak tertulis dan bersifat terbuka. Pemerintah dalam hal ini pembentuk Undang-undang dalam menyusun ketentuan hukum pidana nasional hendaknya memperhatikan Hukum Pidana Adat yang ada di masyarakat. Di sini , bukan berarti Hukum Pidana Adat itu di masukan secara mentah-mentah di dalam ketentuan hukum pidana nasional. Namun, Hukum Pidana Adat dijadikan suatu rujukan dalam menyusun ketentuan hukum pidana nasional mengingat Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup di masyarakat.
D. Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, Ubi societas Ibi ius, dimana ada masyarakat dan di situ ada hukum. Berdasarkan adagium tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan dari pembahasan tentang Hukum Pidana Adat di era otonomi daerah yaitu :
Menurut Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim dapat menggali asas-asas yang ada di dalam masyarakat apabila terjadi kekosongan hukum. Hal yang demikian merupakan ketentuan hukum adat, dimana ketentuannya tidak bersifat pasti, artinya bersifat terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi
Hukum Pidana Adat masih dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum nasional yang berlaku. Namun disini bukan berarti Hukum Pidana Adat dapat dijadikan landasan ataupun sumber hukum yang utama di daerah dalam meneylesaikan perkara pidana. Hukum Pidana Adat hanyalah menjadi pendukung dari hukum pidana nasional yang bersumber pada peraturan-peraturan tertulis lainnya.
Hukum Pidana Adat juga dapat mempengaruhi dalam merancang suatu ketentuan hukum pidana yang berlaku secara nasional. Hal ini didasarkan pada fenomena bahwa bahwa Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang nyata ada di masyarakat dan berlaku serta di taati walaupun ketentuannya tidak tertulis dan bersifat terbuka. Sedangkan untuk menyatukan Hukum Pidana Adat yang ada di berbagai daerah adalah suatu usaha yang kurang sesuai dengan hasil yang akan diraih dibandingkan dengan kesulitan yang dialami.
E. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.
F. Referensi

Tujuan Pemidanaan


A. Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidaan dalam hukum pidana positif menjadi dasar penentuan dipidana atau tidak dipidananya pelaku kejahatan. Tujuan pemidaan ini umumnya dihubungkan dengan dua pandangan dasar, yaitu :
1. Retributivism dan
2. Utilitarianism
Menurut Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking).
Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).[1]
Selain menurut kedua pandangan dasar tersebut, penjatuhan pidana juga bertujuan sebagai :
  1. Tujuan Pemidanaan Sebagai Perlindungan Masyarakat
Tujuan pemidanaan salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social defence). Dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Penerapan tentang bagaimana kebutuhan perlindungan masyarakat ini, KUHP mengatur tentang adanya penentuan pidana minimum dan maksimum dalam delik-delik tertentu, seperti yang diatur dalam pasal 57 KUHP. Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam penjelasan KUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. [2]
  1. Pembinaan Individu Pelaku Tindak Pidana
Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Perubahan atau penyesuaian tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan perubahan atau penyesuaian dapat berupa :
a) Pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau
b) Penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
Penjelasan ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan pemidanaan adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana hanyalah :
a) Kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana
b) Perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi.[3]



[1] Zainal Abidin, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, cet. ke-1, Jakarta, ELSAM - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005, hal 10 (http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Perundang-undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%202.pdf) tanggal 11/10/2010
[2] Ibid, hal, 17
[3] Ibid, hal, 18