Laman

Rabu, 30 Maret 2011

unifikasi Hukum Pidana Adat


A. Pendahuluan
Indonesia merupakan bangsa yang masyarakatnya memiliki keragaman suku, ras, agama dan adat kebiasaan yang tersebar di kota-kota dan desa-desa. Keragaman itupun menjadi suatu kekayaan akan potensi yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan bermasyarakatnya, masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, ubi societas Ibi ius, dimana ada masyarakat dan di situ ada hukum. Oleh karena itu dibutuhkan suatu aturan hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat demi mencapai ketertiban umum. Aturan hukum tersebut ada yang tertulis maupun tidak tertulis, berlaku secara nasional maupun kedaerahan, di dalam lapangan hukum publik maupun hukum privat.
Di dalam lapangan hukum publik, salah satu sumber hukum yang diakui secara nasional dan terkodifikasikan adalah KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Namun, di daerah yang masyarakatnya masih dipengaruhi alam sekitarnya yang magis religius dan memiliki sifat kedaerahan yang kental, sumber hukum yang diakui di dalam lapangan hukum pidana adalah Hukum Pidana Adat. Keberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing daerah memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda-beda sesuai dengan adat-istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun terkodifikasikan.
Di masa pemberlakuan otonomi daerah saat ini, dimana daerah diberi kewenangan menyelenggarakan pemerintahannya sendiri harus mendasarkan pada prinsip-prinsip antara lain otonomi yang bertanggung jawab, menekankan pada demokrasi, menunjang aspirasi, peran serta masyarakat dan potensi daerah maupun keanekaragaman daerah. Tiap daerah tersebut memiliki kemampuan ekonomi, jumlah penduduk, luas daerah, sosial budaya serta politik yang berbeda-beda sehingga tidak menutup kemungkinan dalam meyelesaikan masalahnya menggunakan cara yang berbeda, termasuk dalam lapangan hukum publik karena didasari oleh latar belakang yang berbeda pula.
Antara hukum dengan kehidupan masyarakat memang berkaitan erat. Hukum berperan besar dalam mewujudkan kehidupan yang tertib dan aman. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang maka peranan hukum dapat dilihat secara lebih konkret. Di dalam lapangan hukum pidana, ada dua hukum yang berbeda yang digunakan oleh masyarakat yaitu hukum pidana yang bersumber pada KUHP serta peraturan tertulis lainnya dan hukum yang bersumber pada peraturan tidak tertulis ataupun kebiasaan yaitu Hukum Pidana Adat.
B. Permasalahan
1. Apakah Hukum Pidana Adat yang bersumber dari berbagai daerah itu masih dapat digunakan ataukah dapat lebih diperhatikan dalam menhadapi suatu permasalahan dalam lapangan hukum pidana.
2. Apakah Hukum Pidana Adat dapat diramu ataupun di-unifikasikan menjadi kaidah perundang-undangan yang akan mengisi hukum pidana nasional.
C. Pembahasan
Istilah Hukum Pidana Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda yaitu Adat Delicten Recht atau Hukum Pelanggaran Adat. Istilah yang demikian tidak dikenal dikalangan masyarakat adat. Mereka menggunakan istilah lain seperti Salah (Lampung), Sumbang (Sumatera Selatan) untuk menyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat. Hukum Pidana Adat adalah hukum yang menunjukan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan tersebut mengganggu keseimbangan masyarakat.
Masyarakat Indonesia, terutama yang bermukim di desa-desa yang letaknya jauh dari kota sangatlah dipengaruhi oleh alam sekitarnya yang magis religius. Alam pikirannya mempertautkan antara yang nyata dan tidak nyata, anatara yang alam fana dan alam baka, antara kekuasaan manusia dan kekuasaan gaib dan antara hukum manusia dengan hukum Tuhan alam pikiran yang demikian tersebut mengandung azas-azas dari Pancasila seperti azas Ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan dan kebersamaan, kerakyatan dan kesepakatan, serta keadilan dan kemasyarakatan. Oleh karenanya, hukum adat dikatakan hukum yang berfalsafah Pancasila dan berbhineka tunggal ika dikarenakan hukum adat di masing-masing daerah adalah berbeda satu sama lain. Meskipun berbeda namun tetap ika dalan negara kesatuan Republik Indonesia.
Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup (living law). Hukum Pidana Adat dijiwai oleh Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang magis religius, dimana yang diutamakan bukanlah rasa keadilan perorangan melainkan rasa keadilan kekeluargaan sehingga cara penyelesaiannya adalah dengan penyelesaian damai yang membawa kerukunan, keselarasan dan kekeluargaan. Hukum Pidana Adat tidak bermaksud menunjukan hukum dan hukuman apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi tujuannya adalah memulihkan kembali hukum yang pincang sebagai akibat terjadinya pelanggaran.
Apabila kita melihat jauh kebelakang, maka dapat kita ketahui bahwa Hukum pidana nasional yang digunakan oleh masyarakat Indonesia adalah hukum pidana barat dengan KUHP yang sudah berlaku sejak tahun 1946 yang merupakan kodifikasi dari hukum di negeri Belanda.[1] KUHP ini sudah berlaku begitu lama sehingga sudah membudaya bagi semua rakyat, meskipun ketentuan-ketentuan di dalamnya banyak yang kita rasakan tidak sesuai dengan falsafah negara Pancasila dan tidak sesuai dengan kepentingan pembangunan negara untuk mencapai masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Kondisi tersebut berbeda dengan Hukum Pidana Adat yang berfalsafah Pancasila dan berbhineka tunggal ika. Meskipun tidak tertulis, Hukum Pidana Adat tetap dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat karena Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat adat itu sendiri sehingga sesuai dengan jiwa masyarakat adat yang bersangkutan.
Hukum Pidana Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang dijiwai oleh falsafah Pancasila. Meskipun dijiwai oleh Pancasila, namun ketentuan Hukum Pidana Adat sulit untuk dapat digunakan sebagai hukum nasional. Hal ini dikarenakan Hukum Pidana Adat di suatu daerah berbeda dengan Hukum Pidana Adat di lain daerah, artinya setiap daerah mempunyai Hukum Pidana Adat yang berbeda.
Dengan adanya otonomi daerah, setiap daerah mempunyai kewenangan penuh untuk menentukan kebijakan daerah. Hal ini memungkinkan digunakannya hukum yang sesuai dengan jiwa dari masyarakat daerah yang bersangkutan yaitu hukum adat termasuk disini adalah Hukum Pidana Adat. Namun jika kita melihat ketentuan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa :
Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
Dengan demikian, meskipun daerah tersebut memiliki kewenangan namun kewenangan itu terbatas dimana tidak termasuk dalam peradilan. Jika suatu daerah diberi kewenangan dalam peradilan, dalam hal ini menggunakan Hukum Pidana Adatnya sendiri maka akan menimbulkan kerancuan karena tidak adanya kesatuan persepsi mengenai hukum (unifikasi hukum). Hal ini berbahaya karena ada kemungkinan, kejahatan di suatu daerah itu dianggap bukanlah kejahatan di daerah lain walaupun masih dalam kerangka suatu negara.
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim dapat menggali asas-asas yang ada di dalam masyarakat apabila terjadi kekosongan hukum. Asas-asas yang dimaksud di sini adalah asas-asas yang hidup di masyarakat. Salah satu contohnya adalah asas keadilan. Bahwa dalam menjatuhkan hukuman, hakim tidak selalu berpegang teguh kepada ketentuan yang ada di dalam KUHP.[2] Hakim juga memperhatikan hal-hal lain yang dapat mempengaruhi seseorang berbuat demikian yang dapat mempengaruhi keputusan hakim. Hal yang demikian merupakan ketentuan hukum adat, dimana ketentuannya tidak bersifat pasti, artinya bersifat terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi. Yang dijadikan ukuran disini adalah rasa keadilan, selain itu hakim dalam mengambil keputusan juga sering memperhatikan ketentuan-ketentuan adat dari suatu daerah dimana hakim tersebut bekerja, meskipun ketentuan tersebut tidak secara mutlak digunakan.
Jadi, di dalam era otonomi daerah ini, Hukum Pidana Adat masih dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum nasional yang berlaku. Namun disini bukan berarti Hukum Pidana Adat dapat dijadikan landasan ataupun sumber hukum yang utama di daerah, Hukum Pidana Adat hanyalah menjadi pendukung dari hukum pidana nasional yang bersumber pada peraturan-peraturan tertulis lainnya.
Hukum Pidana Adat juga dapat mempengaruhi dalam merancang suatu ketentuan hukum pidana yang berlaku secara nasional. Hal ini didasarkan pada fenomena bahwa bahwa Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang nyata ada di masyarakat dan berlaku serta di taati walaupun ketentuannya tidak tertulis dan bersifat terbuka. Pemerintah dalam hal ini pembentuk Undang-undang dalam menyusun ketentuan hukum pidana nasional hendaknya memperhatikan Hukum Pidana Adat yang ada di masyarakat. Di sini , bukan berarti Hukum Pidana Adat itu di masukan secara mentah-mentah di dalam ketentuan hukum pidana nasional. Namun, Hukum Pidana Adat dijadikan suatu rujukan dalam menyusun ketentuan hukum pidana nasional mengingat Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup di masyarakat.
D. Kesimpulan
Dalam kehidupan bermasyarakat, masyarakat dan hukum merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan, Ubi societas Ibi ius, dimana ada masyarakat dan di situ ada hukum. Berdasarkan adagium tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan dari pembahasan tentang Hukum Pidana Adat di era otonomi daerah yaitu :
Menurut Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa hakim dapat menggali asas-asas yang ada di dalam masyarakat apabila terjadi kekosongan hukum. Hal yang demikian merupakan ketentuan hukum adat, dimana ketentuannya tidak bersifat pasti, artinya bersifat terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi
Hukum Pidana Adat masih dapat digunakan sepanjang tidak bertentangan dengan kaidah hukum nasional yang berlaku. Namun disini bukan berarti Hukum Pidana Adat dapat dijadikan landasan ataupun sumber hukum yang utama di daerah dalam meneylesaikan perkara pidana. Hukum Pidana Adat hanyalah menjadi pendukung dari hukum pidana nasional yang bersumber pada peraturan-peraturan tertulis lainnya.
Hukum Pidana Adat juga dapat mempengaruhi dalam merancang suatu ketentuan hukum pidana yang berlaku secara nasional. Hal ini didasarkan pada fenomena bahwa bahwa Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang nyata ada di masyarakat dan berlaku serta di taati walaupun ketentuannya tidak tertulis dan bersifat terbuka. Sedangkan untuk menyatukan Hukum Pidana Adat yang ada di berbagai daerah adalah suatu usaha yang kurang sesuai dengan hasil yang akan diraih dibandingkan dengan kesulitan yang dialami.
E. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.
F. Referensi

Tujuan Pemidanaan


A. Tujuan Pemidanaan
Tujuan pemidaan dalam hukum pidana positif menjadi dasar penentuan dipidana atau tidak dipidananya pelaku kejahatan. Tujuan pemidaan ini umumnya dihubungkan dengan dua pandangan dasar, yaitu :
1. Retributivism dan
2. Utilitarianism
Menurut Pandangan retributif mengandaikan pemidanaan sebagai ganjaran negatif terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh warga masyarakat sehingga pandangan ini melihat pemindanaan hanya sebagai pembalasan terhadap kesalahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab moralnya masing-masing. Pandangan ini dikatakan bersifat melihat ke belakang (backward-looking).
Pandangan untilitarian melihat pemidanaan dari segi manfaat atau kegunaannya dimana yang dilihat adalah situasi atau keadaan yang ingin dihasilkan dengan dijatuhkannya pidana itu. Di satu pihak, pemidanaan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap atau tingkah laku terpidana dan di pihak lain pemidanaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa. Pandangan ini dikatakan berorientasi ke depan (forward-looking) dan sekaligus mempunyai sifat pencegahan (detterence).[1]
Selain menurut kedua pandangan dasar tersebut, penjatuhan pidana juga bertujuan sebagai :
  1. Tujuan Pemidanaan Sebagai Perlindungan Masyarakat
Tujuan pemidanaan salah satunya adalah perlindungan masyarakat (social defence). Dengan rumusan mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat dan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Penerapan tentang bagaimana kebutuhan perlindungan masyarakat ini, KUHP mengatur tentang adanya penentuan pidana minimum dan maksimum dalam delik-delik tertentu, seperti yang diatur dalam pasal 57 KUHP. Ketentuan mengenai perumusan pidana maksimum dan minimum dalam penjelasan KUHP dikenal dengan pola pemidanaan baru, yaitu minimum khusus dengan tujuan untuk menghindari adanya disparitas pidana yang sangat mencolok untuk tindak pidana yang secara hakiki tidak berbeda kualitasnya, lebih mengefektifkan pengaruh prevensi umum, khususnya bagi tindak pidana yang dipandang membahayakan dan meresahkan masyarakat. Ketentuan mengenai pidana penjara menganut asas maksimum khusus dan minimum khusus. Pada prinsipnya, pidana minimum khusus merupakan suatu pengecualian, yaitu hanya untuk tindak pidana tertentu yang dipandang sangat merugikan, membahayakan, atau meresahkan masyarakat dan untuk tindak pidana yang dikualifikasi atau diperberat oleh akibatnya. Ketentuan mengenai pidana minimum (khusus) dan maksimum menegaskan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan yang meresahkan masyarakat diberlakukan ancaman secara khusus. [2]
  1. Pembinaan Individu Pelaku Tindak Pidana
Ketentuan mengenai pemidanaan ini juga memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan atau penyesuaian pidana kepada narapidana. Pelaku yang dijatuhi pidana atau tindakan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan. Perubahan atau penyesuaian tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana dan perubahan atau penyesuaian dapat berupa :
a) Pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau
b) Penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
Penjelasan ketentuan ini memberikan ketegasan bahwa tujuan pemidanaan adalah berorientasi untuk pembinaan terpidana, yakni dengan menyatakan bahwa terpidana yang memenuhi syarat-syarat selalu harus dimungkinkan dilakukan perubahan atau penyesuaian atas pidananya, yang disesuaikan dengan kemajuan yang diperoleh selama terpidana dalam pembinaan. Dalam pengertian seperti ini maka yang diperhitungkan dalam perubahan atau pengurangan atas pidana hanyalah :
a) Kemajuan positif yang dicapai oleh terpidana
b) Perubahan yang akan menunjang kemajuan positif yang lebih besar lagi.[3]



[1] Zainal Abidin, Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri #3Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP, cet. ke-1, Jakarta, ELSAM - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2005, hal 10 (http://www.prakarsa-rakyat.org/download/Perundang-undangan/Position%20Paper%20Elsam%20RUU%20KUHP%202.pdf) tanggal 11/10/2010
[2] Ibid, hal, 17
[3] Ibid, hal, 18

Sifat dan ruang lingkup agraria


A. Pendahuluan
Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah. Pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masvarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.
Tanah mempunyai peranan yang besar dalam dinamika pembangunan, maka didalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat .Ketentuan mengenai tanah juga dapat kita lihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan UUPA. Timbulnya sengketa hukum yang bermula dari pengaduan sesuatu pihak (orang/badan) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah, baik terhadap status tanah, prioritas, maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sebelum UUPA berlaku pada tahun1960 hukum agrarian yang berlaku adalah hokum agrarian colonial dan adapt ini berlaku sampai dengan tahun 1960 namun dengan beberapa perubahan (sejak tahun 1945) ,yang menyangkut hal-hal yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan bangsa Indonesia
Pada masa berlakunya hokum agraria colonial di berlakukan suatu asas yang disebut asas domain verklaring . Asas ini memberi wewenang kepada Negara untuk memiliki BARA , untuk tanah yang tidak dapat di buktikan secara tertulis pada saat itu juga dikenal hak-hak atas tanah yang bersumber dari hokum barat ,seperti hak eigendom (hak milik), hak postal( hak mendirikan bangunan ), hak effacht (hak untuk mengusahakan tanah)
B. Permasalahan
1. Pengertian Hukum Agraria
2. Sifat dan ruang lingkup agraria
C. Pembahasan
1. Pengertian Hukum Agraria
Hukum agraria memberi lebih banyak keleluasaan untuk mencakup pula di dalamnya berbagai hal yang mempunyai hubungan pula dengannya, tetapi tidak melulu mengenai tanah. Menurut Subekti, menjelaskan bahwa “Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan di atasnya, seperti telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria”. Menurut Lemaire hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. S.J. Fockema Andreae merumuskan Agrarische Recht sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.[1]
Landasan Hukum Agraria islah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional. Hubungan Pasal 33 (3) UUD 45 dengan UUPA:
1. Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.
“bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong”
2. Dalam penjelasan UUPA angka 1
hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara….”
Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi bangsa dan negara.
3. Sifat dan Ruang Lingkup Hukum Agraria
Politik hukum pertanahan pada jaman HB dengan asas Domein dan Agrarische Wet ditujukan untuk kepentingan Pemerintah Jajahan dan Kaula Negara tertentu yang mendapat prioritas dan fasilitas dalam bidang penguasaan dan penggunaan tanah sedangkan golongan bumi putra kurang mendapatkan perhatian dan perlindungan.
Menurut Agrarische Wet pemerintah HB bertindak sama kedudukannya dengan orang, tampak adanya campur tangan pemerintah dalam masalah agraria pada umunya, sedangkan setelah Indonesia merdeka pemerintah bertindak selaku penguasa.[2]
Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3).
UU No. 5 Tahun 1960 mengatur:
1. Hubungan hukum antara bangsa Indonesia dengan BARA+K (bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya) yang terkandung di dalamnya.
2. Hubungan hokum antara Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia dengan BARA+K yang terkandung didalamnya. Atas dasar hak menggusai tersebut maka Negara dapat ;
a. Menentukan bermacam-macam hak atas tanah
b. Mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
c. Membuat perencanaan/planning mengenai penyediaan, peruntukan dan penggunaan BARA+K yang terkandung di dalamnya.
d. Mencabut hak-hak atas tanah untuk keperluan kepentingan umum
e. Menerima kembali tanah-tanah yang:
1. Ditelantarkan
2. Dilepaskan
3. Subyek hak tidak memenuhi syarat
f. Mengusahakan agar usaha-usaha di lapangan agraria diatur sedemikian rupa sehingga meningkatkan produksi dan kemakmuran rakyat.
Tujuan diberikannya hak menguasai kepada negara ialah: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak negara untuk menguasai pada hakekatnya memberi wewenang kepada negara untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan BARA+K
Hubungan antara orang baik sendiri-sendiri dan badan hukum dengan BARA+K yang terkandung di dalamnya.Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah: “Hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UU ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
D. Kesimpulan
Hukum agraria Menurut Subekti, menjelaskan bahwa “Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan di atasnya, seperti telah diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria”. Menurut Lemaire hukum agraria sebagai suatu kelompok hukum yang bulat meliputi bagian hukum privat maupun bagian hukum tata negara dan hukum administrasi negara. S.J. Fockema Andreae merumuskan Agrarische Recht sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.
Hukum agraria Negara RI bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat untuk menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 45 (Pasal 33 ayat 3). Dan tujuan diberikannya hak menguasai kepada negara ialah: untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Hak negara untuk menguasai pada hakekatnya memberi wewenang kepada negara untuk: mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan BARA+K.
Yang dimaksud dengan hak atas tanah ialah: “Hak yang memberikan wewenang untuk mempergunakan permukaan bumi atau tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, sekedar diperlukan untuk keperluan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu, dalam batas-batas menurut UU ini dan peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
E. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.
F. Referensi
Ø Alam, Rudi Harisyah dan Fitryawan, Agus (Peny), Dari Konflik Agraria ke Pengharapan Baru, Komnasham, Jakarta, 2005
Ø Afrizal, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, Andalas University Press, Padang, 2006.
Ø http://www.pdf-search-engine.com
Ø Boedi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia : Himpunan Peraturan – Peraturan Hokum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002.
Ø Ali Achmad Chomzah, Hokum Agrarian (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004



[1] Ali Achmad Chomzah, Hokum Agrarian (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004, Hal : 13.
[2] Afrizal, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, Andalas University Press, Padang, 2006. Hlm : 26

sanksi pidana


Dalam hukum pidana positif sendiri sudah diatur jelas mengenai sanksi pidana. Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan. Jenis-jenis hukuman/pidana tersebut adalah:
a.) Hukuman Pokok
1. Hukuman Mati.
Hukuman ini adalah puncaknya dari segala hukuman. Hukuman terutama di dalam abad-abad terakhir telah banyak dipersoalkan di antara golongan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap hukuman ini. Salah satu yang dirasakan orang terhadap hukuman mati ini ialah sifatnya yang mutlak, sifatnya yang tidak memungkinkan mengadakan perbaikan atau perubahan. Apabila hukuman itu telah dijalankan, hakim sebagai manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan meskipun di dalam suatu perkara nampaknya pemeriksaan dan bukti-bukti menunjuk kepada kesalahan terdakwa, akan tetapi karena kebenaran itu hanya pada Tuhan, tidaklah mustahil hakim itu, walaupun dengan segala kejujuran, keliru di dalam pandangan dan pendapatnya.[1]
Banyak negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk diterapkan di KUHP-nya seperti: Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan lain-lain. Sedangkan negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain masih mencatumkan pidana mati di KUHP-nya.
Di berbagai negara dunia, satu persatu negara menghapus hukuman pidana mati. Akan tetapi, hal ini terjadi sebaliknya di negara Indonesia. Delik – delik yang mengancam hukuman mati semakin banyak. Delik yang diancam pidana mati di Indonesia sudah menjadi 9 buah yaitu:
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden)
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing berperang)
3. Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara
4. Pasal 124 bis KUHP
5. Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar pada negara sahabat)
6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP(curat curas dengan kematian)
8. Pasal 444 KUHP (pembajakan laut,dengan akibat kematian)
9. Pasal 479 K ayat (2) dan pasal 479 O ayat (2) KUHP (kekerasan dalam pesawat dengan akibat kematian)
10. Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2)
Pelaksanaan hukuman mati tercantum pada pasal 11 KUHP. Pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan ditembak sampai mati. Hal itu diatur dengan ketentuan dalam UU No. 2 (Pnps) tahun 1964, yaitu:
• Ditembak mati (pasal 1)
• Ditempat penjatuhan hukuman pengadilan tingkat pertama (pasal 2)
• Regu tembak (1 perwira,1 bintara, dan 12 tamtama (pasal 10/1.2)
• Berdiri, duduk, berlutut.(pasal 12)
• Sasaran tembak jantung (pasal 14)[2]
2. Hukuman Penjara.
Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12 KUHP). Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa hal lamanya hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut. Yaitu jikalau untuk suatu kejahatan disediakan hukuman yang dapat dipilih oleh hakim diantaranya:
a. Hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, dan penjara untuk sementara waktu.
b. Hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman penjara untuk sementara waktu.
c. Terjadi gabungan peristiwa pidana.
d. Terjadi peristiwa pengulangan peristiwa pidana.
e. Terjadi perbuatan kejahatan seperti dimaksud dalam pasal 52, jumlah hukuman menjadi lebih dari 15 tahun.
Akan tetapi, bagaimanapun juga hukuman penjara sementara waktu tidak boleh melebihi 20 tahun[3]. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (4) KUHP. Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi narapidana juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:
1. Hak untuk memilih dan dipilih.
2. Hak untuk memangku jabatan politik.
3. Hak untuk bekerja di perusahaan.
4. Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6. Hak untuk kawin, dan lain-lain.
3. Hukuman Kurungan.
Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan hukuman kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan kemerdekaannya. Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 1 tahun paling lama.[4] Hukuman kurungan ini mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman penjara. Di dalam beberapa hal,(samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan) hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18 ayat (2) KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara dan hanya diancamkan bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan yang tidak disengaja dan di dalam hal pelanggaran.
Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
1. Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan yang termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih dapat disertai oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
2. Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama hukumannya.
3. Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman kurungan, yaitu 1 (satu) hari.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan sebagai berikut[5]:
Hukuman penjara
Hukuman kurungan
1. Orang yang dikenakan hukuman dapat dikirimkan kemana-mana untuk menjalani hukumannya
1.Tidak dapat dikirimkan, bertentangan dengan kehendaknya keluar daerah tempat dijatuhi hukuman.
2. Dipekerjakan berat.
2. Menurut pasal 19 ayat (2) KUHP ti-
dak seberat hukuman penjara.
3. Tidak diperkenankan atas biaya sendiri mengadakan persediaan persediaan yang meringankan nasibnya.
3. Diperkenankan atas biaya sendiri mengadakan persediaan persediaan yang meringankan nasibnya. (pasal 23)
4. Hukuman Denda.
Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman hukuman denda. Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang bersalah, akan tetapi berlainan dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat dijalankan dan diderita orang yang dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman denda tidak dapat dihilangkan kemungkinan, bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak ketiga.
Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda, hukuman itu dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti Jikalau hukuman denda itu tidak dibayar. Sedikitnya satu hari dan paling lama 6 bulan. Buat tiap – tiap hukuman denda sebanyak 50 sen atau kurang, lamanya kurungan penganti ditetapkan 1 hari. Buat hukuman denda yang lebih besar dari 50 sen, untuk tiap – tiap setengah rupiah tidak boleh lebih dari 1 hari, begitu pula untuk sisanya.
Hakim dalam menghitung hukuman kurungan itu pengganti. Contoh : besarnya denda Rp. 26,25. Jika tidak dibayar, harus diganti dengan kurungan 26,25 : 50 = 53 hari atau kurang, sebab hakim berhak menetapkan lamanya kurungan yang lebih pendek.
Harus diperhatikan bahwa lamanya kurungan penganti itu dalam keadaan biasa tidak boleh lebih dari 6 bulan. Misalnya, dalam perkara penganiayaan (pasal 351 KUHP)dapat dikenakan hukuman denda sampai Rp. 300. Jikalau hakim mendapatkan hukuman denda Rp.100 maka ia tidak boleh menghitung lamanya kurungan penganti itu seperti Rp.100:50 sen atau 200 hari, sebab menurut ayat 3 pasal 30 KUHP. Kurungan pengganti itupaling lama hanya boleh ditetapkan 6 bulan atau 80 hari.[6]
Dalam undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah dengan undang-undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima belas (15) kali lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus dengan putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat (3) KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan (concursus) resedive, dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat (5) KUHP).
Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar dendanya. Jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusinya, dimulai dengan waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.
5. Hukuman Tutupan.
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara.
b.) Hukuman-Hukuman Tambahan
Hukuman pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu.
Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga sdisebut “burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara (pasal 15 ayat 2).
Hak-hak yang dapat dicabut oleh keputusan, dimuat dalam pasal 35 KUHP, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2. Hak memasuki angkatan bersenjata.
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak tersebut, hal ini dijelaskan dalam pasal 38 KUHP, yaitu:
1. Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup.
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan palin banyak 5 tahun.
2. Perampasan Barang-Barang Tertentu.
Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana benda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu:
1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.
2. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti dengan kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.
3. Pengumuman Putusan Hakim.
Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana.
Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan.
Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya tindak pidana tersebut. Dan besar kecilnya hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, jika kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat diperberat begitu pula sebaliknya.[7]



[1] Mr. R. Tresna, Azaz – Azaz Hukum Pidana, Bandung, Universitas Padjadjaran, 1959, hal, 125
[2] R. Sugandi, SH, KUHP Dan Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1981, hal, 14
[3] Mr. R. Tresna, op. cit, hal, 127
[4] Ibid, hal, 128
[5] Ibid, hal. 129
[6] Ibid hal, 131
[7] Prof. Drs. H. Ahmad Djazuli op. cit, hal. 26-27.