Laman

Rabu, 30 Maret 2011

sanksi pidana


Dalam hukum pidana positif sendiri sudah diatur jelas mengenai sanksi pidana. Jenis pidana tercantum di dalam pasal 10 KUHP. Pidana ini juga berlaku bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang. Jenis pidana ini dibedakan antara pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan. Jenis-jenis hukuman/pidana tersebut adalah:
a.) Hukuman Pokok
1. Hukuman Mati.
Hukuman ini adalah puncaknya dari segala hukuman. Hukuman terutama di dalam abad-abad terakhir telah banyak dipersoalkan di antara golongan yang setuju dan yang tidak setuju terhadap hukuman ini. Salah satu yang dirasakan orang terhadap hukuman mati ini ialah sifatnya yang mutlak, sifatnya yang tidak memungkinkan mengadakan perbaikan atau perubahan. Apabila hukuman itu telah dijalankan, hakim sebagai manusia yang tidak luput dari kekeliruan dan meskipun di dalam suatu perkara nampaknya pemeriksaan dan bukti-bukti menunjuk kepada kesalahan terdakwa, akan tetapi karena kebenaran itu hanya pada Tuhan, tidaklah mustahil hakim itu, walaupun dengan segala kejujuran, keliru di dalam pandangan dan pendapatnya.[1]
Banyak negara yang telah menghapuskan pidana mati untuk diterapkan di KUHP-nya seperti: Belanda, Jerman, Italia, Portugal, dan lain-lain. Sedangkan negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, Pakistan, dan lain-lain masih mencatumkan pidana mati di KUHP-nya.
Di berbagai negara dunia, satu persatu negara menghapus hukuman pidana mati. Akan tetapi, hal ini terjadi sebaliknya di negara Indonesia. Delik – delik yang mengancam hukuman mati semakin banyak. Delik yang diancam pidana mati di Indonesia sudah menjadi 9 buah yaitu:
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden)
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing berperang)
3. Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyerahkan kekuasaan, menganjurkan huru-hara
4. Pasal 124 bis KUHP
5. Pasal 140 ayat (3) KUHP (makar pada negara sahabat)
6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana)
7. Pasal 365 ayat (4) KUHP(curat curas dengan kematian)
8. Pasal 444 KUHP (pembajakan laut,dengan akibat kematian)
9. Pasal 479 K ayat (2) dan pasal 479 O ayat (2) KUHP (kekerasan dalam pesawat dengan akibat kematian)
10. Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2)
Pelaksanaan hukuman mati tercantum pada pasal 11 KUHP. Pelaksanaan hukuman mati dilakukan dengan ditembak sampai mati. Hal itu diatur dengan ketentuan dalam UU No. 2 (Pnps) tahun 1964, yaitu:
• Ditembak mati (pasal 1)
• Ditempat penjatuhan hukuman pengadilan tingkat pertama (pasal 2)
• Regu tembak (1 perwira,1 bintara, dan 12 tamtama (pasal 10/1.2)
• Berdiri, duduk, berlutut.(pasal 12)
• Sasaran tembak jantung (pasal 14)[2]
2. Hukuman Penjara.
Hukuman penjara adalah untuk sepanjang hidup atau sementara waktu (pasal 12 KUHP). Lamanya hukuman penjara untuk sementara waktu berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 15 tahun berturut-turut paling lama. Akan tetapi dalam beberapa hal lamanya hukuman penjara sementara itu dapat ditetapkan sampai 20 tahun berturut-turut. Yaitu jikalau untuk suatu kejahatan disediakan hukuman yang dapat dipilih oleh hakim diantaranya:
a. Hukuman mati, hukuman penjara seumur hidup, dan penjara untuk sementara waktu.
b. Hukuman penjara seumur hidup, dan hukuman penjara untuk sementara waktu.
c. Terjadi gabungan peristiwa pidana.
d. Terjadi peristiwa pengulangan peristiwa pidana.
e. Terjadi perbuatan kejahatan seperti dimaksud dalam pasal 52, jumlah hukuman menjadi lebih dari 15 tahun.
Akan tetapi, bagaimanapun juga hukuman penjara sementara waktu tidak boleh melebihi 20 tahun[3]. Hal ini sesuai dengan pasal 12 ayat (4) KUHP. Pidana penjara disebut juga pidana hilang kemerdekaan. Tidak hanya itu, tapi narapidana juga kehilangan hak-hak tertentu, diantaranya:
1. Hak untuk memilih dan dipilih.
2. Hak untuk memangku jabatan politik.
3. Hak untuk bekerja di perusahaan.
4. Hak untuk mendapatkan perizinan tertentu.
5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6. Hak untuk kawin, dan lain-lain.
3. Hukuman Kurungan.
Hukuman kurungan seperti halnya dengann hukuman penjara, maka dengan hukuman kurungan pun, terpidana selama menjalani hukumannya, kehilangan kemerdekaannya. Menurut pasal 18 KUHP, lamanya hukuman kurungan berkisar antara 1 hari sedikit-dikitnya dan 1 tahun paling lama.[4] Hukuman kurungan ini mempunyai banyak kesamaan dengan hukuman penjara. Di dalam beberapa hal,(samenloop, residive, dan pemberatan karena jabatan) hukuman kurungan itu dapat dikenakan lebih lama, yaitu 1 tahun 4 bulan (pasal 18 ayat (2) KUHP). Hukuman kurungan dianggap lebih ringan dari hukuman penjara dan hanya diancamkan bagi peristiwa yang ringan sifatnya seperti di dalam kejahatan yang tidak disengaja dan di dalam hal pelanggaran.
Persamaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan adalah:
1. Hukuman penjara dan hukuman kurungan merupakan hukuman penahanan yang termasuk dalam hukuman pokok, sehingga dalam penjatuhannya masih dapat disertai oleh hukuman-hukuman tambahan pula.
2. Sama-sama berinti pada penghilangan kebebasan seseorang selama hukumannya.
3. Batas minimum hukuman penjara sama dengan batas minimum hukuman kurungan, yaitu 1 (satu) hari.
Perbedaan antara hukuman penjara dan hukuman kurungan sebagai berikut[5]:
Hukuman penjara
Hukuman kurungan
1. Orang yang dikenakan hukuman dapat dikirimkan kemana-mana untuk menjalani hukumannya
1.Tidak dapat dikirimkan, bertentangan dengan kehendaknya keluar daerah tempat dijatuhi hukuman.
2. Dipekerjakan berat.
2. Menurut pasal 19 ayat (2) KUHP ti-
dak seberat hukuman penjara.
3. Tidak diperkenankan atas biaya sendiri mengadakan persediaan persediaan yang meringankan nasibnya.
3. Diperkenankan atas biaya sendiri mengadakan persediaan persediaan yang meringankan nasibnya. (pasal 23)
4. Hukuman Denda.
Beberapa pelanggaran hukuman dianggap kurang cukup dengan ancaman hukuman denda. Walaupun sifatnya hukuman ini ditujukan pada orang yang bersalah, akan tetapi berlainan dengan hukuman-hukuman lainnya, yang tidak dapat dijalankan dan diderita orang yang dikenai hukuman. Maka di dalam hal hukuman denda tidak dapat dihilangkan kemungkinan, bahwa hukuman itu dibayar oleh pihak ketiga.
Berbeda dengan hukuman-hukuman lain, maka di dalam hukuman denda, hukuman itu dapat dirubah menjadi kurungan sebagai pengganti Jikalau hukuman denda itu tidak dibayar. Sedikitnya satu hari dan paling lama 6 bulan. Buat tiap – tiap hukuman denda sebanyak 50 sen atau kurang, lamanya kurungan penganti ditetapkan 1 hari. Buat hukuman denda yang lebih besar dari 50 sen, untuk tiap – tiap setengah rupiah tidak boleh lebih dari 1 hari, begitu pula untuk sisanya.
Hakim dalam menghitung hukuman kurungan itu pengganti. Contoh : besarnya denda Rp. 26,25. Jika tidak dibayar, harus diganti dengan kurungan 26,25 : 50 = 53 hari atau kurang, sebab hakim berhak menetapkan lamanya kurungan yang lebih pendek.
Harus diperhatikan bahwa lamanya kurungan penganti itu dalam keadaan biasa tidak boleh lebih dari 6 bulan. Misalnya, dalam perkara penganiayaan (pasal 351 KUHP)dapat dikenakan hukuman denda sampai Rp. 300. Jikalau hakim mendapatkan hukuman denda Rp.100 maka ia tidak boleh menghitung lamanya kurungan penganti itu seperti Rp.100:50 sen atau 200 hari, sebab menurut ayat 3 pasal 30 KUHP. Kurungan pengganti itupaling lama hanya boleh ditetapkan 6 bulan atau 80 hari.[6]
Dalam undang-undang tidak ditentukan maksimum umum besarnya denda yang harus dibayar. Yang ada ialah minimum umum yang semula 25 sen, kemudian diubah dengan undang-undang no.18 (perpu) tahun 1960 (LN 1960 no. 52) menjadi lima belas (15) kali lipat.
Lamanya pidana kurungan pengganti denda ditentukan secara kasus demi kasus dengan putusan hakim, minimum umum 1 hari dan maksimum 6 bulan (pasal 30 ayat (3) KUHP). Maksimum ini dapat dinaikkan menjadi 8 bulan dalam hal gabungan (concursus) resedive, dan delik jabatan menurut pasal 52 dan 52 bis (pasal 30 ayat (5) KUHP).
Kurungan itu dapat saja dihentikan segera, setelah si terhukum membayar dendanya. Jangka waktu untuk membayar denda ditentukan oleh jaksa yang mengeksekusinya, dimulai dengan waktu 2 bulan dan diperpanjang menjadi 1 tahun.
5. Hukuman Tutupan.
Dalam KUHP terjemahan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), pada pasal 10 dicantumkan pidana tutupan sebagai pidana pokok bagian terakhir di bawah pidana denda. Tentulah pencatuman ini didasarkan kepada undang-undang no. 20 tentang pidana tutupan.
Pidana tutupan disediakan bagi politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktek peradilan dewasa ini, tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.
Di dalam pasal 2 undang-undang 1946 no. 20 itu ditetapkan bahwa di dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, maka hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Dari pasal 1 undang-undang tersebut, ternyata hukuman tutupan itu dimaksudkan untuk menggantikan hukuman penjara.
b.) Hukuman-Hukuman Tambahan
Hukuman pidana tambahan ini hanya bersifat menambah pidana pokok yang dijatuhkan. Jadi, tidaklah dapat berdiri sendiri, kecuali dalam hal-hal tertentu. Pidana tambahan ini bersifat fakultatif, artinya dapat dijatuhkan tetapi tidaklah harus.
1. Pencabutan Hak-Hak Tertentu.
Pencabutan segala hak yang dipunyai atau diperoleh orang sebagai warga sdisebut “burgerlijke dood”, tidak diperkenankan oleh undang-undang sementara (pasal 15 ayat 2).
Hak-hak yang dapat dicabut oleh keputusan, dimuat dalam pasal 35 KUHP, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu.
2. Hak memasuki angkatan bersenjata.
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diakan berdasarkan aturan-aturan umum.
4. Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder), hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anaknya sendiri.
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau pengampuan atas anak sendiri.
6. Hak menjalankan pencaharian (beroep) yang tertentu.
Untuk berapa lamanya hakim dapat menetapkan berlakunya pencabutan hak-hak tersebut, hal ini dijelaskan dalam pasal 38 KUHP, yaitu:
1. Dalam hal pidana atau mati, lamanya pencabutan seumur hidup.
2. Dalam hal pidana penjara untuk waktu tertentu atau kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan paling banyak 5 tahun lebih lama dari pidana pokoknya.
3. Dalam hal denda lamanya pencabutan paling sedikit 2 tahun dan palin banyak 5 tahun.
2. Perampasan Barang-Barang Tertentu.
Perampasan merupakan pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana benda. Dalam pasal 39 KUHP, dijelaskan barang-barang yang dapat dirampas, yaitu:
1. Barang-barang yang berasal/diperoleh dari hasil kejahatan.
2. Barang-barang yang sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan.
Jika barang itu tidak diserahkan atau harganya tidak dibayar, maka harus diganti dengan kurungan. Lamanya kurungan ini 1 hari paling sedikit dan 6 bulan paling lama. Jika barang itu dipunyai bersama, dalam keadaan ini, perampasan tidak dapat dilakukan karena sebagian barang kepunyaan orang lain akan terampas pula.
3. Pengumuman Putusan Hakim.
Di dalam pasal 43 KUHP, ditentukan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan kitab undang-undang ini atau aturan yang lain. Maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah atas biaya terpidana.
Pidana tambahan berupa pengumuman keputusan hakim hanya dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang. Terhadap orang-orang yang melakukan peristiwa pidana sebelum berusia 16 tahun, hukuman pengumuman tidak boleh dikenakan.
Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya tindak pidana tersebut. Dan besar kecilnya hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, jika kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat diperberat begitu pula sebaliknya.[7]



[1] Mr. R. Tresna, Azaz – Azaz Hukum Pidana, Bandung, Universitas Padjadjaran, 1959, hal, 125
[2] R. Sugandi, SH, KUHP Dan Penjelasannya, Surabaya, Usaha Nasional, 1981, hal, 14
[3] Mr. R. Tresna, op. cit, hal, 127
[4] Ibid, hal, 128
[5] Ibid, hal. 129
[6] Ibid hal, 131
[7] Prof. Drs. H. Ahmad Djazuli op. cit, hal. 26-27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar