A. Pengertian Delik Penganiayaan
Delik penganiayaan dalam tatanan hukum termasuk suatu kejahatan, yaitu suatu perbuatan yang dapat dikenai sanksi oleh undang – undang. Pada KUHP hal ini disebut dengan “penganiayaan”. Dalam KUHP pasal 351 ayat 4, yang termasuk dalam pengertian penganiyaan ialah perbuatan dengan sengaja merusak kesehatan orang.[1] Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dimuat artinya sebagai : “Suatu perlakuan yang sewenang – wenang”[2].
Pengertian yang dimuat Kamus Besar Bahasa Indonesia tersebut adalah pengertian dalam arti luas, yaitu termasuk yang menyangkut “perasaan” atau “batiniah”. Penganiayaan yang dimaksud dalam ilmu hukum pidana adalah yang berkenaan dengan tubuh manusia. Menurut pendapat pakar hukum pidana Mr. M.H. Tirtaamidjaja membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut : “Menganiaya ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan .”[3]
Ilmu pengetahuan (doctrine) mengartikan penganiayaan sebagai, “setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain”.[4] Sedangkan menurut H.R. (Hooge Raad), penganiayaan adalah : “Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka kepada orang lain, dan semata-mata menjadi tujuan dari orang itu dan perbuatan tadi tidak boleh merupakan suatu alat untuk mencapai suatu tujuan yang diperkenankan”.[5]
Didalam hukum pidana positif membedakan antara “penganiayaan” (persecution) dengan “penyiksaan” (torture). Sebaiknya dibedakan terlebih dulu “penyiksaan” dengan “penganiayaan”. Pertama, dari jenis hukum yang melingkupi, “penyiksaan” termasuk dalam yurisdiksi hukum hak-hak manusia (human rights law) dan dikenal juga sebagai perjanjian internasional tentang hak-hak manusia (international bill of human rights). Sementara “penganiayaan” termasuk dalam hukum pidana (common law). Selama ini istilah “penyiksaan” memang tak pernah terdapat dalam hukum pidana.[6]
Kedua, “penyiksaan” termasuk salah satu hak manusia yang tak boleh ditangguhkan (non-derogable right) dalam keadaan apa pun, bahkan dalam keadaan perang atau darurat sekalipun, sehingga perbuatan ini tergolong sebagai pelanggaran hak-hak manusia yang berat (gross violation of human rights). Sementara “penganiayaan” dapat berupa “penganiayaan ringan” dan dapat pula “penganiayaan berat”.[7]
Ketiga, pelaku “penyiksaan” – sesuai jenis hukumnya – adalah aparat negara (state apparatus), secara khusus adalah aparat penegak hukum (law enforcement officials), sehingga termasuk sebagai tanggung jawab negara (state responsibility). Sementara pelaku “penganiayaan” adalah individu dan dengan begitu sebagai tanggung jawab individu (individual responsibility).[8]
Keempat, memang korban “penyiksaan” maupun “penganiayaan” sama-sama individu, tapi pelaku “penganiayaan” yang ditangani proses hukumnya oleh aparat penegak hukum dapat saja menjadi korban “penyiksaan”. Dan memang kebanyakan korban “penyiksaan” adalah mereka yang diduga melakukan perbuatan kriminal.[9]
Kelima, pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara “penganiayaan” diproses melalui mekanisme pengadilan pidana (criminal court). Sementara pertanggungjawaban atas pelaku dalam perkara “penyiksaan” diproses melalui mekanisme “pengadilan hak-hak manusia” (human rights court).[10]
[4] Chidir Ali, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana , Bandung : Armico, 1985, hal. 83.
[6]http://www.pbhi.or.id/artikel45/Larangan+Dan+Sanksi+Penyiksaan.html, Rabu, 21 November 2007 18:02:28.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar