Laman

Minggu, 27 Maret 2011

Hibah dan Wasiat


I. Pendahuluan
Manusia di dalam perjalanan hidup ini akan mengalami tiga peristiwa yang penting yaitu: waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, waktu ia meninggal, pada saat seorang manusia dilahirkan akan tumbuh sebuah tugas baru yang didalamnya keluarga. Demikian di dalam artian sosiologis, ia menjadi pengemban dari hak dan kewajiban.
Kemudian setelah ia dewasa ia akan melakukan perkawinan, yaitu ketika ia telah bertemu dengan dambaan hati ynag akan menjadi kawan hidupnya untuk membangun dan menunaikan dharma baktinya yaitu: tetap berlangsungnya keturunannya.
Kemudian manusia pada suatu saat akan meninggalkan dunia ini. Peristiwa inilah peristiwa yang sangat penting. Karena diliputi dengan suasana yang sangat penuh dengan kerahasiaan dan yang menimbulkan rasa sedih. Kesedihan myang meliputi Seluruh keluarga ditinggalkannya dan rasa duka teman-teman akrabnyadan sejak manusia mendiami dunia ini, soal meninggalkan dunia ini. Manusia masih adatapi sekonnyong-konnyong tidak ada lagi. Dimana ia pergi hal itu tetap menjadi rahasia yang telah digenggam oleh Tuhan.
Maka timbul sebuah permasalahan setelah seseornag meninggal dunia apakah yang terjadidengan sesuatu yang ditinggalkannya. Didalam hal itu harta yang telah ditinggalkan bagai mana hukumnya dan apakah orang yang sudah meninggal dapat melakukan peralihan (perbuatan hokum). wasiat yang dilakukan oleh orang sudah dekat ajalnya bagai mana.
II. Permasalahan
Yang menjadi pokok pembahasan kita kali ini ialah:
a. Akah hibah itu ?
b. Apakah wasiat itu?
III. Pembahasan
A. HIBAH
a. Pengertian
Kata “Hibah” bila dilihat dari segi bahasa berasal dari kata bahasa arab yang sudah diadopsi menjadi bahasa Indonesia. Kata ini merupakan mashdar dari kata wahaba yang berarti pemberian. Yang secara etimologi berarti melewatkan atau menyalurkan, yang berarti : disalurkan dari tangan orang yang memberi kepada tangan yang diberi.
Menurut istilah Hibah adalah suatu persetujuan dengan nama si penghibah, diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Apabila seseorang memberikan harta miliknya pada orang lain maka berarti si pemberi itu menghibahkan miliknya itu. Maka itu kata hibah sama artinya dengan istilah pemberian.
Sayid Sabiq mengemukakan bahwa definisi hibah adalah : “akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Sedangkan Sulaiman Rasyid memberikan definisi sebagai berikut : “Hibah ialah memberikan zat dengan tidak ada tukarnya dan tidak ada karenanya” ”(Chirunman Pasaribu; 2004;114). Kata Hibah juga dipakai dalam Al-Qur’an dalam arti pemberian, hal ini dapat ditemui pada QS. Al-Imron ayat: 38 yang menceritakan tentang permohonan atau doa Nabi Zakariya kepada Allah yang artinya”(Zakariya) berkata: Ya Tuhanku ! anugerahilah aku dari sisi-Mu seorang anak keturunan yang baik ! Sesungguhnya Engkau adalah Maha Mendengar permintaan.”
Apabila ditelusuri secara lebih mendalam, istilah hibah berkonotasikan memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan dan jasa. Oleh sebab itu istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam transaksi hibah. Hibah dalam arti pemberian juga bermakna bahwa pihak penghibah bersedia melepaskan haknya atas benda yang dihibahkan. Dikaitkan dengan suatu perbuatan hukum, hibah termasuk salah satu bentuk pemindahan hak milik. Pihak penghibah dengan sukarela memberikan hak miliknya kepada pihak penerima hibah tanpa ada kewajiban dari penerima untuk mengembalikan harta tersebut kepada pihak pemilik pertama. Dalam konteks ini, hibah sangat berbeda dengan pinjaman, yang mesti dipulangkan kepada pemilik semula. Dengan terjadinya akad hibah maka pemilik sekarang dipandang sudah mempunyai hak penuh atas harta itu sebagai hak miliknya sendiri
Dalam KUHPer disebutkan tentang definisi hibah itu sendiri yaitu hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah diwaktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. (KUHP; Subekti;1999) dari situ kita dapat tahu bahwa hibah dapat dilaksanakan ketika si penghibah dalam keadaan masih hidup jadi hibah akan batal ketika pada waktu dilaksanakan hibah penghibah dalam keadaan sudah wafat.
Hibah ini bersifat suka rela tidak ada sebab musababnya tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberi, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.
Dalam istilah hukum perjanjian yang seperti ini juga dinamakan perjanjian sepihak (perjanjian unilateral) sebagai lawan dari perjanjian bertimbal balik (perjajian bilateral)
b. Dasar hukumnya
Adapun dasar dari hibahkita dapat berpedoman pada hadits Nabi Muhammad SAW antara lain hadits yang diriwayat kan ahmad dari hadits khalid bin ‘Adi bahwa Nabi bersabda yang artinya sebagai berikut:
“barangsiapa mendaatkan kebaikan dari saudaranya yang bukan karena mengharapk- harapkan dan meminta-minta, mak hendaklah ia menerimanya dan tidak menolak nya karena ia adalah rizqi dari Allah kepadanya”hadis lain yang dijadakan sebagai dasar”
Hadits lain yang dapat dijadikan sebagai dasar ialah:
“dari abi hurairah, bersabda Nabi SAW; saling memberikanlah hadiah kamu, karena hadiah itu menghilangkan kebencian hati, dan janganlah seorang tetangga perempuan meremehkan hadiah dari tetangganya sekalipun hadiah itu sepotong kaki kambing”
Pada pasal KUHPer disebutkan yang intinya semua orang dapat melakuakan pemberian suatu barang atau benda kepada orang lain selama ia mampu dan cakap melakukan perbuatan hukum yang disebutkan pada pasal 1676 yang berbunyi “setiap orang diperbolehkan memberikan dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu.”
c. Rukun dan syarat sah hibah :
Hibah juga mempunyai syarat rukun yang harus terpenuhi,adapun rukun dari hibah ialah:
1.Pihak si penghibah
2.Pihak penerima hibah
3.Benda yang dihibahkan
4.Ijab Qabul (transaksi)
Adpun syarat yang harus terpenuhi agar sebuah hibah dikatakan sah menurut hukum:
· Syarat bagi penghibah
v Penghibah adalah pemilik asli dari barang hibah, karena hibah mempunyai akibat perpindahan hak milik, sehingga penghibah disyaratkan pemilik yang mempunyai hak penuh tidak dibenarkan menghibahkan benda milik orang lain
v Penghibah cakap melakukan perbuatan hokum, yaitu seseorang yang sudah cukup umur dan berakal. Orang yang sudah mempunyai kecakapan dalam bertindaklah yang bisa menilai bahwa perbuatan yang dilakukannya sah, sebab ia sudah dapat memikirkan akibat dari ia melakukan hibah.
v Penghibah bukan yang dibatasi haknya disebabkan sesuatu alasan
v Penghibah tidak terpaksa hendaklah perbuatan yang dilaksanakan itu atas dasar dari kemauan diri sendiri dengan penuh kesukarelaan dan bukan dalam keadaan terpaksa.
· Syarat bagi penerima hibah
Penerima hibah harus benar-benar hadir waktu hibah dilakukan. Adapun yang dimaksudkan benar-benar hadir disini ialah orang tersebut sudah lahir dan tidak dipersoalkan apakah ia anak-anak kurang akal atau dewasa, kondisi fisik dan mental si penerima hibah tidak dipermasalahkan.jadi bayi yang masih dalam kandungan tidak dapat menerima hibah untuk mengindahkan pasal 2 KUHPer yang disebutkan pada pasal 1679 KUHPer juga yang berbunyi “agar seseorang cakap untuk menerima hibah, diperlukan bahwa si penerima hibah itu sudah ada pada saat terjadinya penghibahan, dengan mengindahkan aturan yang tercantum dalam pasal 2”(subekti, 1992, 438)
· Syarat benda hibah
Yang menyangkut benda yang dihibahkan haruslah memenuhi syarat sebagai berikut:
v Benda tersebut benar-benar ada, artinya yang sesungguhnya ketika transaksi hibah dilaksanakan, tidak sah menghibahkan benda yang tidak wujud
v Benda itu mempunyau nilai
v Benda itu dapat dimiliki zatnya
v Benda yang dihibahkan dapat dipisahkan dan diserahkan kepada penerima hibah
Adapun yang menyangkut ijab qobul yaitu suatu pernyataan terjadi beberapa pendapat yaitu sebagian ahli hokum-hukum islam ijab harus diikuti qobulnya,akan tetapi menurut imam hanafi ijab saja sudah cukup tanpa diikuti qobulnya
d. Pelaksanaan hibah
Adapun dalam pelaksanakan hibah menurut ketentuan syari’at islam ialah dapat dirumuskan kepada sebagai berikut:
o Penghibahan dilaksanakan ketika masih hidup, demikian dalam penyerahan barang yang dihibahkan
o Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pad saat penghibahan dilakukan,dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap bertindak hukum.
o Dalam melakukan hibah harus ada pernyataan, terutama bagi penghibah
o Penghibahan hendaknya dilaksanakan dihadapan beberapa orang saksi(hukumnya sunnah)
Dalam praktik pelaksanaan di Indonesia, khususnya penghibahan atas barang-barang yang tidak bergerak, seperti penghibahan atas tanah dan rumah, selalu dipedomani ketentuan yang termaktub dalam pasal 1682 dan 1687 Kitab Undang-Undang Perdata, yaitu adanya formalitas dalam bentuk akta notaris. Hal ini berkaitan dengan pengurusan surat-surat balik nama atas benda-benda tersebut. Sedangkan apabila yang dihibahkan berbentuk tanah yang mempunyai sertifikat, maka penghibahan dilakukan di depan pejabat pembuat akta tanah(PPAT) didaerah dimana tanah tersebut ada.
e. Penarikan kembali Hibah
Menurut Undang-undang Perdata disebutkan bahwa hibah tidak dapat dicabut kembali seperti yang tertera diKUHPer(B.W.) pasal 1668 “si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah; hibah semacam itu, sekadar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal.”
Di pasal ini dapat dilihat seseorang yang sudah menghibahkan harta tidak ada lagi kekuasaan pada penghibah terhadap barang yang sudah dihibahkan. Maka dalam syarat-syarat diatas yaitu penghibah harus mempunnyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hokum yaitu dewasa dan berakal maksudnya disini ialah ia sudah mampu berfikir tentang bagai mana akibatnya ketika melaksanakan hibah.
Pada dasar diatas memang hibah tidak dapat dicabut, Namun hibah tetap dapat dicabut kembali ketika:
v Tidak terpenuhinya Syarat-syarat yang mana hibah telah dilakukan; pasal 913”bagian mutlak atau legitime portie adalah bagian dari harta peninggalanyang harus diberikan kepada para waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tidak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat”
v Si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah;
v Apabila si penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah si penghibah, setelah si penghibah jatuh dalam kemiskinan
B. WASIAT
a. Pengertian
Kalau diperhatiakan dari segi asal kata wasiat berasal dari kata “washshaitu asy-syaia, uushii, artinya aushaltuh (aku menyampaikan sesuatu)”.yang juga berarti pesanan, jadi berwasiat juga diartikan berpesan untuk melakukan sesuatu hal barpesan untuk melakukan sesuatu hal, atau bermakna pula sesuatu janji kepada pihak lain untuk melakukan sesuatu ketika masih ia hidup atau setelah wafat.
Dikaitkan dengan perbuatan hokum wasiat itu pada dasarnya juga bermakna transaksi pemberian sesuatu pada pihak lain. Pemberian itu bisa berbentuk penghibahan harta atau pembebanan/pengurangan utang ataupun pembarian manfaat dari milik pembari wasiat kepada yang menerima wasiat.
Pengertian yang diberikan oleh ahli hokum wasiat ialah "memberikan hak secara suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau bukan” sedangkan menurut Sayid Sabiq mendefinisikan sebagai berikut : “wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang , ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat setelah yang berwasiat mati.”
Pada dasarnya inti dari definisi yang amat beragam itu ialah bahwa wasiat itu merupakan pesan dari seseorang yang isinya memberikan sejumlah harta atau pembatasan/ pengurangan utang atau pemberian manfaat harta kepada orang lain setelah ia wafat. Dengan istilah lain bahwa wasiat itu pesan yang intinya memberikan harta kepada pihak lain yang pemberian itu mulai berlaku apabila pihak yang berpesan meninggal dunia.
Sebagai mana hibah, wasiat juga dilakukan oleh sepihak tidak ada kontra prestasi dari pihak penerimadari pengertian diatas terlihat jelas apa perbedaan mendasar dari wasiat dengan hibah antara lain hibah dilaksanakan ketika pemberi masih keadaan hidup namun wasiat ketika si pemberi sudah meninggal dunia.
Perbedaan lainnya ialah bahwa hibah hanya sekedar hak kebendaan yang maksudnya hal-hal yang menyangkut benda/barang yang bermanfaat bagi si penerima hibah, sedangkan dalam wasiat bukan hanya dalam bentuk barang saja tapi berupa piutang atau manfaat lainya yang juga tidak hanya bermanfaat bagi si penerima wasiat.
Tentasemen, juga dapat berisi legeat yaitu suatu pernya taan pemberian sesuatu kepada seseorang, adapun yang diberikan dapat berupa: ( Subekti, 2008, 107)
· Satu atau beberapa benda tertentu;
· Seluruh benda dari satu macam jenis
· Hak vruck-gebruik atas sebagian atau seluruh warisan;
· Sesuatu hak lain terhadap budels
Orang yang melakukan legeat dinamakan legeataris ia bukan ahli waris. Karena ia tidak menggantikan si peninggal dalam hak-hak dan kewajiban-kewajibannya (yang penting tidak diwajibkan membayar hutang-hutangnya). Ia hanya berhak untuk menuntut penyerahan benda atau pelaksanaan hak yang diberakankepadanya dari sekian ahli waris.pendeknya suatu legeat memberikan hak penuntutan terhadap boedel. Adakalanya, seorang legataris menerima beberapa benda diwajibkan memberiakan salah satu benda itukepada orang lain yang ditunjuk dalam testament
Pada KUHPer pasal 874 mengandung suatu syarat bahwa isi pernyatan kemauan terakhir (tentasemen,wasiat) itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang
b. Macam-macam wasiat
menurut bentuknya ada tiga macam testament yang terdapat pada pasal 931 yaitu (Subekti, 2008, 109)
Ø Openbaar Testament
Suatu wasiat yang dibuat oleh seorang notaries dan menyertakan kehendaknya. Notaris ini membuat suatu akte dan dihadiri oleh dua saksi. Bentuk yang paling banyak dipakai dan juga memang yang paling baik, karena notaris dapat mengawasi isi suart itu, sehingga dapat memberiakan nasihat nasihat supaya isi dari testament tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang
* Olographis Testament
Suatu yang tidak hanya ditulis dengan tangan yang akan meninggalkan warisan itu sendiri (Eigenhandig) harus diserahkan sendiri kepada seorang notaries untuk disimpan (Gedepoeneerd) pernyataan itu pula harus dihadiri oleh dua saksi. Sebagai tanggal testament itu berlaku diambil dari tanggal akte penyerahan. Dalam pasal 932 memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a) harus seluruhnya ditulis dan ditandatangani oleh pewaris, b) harus disimpankan oleh notaris, c) jika wasiat berupa testament ada dalam keadaan tertutup, maka akta itu harus ditulis diatas kertas tersendiri. Dan diatas sampul maka ada catatan bahwa sampul itu berisi surat wasiatnya dan catatan itu itu harus diberi tandatangannya. Penyerahan dapat terbuka dan tertutup. Bila tertutup kelak si pewaris meninggal dunia testatment harus diserahkan oleh notaris kepada balai harta peninggalan untuk membukanya dengan membuat proses verbal (Idris Ramulyo,1989,53)
* Testament tertutup atau rahasia
Dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan ia menulis dengan tangannya sendiri. Suatu testatement rahasia harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus dihadiri oleh empat orang saksi. Jadi lebih dari biasa yang hanya dibutuhkan dua orang saksi, syarat saksi harus orang yang sudah dewasa, penduduk Indonesia dan mengerti benar bahasa yang digunakan testament atau akte penyerahan perlu diingat bahwa menurut pasal 4 staatsblad tahun 1924 No. 556 bagi orang golongan timur asing yang bukan Tionghoa (misalnya arab) diberi kemungkinan mempergunakan openbaar testament
Menurut isinya ada dua jenis wasiat: (Ali Afandi, 1997, 16)
* Wasiat yang berisi ”Erfstelling” atau wasiat yang berupa pengangkatan waris.
Seperti yang disebutkan pasal 954 wasiat pengangkatan waris adalah wasiat yang mana orang mewasiatkan, memberikan kepada orang atau lebih orang, seluruh atau sebagian dari harta kekayaannya
* Wasiat yang berisi hibah (Hibah Wasiat) atau Legeat
Pad pasal 957 memberikan keterangan sebagai berikut: hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus didalam suatu testament, dengan mana yang diwasiatkan memberikan kepada seorang atau beberapa orang: a)beberapa benda tertentu, b)barang-barangsatu jenis tertentu, c) hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian, dari harta peninggalannya
c. Pencabutan dan gugurnya wasiat
Diantara pencabutan dan gugurnya wasiat terdapat perbedaan:
§ Pencabutan :suatu tndakan pewaris yang meniadakan suati testament
§ Gugur : tidak ada tindakan pewaris tetapi wasiat itu tidak dapat dilaksanakan, karena ada hai-hal yang diluar kemauan dari pewaris
Pencabutan suatu wasiat adalah suatu hal yang inhaeren dengan sifatnya wasiat sebagai pernyataan yang paling akhir dari pewaris. Mengenai pencabutan wasiat secara tegas ketentuan-ketentuan telah dinyatakan pada pasal 992. Suatu wasiat dapat dicabut dengan : a) surat wasiat baru, b) akta notaris khusus.
Sedangkan untuk gugurnya suatu wasiat dapat dilihat dari pasal 997-998 KUHPer yaitu disebutkan jika suatu wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada peristiwa yang tak tentu: maka jika si waris atau legataris meninggal dunia, sebelum peristiwa itu terjadi, wasiat itu gugur jika ditangguhkan itu hanya pelaksanaan saja, maka wasiat itu tetap berlaku kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu.
IV. Kesimpulan
Dari uraian diatas kita dapat simpulkan
* hibah adalah suatu persetujuan dengan nama si penghibah, diwaktu hidupnya dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. apabila seseorang memberikan harta miliknya pada orang lain maka berarti sipemberi itu menghibahkan miliknya itu.
* wasiat ialah memberikan hak secara suka rela yang dikaitan dengan keadaan sesudah mati, baik diucapkan dengan kata-kata atau bukan
* rukun dari hibah ialah:
- Pihak si penghibah
- Pihak penerima hibah
- Benda yang dihibahkan
- Ijab Qabul (transaksi)
* menurut bentuknya ada tiga macam testament yang terdapat pada pasal 931 yaitu ( Subekti, 2008, 109)
- Openbaar Testament
- Olographis Testament
- Testament Tertutup atau Rahasia
* Menurut isinya ada dua jenis wasiat: (Ali Afandi, 1997, 16)
- Wasiat yang berisi ”Erfstelling” atau wasiat yang berupa pengangkatan waris.
- Wasiat yang berisi hibah (hibah wasiat) atau Legeat
* Pada dasar diatas memang hibah tidak dapat dicabut, Namun hibah tetap dapat dicabut kembali ketika:
- Tidak terpenuhinya Syarat-syarat yang mana hibah telah dilakukan
- Si penerima hibah telah bersalah melakukan atau membantu melakukan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah;
- Apabila si penerima hibah menolak memberikan tunjangan nafkah si penghibah, setelah si penghibah jatuh dalam kemiskinan
V. Referensi
Ø Afandi Ali, hukumwaris, hukum keluarga, hukum pembuktian. Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
Ø Karim helmi, fiqh muamalah, P.T. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1997
Ø Pasaribu chiruman dkk, hukum perjanjian dalam islam, sinar grafika: Jakarta, 2004.
Ø Ramulyo idris, beberapa masalah pelaksanaan kewarisan perdata barat(burgerlijk wetboek), Sinar Grafika: Jakarta, 1993
Ø Subekti, R. Tjitrosudibio, kitab undang-undang hukum perdata, Pradya Paramita: Jakarta, 1992.
Ø Subekti, pokok-pokok hukum perdata, P.T. intermasa, Jakarta, 2008.

Prilaku Beragama Dalam Psikologi Islam


A. PENDAHULUAN
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat dengan psikologi. Pendidikan adalah proses ‘memanusiakan’ manusia, dalam arti pendidikan adalah proses panjang untuk mengaktualkan seluruh potensi diri manusia, sehingga seluruh potensi kemanusiaannya menjadi aktual. Dalam proses mengaktualkan potensi manusia diperlukan pengetahuan tentang keberadaan potensi dan situasi serta lingkungan yang tepat untuk mengaktualkannya. Pengetahuan tentang diri manusia dengan segala permasalahannya dibicarakan dalam psikologi. Demikianlah eratnya hubungan antara psikologi dengan pendidikan.[1]
Dalam dunia pendidikan Islam, telah terjadi kondisi yang aneh tapi nyata. Dikatakan aneh, karena dunia pendidikan Islam telah demikian berkembang pesat, baik secara teoritis maupun praktis. Bahkan dapat dikatakan dunia pendidikan Islam telah mengalami perkembangan dan kemajuan demikian pesat.
Perkembangan yang demikian pesat itu, tidak dilandasi dengan psikologi Islam. Padahal, landasan pengembangan pendidikan adalah psikologi. Permasalahannya, apa landasan pengembangan pendidikan Islam selama ini, yang pasti bukan psikologi Islam. Mungkin selama ini, pendidikan Islam “berinduk semang” dengan psikologi Barat (sekuler), meskipun kita tidak menyadarinya. Mengapa tidak dibangun saja “induk” pendidikan Islam yang memang benar-benar “kandung”. Sehingga dapat dilahirkan generasi Islam yang memang betul-betul memiliki “bapak dan ibu kandung”.[2]
Pendidikan Islam selama ini banyak mendasarkan teori dan konsepnya pada psikologi Barat, meskipun mereka tidak mengetahuinya. Sebut saja, sebagai contoh, Psikoanalisa dan Behaviorisme. Kedua aliran psikologi ini memandang diri manusia berbeda dengan pandangan Islam. Psikoanalisa memandang manusia sebagai generasi langsung dari binatang, sehingga manusia mewarisi sifat khas binatang, yaitu nafsu yang mereka sebut dengan libido. Seluruh tingkah laku manusia adalah proses dinimika hubungan libido dengan lingkungan.
B. RUMUSAN MASALAH
  1. Bagaimanakah Menerapkan Prilaku Beragama Dalam Psikologi Islam?
  2. Apa Sajakah Yang Mempengaruhi Dalam Prilaku Beragama?
C. PEMBAHASAN
Perilaku Beragama Dalam Psikologi Islam
Gagasan integrasi antara ilmu pengetahuan dan agama pada perkembanganya (yang terjadi) saat ini hanya melahirkan justifikasi-justifikasi terhadap hasil-hasil ilmu pengetahuan yang sudah ada. Misalnya dalam psikologi, konsepsi motifasi yang dimunculkan dengan bersuber pada al-Qur’an, walaupun tidak persis sama dengan yang ada dalam konsepsi motivasi dalam psikologi modern. Tapi gagasan tentang teori motivasi yang dimunculkan tidak bisa dilepaskan dari alur pemikiran psikologi barat. Teori motivasi yang ditampilkan tidak lebih justifikasi parsial, karena dalam gagasan tersebut tidak mampu menciptakan gagasan yang benar-benara baru.[3]
Aktivitas adalah kelangsungan, kelanjutan, kesinambungan dalam menjalankan suatu aktivitas (kegiatan) selalu terus menerus tidak pernah di lupakan atau di tinggalkan. Sedang yang dimaksud disini adalah melakukan kegiatan membaca buku pelajaran agama islam baik ketika di sekolah maupun diluar sekolah.
Membaca berasal dari kata “ baca “ yang mempunyai arti melihat dan melafalkan apa yang tertulis yang membutuhkan kecermatan dan pemahaman. Salah dalam memahami suatu kalimat maka akan mengalami kekeliruan dalam memaknai sebuah kalimat. Jadi membaca adalah proses pembentukan makna dari teks-teks tertulis, kemampuan untuk menguraikan huruf dan memahami maksud kata perkata dalam kalimat.
Untuk menguatkan pengertian di atas, perlu penulis paparkan beberapa pendapat dari berbagai tokoh pendidikan mengenai pengertian mambaca, yaitu sebagai berikut :
Menurut Marksheffel, membaca adalah kegiatan kompleks dan disengaja, dalam hal berupa proses berfikir yang didalamnya terdiri dari berbagai aksi pikiran yang bekerja secara terpadu, mengarah kepada satu tujuan, yaitu memahami makna dari paparan tertulis secara keseluruhan)
Menurut Dr. Sudarso, mamabaca merupakan aktivitas kompleks yang mengarahkan sejumlah besar tindakan terpisah, mencakup penggunaan penglihatan, khayalan, pengamatan dan ingatan, artinya yang berperan adalah mata dan pikiran.
Menurut Muchottob, membaca dan menulis adalah suatu hal yang paling prinsip dalam pembangunan ilmu pengetahuan. Kokohnya syariat dalam agama dan kesadaran ahlakul karimah dipahami dan diajarkan serta diwariskan melalui membaca dan menulis.[4]
Dalam keterangan yang lain, membaca adalah serangkaian kegiatan untuk memahami sesuatu keterangan yang disegikan kepada indra penglihatan dalam bentuk lambang huruf dan tanda lainnya. Dari keterangan ini bisa diartikan bahwa membaca bukanlah kegiatan mata memandang serangkaian hal dalam bahan bacaan saja, melainkan kegiatan pikiran untuk memahami suatu keterangan melalui indra penglihatan.
Sedangkan yang dimaksud membaca disini adalah suatu kegiatan yang kompleks artinya melibatkan indra mata untuk melihat, indra lesan untuk mengucapkan dan pikiran untuk memahami maksud serta tujuan suatu teks. Dari pemahaman ini tujuan membaca diharapkan bisa tercapai dengan baik.
Hal – Hal Mempengaruhi Dalam Prilaku Beragama
Perilaku (behavior) adalah segala tindakan yang dilakukan oleh organisme. Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsang atau lingkungan. Menurut Hasan Langgulung dalam bukunya beberapa pemikiran tentang pendidikan Islam mengatakan bahwa tingkah laku adalah segala aktivitas seseorang yang dapat diamati. [5]
Beragama berasal dari dasar kata agama dan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu dari akar kata a yang berarti tidak, dan gama berarti kacau atau kocar – kacir. Dengan demikian agama dapat berarti tidak kacau atau tidak kocar-kacir. Pengertian serupa ini tampak sejalan dengan akal, karena dilihat dari segi peranan yang dimainkannya, agama dapat memberikan pedoman hidup bagi manusia agar memperoleh ketentraman, keterarutan, kedamaian dan jauh dari kekacauan dalam hidupnya.
Menurut Ahmad Tafsir, beragama adalah masalah sikap. Di dalam Islam, sikap beragama itu intinya adalah iman. Jadi yang dimaksud beragama pada intinya adalah beriman.
Jiwa beragama atau perilaku beragama merujuk kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang merefleksikan ke dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat hablumminallah maupun hablumminannas.
Dengan demikian perilaku beragama adalah segala aktivitas yang dilakukan oleh seseorang yang berkaitan dengan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Dengan kata lain, tingkah laku atas norma-norma, nilai atau ajaran dan doktrin-doktrin agama yang dianutnya. Dalam ajaran Islam , perilaku agama merupakan perilaku yang didasarkan atas nilai-nilai agama Islam, baik yang bersifat vertikal maupun yang bersifat horizontal.
Keberagamaan atau religiusitas diwujudkan dalam berbagai sisi kehidupan manusia. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat mata, tapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.
Menurut Glock dan Stark (Robertson, 1998), ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu :[6]
Pertama, dimensi keyakinan. Dimensi ini berisi pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrin-doktrin tertentu.
Kedua, dimensi praktik agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya.
Ketiga, Dimensi Penghayatan. Dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai (kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai suatu kontak dengan kekuatan supernatural).
Keempat, dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi.
Kelima, dimensi pengamalan atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.
Dari kelima dimensi tersebut di atas, dimensi tersebut merupakan kaitan antara iman, ilmu dan amal. Dimesi keyakinan merupakan cakupan dari aspek iman, dimensi pengetahuan agama merupakan cakupan dari aspek ilmu dan dimensi pengalaman merupakan cakupan dari aspek amal. Kemudian dari aspek amal terbagi menjadi dua yaitu amal yang langsung berhubungan dengan pencipta contohnya shalat, puasa, haji dan sebagainya dan amal yang berhubungan dengan manusia atau mu’amalah seperi berbuat baik terhadap tetangga, menghormati kedua orang tua dan lain-lain. Namun di sini penulis batasi pada masalah salat, puasa, berbakti kepada kedua orang tua dan suka menolong sesama.[7]
D. KESIMPULAN
Dimensi pengetahuan agama merupakan cakupan dari aspek ilmu dan dimensi pengalaman merupakan cakupan dari aspek amal. Kemudian dari aspek amal terbagi menjadi dua yaitu amal yang langsung berhubungan dengan pencipta contohnya shalat, puasa, haji dan sebagainya dan amal yang berhubungan dengan manusia atau mu’amalah seperi berbuat baik terhadap tetangga, menghormati kedua orang tua dan lain-lain
E. PENUTUP
Dari uraian kami tentang psikologi hukum islam dalam bagian terpenting dalam mangarahkan prilaku keberagamaan diatas semoga dapat dijadikan pembelajaran bagi kita agar dapat menempatkan psikologi hukum islam yang sesuai dengan pekembangan masyarakat seperti dalam uraian makalah kami diatas. Dan kami mohon kritik dan saran dari teman-teman sekiranya dalam makalah kami terdapat kekurangan-kekurangan yang sekiranya dapat membangun kami supaya lebih baik dilain kesempatan.
F. REFERENSI
¯ Rendra K, Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
¯ DepDikBud, 1989, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
¯ Tom & Harriet Sobol, 2003, “ Rancang Anak Cerdas “, Inisasi Press, Jakarta.
¯ Ibrahim Bafadal, 1992, ”Pengelolaan Perpustakaan Sekolah”, Bumi Aksara, Jakarta.
¯ Soedarso, 1991, “ Sistem Membaca Cepat Dan Efektif”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
¯ Muchottob, PR Jawa Tengah, “ Tentang Aktualisasi Pemahaman Al Qur’an” , Wonosobo.



[1] Rendra K, Metodologi Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000. 24.
[2] DepDikBud, 1989, Kamus Besar Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.56
[3] Rendra K, ibid, hal. 34
[4] Soedarso, 1991, “ Sistem Membaca Cepat Dan Efektif”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal. 24
[5] Muchottob, PR Jawa Tengah, “ Tentang Aktualisasi Pemahaman Al Qur’an” , Wonosobo. Hal. 53
[6] Tom & Harriet Sobol, 2003, “ Rancang Anak Cerdas “, Inisasi Press, Jakarta.
[7] Ibrahim Bafadal, 1992, ”Pengelolaan Perpustakaan Sekolah”, Bumi Aksara, Jakarta.