A. Pendahuluan
Epistimologi berasal dari dua suku kata epistem dan logos. Episteme adalah teori tentang ilmu dan logos adalah ilmu. Jadi epistemology adalah ilmu yang mempelajari tentang teori ilmu.
Epistimologi bayani, ‘irfani, burhani, dan amali keempat epistimologi ini memiliki cara pandang yang sendiri – sendiri ketika menyikapi nash Al – qur’an dan sunnah. Epistimologi bayani terkait dengan nash Al – qur’an , sehingga ia tidak bisa menghindar sedikitpun dari teks Al – qur’an. Epistimologi burhani justru sebaliknya cenderung mengabaikan nash – nash Al – qur’an dan sunnah sebagai objek kajian. Epistimologi irfani berdiri diantara kedua paradigma bayani dan burhani, ia lebih memilih pengalaman sebagai sumber utamanya. Epistimologi amali mendudukkan dimensi praktis pelaksanaan ajaran islam sebagai objek kajian Al – qur’an dan sunnah sebagai grand concepts and grand theory.
Pesan kemanusiaan dan keadilan yang ditawarkan Al – qur’an dan sunnah sebagai rahmatan li al – amin yang demikian universal, akan dapat disadari dengan baik jika para penafsir kitab suci kontemporer memahami keempat corak epestimologi pemikiran keislaman tersebut dengan baik.
B. Epistemology Bayani
Filsafat ilmu yang dikembangkan di dunia barat, seperti rasionalisme, empirisme dan pragmatisme, dalam pandangan prof. Amin, tidak begitu cocok untuk dijadikan kerangka teori dan analisis terhadap pasang surut dan perkembangan Islamic studies. Perdebatan, pergumulan, dan perhatian epistimologi keilmuan di barat tersebut lebih terletak kepada wilayah natural sciences dan bukannya pada wilayah humanity dan social sciences.
Menurut al – jabiri, corak epistimologi bayani didukung oleh pola fikih dan kalam. corak pemikiran keislaman model bayani sangat mendominasi dan bersifat homogenik sehingga sulit berdialog dengan epistimologi irfani dan burhani. Corak pemikiran irfani (tasawuf, intuitif, al – atify) kurang begitu disukai oleh tradisi berpikir keilmuan bayani (fikih dan kalam) yang murni, lantaran bercampur aduknya bahkan dikaburkannya tradisi berpikir keilmuan irfani dengan kelompok – kelompok atau organisasi – organisasi tarekat dengan satahat – satahat – nya, serta kurang dipahaminya struktur fundamental epistimologi dan pola pikir irfani berikut nilai manfaat yang terkandung didalamya.
Ketiga kluster system epistimologi islam, ‘ulumuddin ini (menjadi empat ditambah epistimologi amali) menurut al – jabiri adalah masih serumpun, tetapi dalam prakteknya hampir – hampir tidak pernah mau akur. Bahkan tidak jarang saling kafir – mengkafirkan, murtad – memurtadkan, sekuler – mengsekulerkan antara masing – masing penganut ketiga tradisi epistimologi ini. Oleh karena itu, pola piker tekstual bayani lebih dominant secara politis dan membentuk mainstream pemikiran keislaman yang homogenik. Sebagai akibatnya, pola pemikiran keagamaan islam bayani menjadi kaku dan rigid.
Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar bayani atau tradisi berpikir tekstual keagamaan adalah ketika kita harus berhadapan dengan teks – teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa atau masyarakat yang beragama lain. Berpikir keagamaan model tekstual bayani biasanya mengambil sikap mental yang bersikap dogmatic, defensive, apologist, dan polemist, dengan semboyan kurang lebih semakna dengan “right or wrong is my country”.
C. Epistemology Irfani
Model berpikir epistimologi irfani lebih bersumber pada intuisi dan bukannya teks. Ditilik dari sejarahnya, model epistimologi telah ada baik di Persia maupun yahudi jauh sebelum datangnya teks – teks keagamaan baik oleh yahudi, Kristen maupun islam.
Status dan keabsahan epistemology irfani selalu dipertanyakan oleh tradisi berpikir bayani dan burhani. Epistimologi bayani mempertanyakan karena dianggap terlalu liberal dan tidak mengikuti pedoman – pedoman yang diberikan teks. Epistimologi burhani mempertanyakan karena dianggap tidak mengikuti aturan – aturan dan analisi yang berdasarkan logika.
Jika sumber pokok ilmu pengetahuan dalam tradisi bayani adalah teks (wahyu), maka sumber ilmu pengetahuan dalam tradisi irfani adalah pengalaman (experience). Pengalaman hidup sehari – hari yang otentik merupakan pelajaran yang tak ternilai harganya. Pengalaman konkrit pahitnya konflik, kekerasan dan disintergasi social dan akibat yang ditimbulkan dapat dirasakan oleh siapapun, tanpa harus dipersyaratkan mengenal jenis – jenis teks – teks keagamaan yang biasa dibacanya.
Pengalaman – pengalaman batin yang amat mendalam, otentik, yang dapat dirasakan secara langsung oleh seluruh umat manusia apapun warna kulit, ras, budaya, agama yang dipeluknya, fitri, hanafiah samhah, dan hampir – hampir tak terkatakan oleh logika dan tak terungkapkan oleh bahasa inilah yang disebut – sebut sebagai al –‘lim al – huduri (direct experience) oleh tradisi isyraqi di timur atau preverbal, prelecletive consciousness atau pre logical knowledge oleh tradisi existentialist di barat.
Validitas kebenaran epistimologi irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung (al – ru’yah al – mubasyirah; direct experience), intuisi, al – dzauq atau psiko – gnosis. Tradisi epistimologi irfani pada pola piker memahami prinsip kebenaran lebih bersifat unity in difference, tolerant, dan pluralist.
D. Epistemology Burhani
Hegemony epistemology bayani menjadikan corak epistemology burhani dan juga irfani tersingkir dari panggung sejarah pemikiran islam. epistemology burhani dan irfani cukup vital peranannya dalam pemikiran keislaman, maka keduanya perlu direkonstruksi ulang dengan pemaknaan – pemaknaan yang baru (al – qiro’ah al – muntijah), untuk mendampingi paradigma bayani.
Jika sumber pokok ilmu pengetahuan (the origin of science) dalam tradisi bayani adalah teks (wahyu), sumber ilmu pengetahuan dalam tradisi irfani adalah pengalaman (direct experience), maka epistemology bayani bersumber pada realitas atau al – waqi’, baik realitas alam, social, humanitas maupun keagamaan.
Ilmu – ilmu yang muncul tradisi burhani disebut sebagai al – ‘ilm al – husuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistemasikan lewat premis – premis logika atau al – mantiqi, dan bukannya lewat otoritas teks atau salaf dan bukan pula lewat otoritas intuisi.
Premis – premis logika keilmuan tersebut disusun lewat kerjasama antara proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih atau dengan menggunakan alat – alat yang dapat membantu dan menambah kekuatan indera. Peran akal pikiran sangat menentukan disini, karena fungsinya selalu diarahkan untuk mencari sebab akibat (idrak al – sabab wa al – musabab).
Validitas keilmuan pun sangat berbeda dari bayani dan nalar irfani. Jika nalar bayani tergantung pada kedekatan dan keserupaan teks atau nash dan realitas, dan pada nalar irfani lebih pada kematangan social skill (empathic, sympathy, verstehen), maka dalam nalar burhani yang ditekankan adalah korespondensi (al – mutabaqah baina al – ‘aql wa nizam al – tabi’ah atau kesesuaian antara rumus – rumus yang diciptakan oleh akal manusia dengan hokum – hokum alam).
Selain korespondensi juga ditekan aspek koherensi (keruntutan dan keteraturan berpikir logis)dan upaya yang terus – menerus dilakukan untuk memperbaiki dan memyempurnakan temuan – temuan, rumus – rumus, dan teori – teori yang telah dibangun dan disusun oleh jerih payah akal manusia.
E. Epistemology Amali
Epistimologi Amali atau paradigma ilmu islam terapan, jika epistimologi bayani memotret keberagamaan pada dimensi normative yang merumuskan boleh tidaknya sesuatu perbuatan dilakukan menurut ajaran islam (nash), Epistimologi burhani lebih menekankan pada pemikiran spekulatif tentang muatan agama dan keberagamaan dalam islam, Epistimologi irfani lebih menyibukkan dirinya dalam upaya untuk memperoleh pengalaman dan penghayatan berada didekat tuhan.
Epistimologi Amali lebih menitik beratkan bidikannya pada dimensi praktis dalam kehidupan konkret pemeluknya. Corak epistimologi amali mendudukkan dimensi praktis pelaksanaan ajaran islam sebagai objek kajian yang harus diikuti oleh prinsip – prinsip metode atas dasar metodologi yang sesuai. Yang terpenting dalam model berpikir amali adalah bagaimana melakukan atau mewujudkannya dalam kehidupan praktis.
Epistimologi amali memadukan antara universalitas yang bersifat nomotetis dengan proses pembentukan singularitas yang bersifat ideografis. Prosedur pembentukan ini, pada tampilan praktisnya adalah melengkapi unsure – unsure universalitas dengan unsure – unsure singularitas yang merupakan wujud penyelesaian masalah atau pemenuhan kebutuhan umat dalam kehidupan praktis.
pemenuhan unsur singularitas ini harus merupakan penajaman dari universalitas setelah berhadapan dengan praksis kehidupan dengan ujung proses yang menyelesaikan masalah. Prosedur berpikir dengan argumentasi tersebut dapat dirumuskan menjadi rumusan metode berpikir untuk membentuk keberagamaan yang responsive.
Pijakan pikirannya adalah mendudukkan al – qur’an dan sunnah sebagai sumber grand concept dan grand theory. Konsep besar dan teori besar ini memiliki muatan yang mencakup seluruh kebutuhan hidup manusia. Selanjutnya prinsip dasar tersebut ditajamkan dengan memperdayakan alat – alat penyimpulan manusia seperti rasio, indera, intuisi, dan wahyu, untuk mengkaji pembentukan keberagamaan dalam praktis kehidupan.
EPISTIMOLOGI BAYANI, ‘IRFANI, BURHANI,
DAN AMALI DALAM MEMAHAMI
AL – QUR’AN DAN SUNNAH.
Resume
Disusun Guna Memenuhi Tugas
MataKuliah : Teknologi Beragama
Dosen Pengampu : Bpk Drs. Ma’mun Mu’min, M.Ag.
Disusun oleh:
1. M. Syahrial. L :2050 43
2. Aris Widodo :2050
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS
JURUSAN SYARIAH/AS
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar