Laman

Rabu, 30 Maret 2011

hukum agraria (Tanah Sebagai Akibat Dari Dampak Dari Perkembangan Ekonomi)


A. Pendahuluan
Tanah adalah sumber kehidupan, kekuasaan, dan kesejahteraan. Karena kedudukan tanah yang demikian strategis ini, maka di dalam politik dan hukum pertanahan Indonesia, negara sebagai organisasi kekuasan rakyat pada tingkatan yang tertinggi, menguasai tanah untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui: 1) pengaturan hubungan hukum orang dengan tanah, 2) mengatur perbuatan hukum orang terhadap tanah, dan 3) perencanaan persediaan peruntukan dan penggunaan tanah bagi kepentingan umum. Selain itu digariskan pula bahwa setiap hak atas tanah harus memiliki fungsi sosial dengan pengertian tanah tersebut wajib digunakan, dan penggunaannya tidak boleh merugikan kepentingan orang lain.[1]
Bagi bangsa Indonesia ketersediaan tanah merupakan faktor penting untuk menjamin kelangsungan penyediaan pangan dan tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi lain di luar pertanian. Terjadinya pertambahan penduduk dan perkembangan ekonomi senantiasa mempengaruhi sisi permintaan terhadap tanah yang luasnya bersifat tetap. Oleh karenanya permasalahan alokasi penggunaan dan penguasaan tanah akan senantiasa menjadi persoalan strategis untuk diselesaikan agar dapat dicapai struktur penggunaan tanah yang terbaik dan distribusi penguasaan tanah yang adil sehingga sejalan dengan visi dan misi kehidupan kebangsaan.
Konflik agraria dilihat sebagai perlawanan penduduk yang tidak punya tanah atau yang tanahnya dirampas kepada kapitalis. Negara ditempatkan sebagai instrumen kapitalis. Di pihak lain, Teori Pluralisme Hukum memandang konflik agraria terjadi akibat adanya lebih dari satu hukum yang kontradiktif yang dipakai oleh berbagai pihak, terutama hukum adat dan hukum negara. Hukum negara dipahami memberikan kekuatan kepada negara untuk mendelegitimasi hak-hak komunitas lokal, sementara komuniats lokal menggunakan hukum adat untuk membenarkan hak-hak mereka.
B. Permasalahan
1. Perubahan Penggunaan Tanah Sebagai Akibat Dari Dampak Dari Perkembangan Ekonomi
2. Perencanaan Dan Tata Ruang Dan Penggunaan Tanah
C. Pembahasan
1. Perubahan Penggunaan Tanah Sebagai Akibat Dari Dampak Perkembangan Ekonomi
Berlangsungnya fenomena penyusutan luas tanah pertanian, terutama persawahan di Pulau Jawa dan sekitar kota-kota besar, menunjukkan bahwa dinamika perubahan penggunaan tanah menjadi semakin intensif dengan semakin berkembangnya perekonomian wilayah. Dengan demikian, permasalahan ini tidak terlepas dari proses transformasi struktur ekonomi yang terjadi di Indonesia yakni dari yang berbasiskan sektor primer (pertanian) ke sektor sekunder dan tertier (industri, jasa, dan perdagangan). Sebagai suatu konsekuensi pembangunan, hal ini dapat dinilai wajar terjadi. Pertumbuhan penduduk kota dan aktivitas perekonomian memerlukan tanah untuk perumahan, industri, sarana dan prasarana penunjang lainnya. Kompetisi penggunaan tanah pada bidang yang sama antara keperluan pertanian dengan nonpertanian praktis sulit dihindari
Permasalahannya justru terletak pada proses yang terjadi dibalik perubahan penggunaan tanah tersebut dan kemungkinan dampak yang dapat ditimbulkan. Untuk kasus di Indonesia, terdapat indikasi kuat bahwa perubahan penggunaan tanah tersebut berlangsung semakin cepat. Data memperlihatkan bahwa pada periode 1983-1988 luas sawah untuk pertanaman padi menurun 3.263 juta ha menjadi 3.200 juta ha atau per tahun rata-rata menurun 12.600 ha, sedangkan pada periode 1988-1993 alih penggunaan lahan sawah untuk keperluan nonpertanian mencapai 8.255 ha/tahun.
Perubahan penggunaan tanah tersebut pada umumnya didahului oleh proses alih status penguasaan tanah. Statitistik juga memperlihatkan bahwa telah terjadi suatu ‘ketimpangan’ penguasaan tanah yang sangat berarti. Dari Sensus Pertanian 1983 dan 1993 diperoleh gambaran bahwa jumlah petani gurem dengan luas lahan petanian sama atau lebih kecil dari 0,25 ha meningkat dari 18.693.000 rumah tangga menjadi 21.183.000 rumah tangga, atau meningkat sekitar 13%. Dengan perkiraan bahwa luas keseluruhan lahan pertanian tetap, atau bahkan berkurang, maka kepemilikan lahan per rumah tangga menjadi semakin sempit. Untuk periode yang sama, rata-rata pemilikan lahan per rumah tangga turun dari 0,98 ha menjadi 0,83 ha atau turun sebesar 15%. Pada tahun 1983, persentase usaha tani yang dalam kelompok penguasaan tanah gurem (kurang dari 0,5 ha) mencapai 40,8% dari total usaha tani. Proporsi ini meningkat menjadi 48,5% dalam waktu 10 tahun kemudian (1993). Peningkatan persentase usaha tani ini diperburuk dengan menurunnya angka luasan rata-rata usaha tani gurem dari 0,26 ha menjadi 0,17 ha.
Struktur penguasaan tanah pertanian tahun 1993 menunjukkan keadaan yang sangat timpang. Sebanyak 70% dari rumah tangga pedesaan menguasai tanah dengan luasan kurang dari 0,5 ha, dimana sebagian besar (43% rumah tangga pedesaan) dari kelompok ini merupakan kelompok tunawisma dan petani yang memiliki tanah kurang dari 0,1 ha. Statistik tersebut memperlihatkan pula bahwa 43% rumah tangga pedesaan hanya menguasai 13% dari luas tanah pertanian, sementara 16% rumah tangga pedesaan menguasai hampir 70% luas tanah pertanian. Dengan demikian, dibalik perubahan penggunaan tanah tersebut telah terjadi peralihan status penguasaan tanah secara asimetris yang dapat berdampak terhadap kecemburuan sosial yang sangat mendalam. Lebih dari itu, hal ini berarti kehilangan tanah sebagai aset produksi utama bagi masyarakat pedesaan yang mayoritasnya petani. Sementara itu, kelompok minoritas yang menguasai tanah dalam skala besar, tidak mampu atau tidak mau memanfaatkan tanah secara produktif. Sehingga, ditengah kondisi ketersediaan tanah yang semakin langka, tanah-tanah tersebut justru menjadi sumber daya yang tidak dimanfaatkan secara optimal.
Dalam konteks pembangunan wilayah, perubahan penggunaan tanah, berskala luas maupun kecil seringkali menyangkut permasalahan yang memerlukan pendekatan penyelesaian secara integrasi, yakni: (1) efisiensi alokasi dan distribusi, sumber daya dari sudut pandang ekonomi, (2) keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan keadilan penguasaan sumber daya, serta (3) keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dalam konteks yang lebih luas, penyusutan tanah-tanah pertanian dapat pula menimbulkan persoalan ekonomi dan goncangan politik karena penyusutan tersebut berpotensi menciptakan kelangkaan pangan di masa mendatang. Adalah sulit mengalihkan pola konsumsi masyarakat Indonesia dari beras ke menu pangan nonberas, demikian pula alternatif penciptaan sawah-sawah baru di luar pulau Jawa.[2]
2. Perencanaan Tata Ruang Dan Penggunaan Tanah
Pembangunan tanpa tersedianya tanah, tidak mungkin terselenggara. Tanah diperlukan sebagai sumber daya sekaligus sebagai tempat menyelenggarakan pembangunan. Sebaliknya tanah tidak akan memberikan kemakmuran tanpa pembangunan, sebab yang memberikan kemakmuran adalah kegiatan manusia di atasnya melalui pembangunan. Oleh karena itu penataan pertanahan tidak dapat dilepaskan dengan sistem penyelenggaraan pembangunan nasional.
Dalam konteks pembangunan ini, perencanaan penataan ruang dapat dipandang sebagai salah satu bentuk intervensi atau upaya pemerintah untuk menuju keterpaduan pembangunan melalui kegiatan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan sumber daya ruang. Rencana tata ruang yang disusun tersebut mengandung pengertian perspektif yaitu menuju kepada keadaan ruang dan masa mendatang.[3]
Sebagai suatu produk hukum yang bersifat koordinasi, rencana pemanfaatan ruang yang telah disusun dalam rencana tata ruang hanya dapat diwujudkan melalui sejumlah kebijaksanaan yang bersifat koordinasi pula, antara lain dibidang pertanahan. Hal ini merupakan suatu keharusan mengingat bahwa sepanjang menyangkut tanah, maka rencana pemanfaatan ruang pada dasarnya adalah rencana pemanfaatan tanah. Artinya kegiatan penatagunaan tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan penataan ruang. Dalam konteks ini, maka penatagunaan tanah mempunyai esensi mendasar yakni sebagai subsistem penataan ruang.
Mengingat pada kenyataannya tanah-tanah telah dikuasai oleh masyarakat dengan berbagai bentuk hubungan hukum dan dengan berbagai ragam dan jenis penggunaan serta pemanfaatan tanah, maka dalam perencanaan tata ruang tersebut, kondisi-kondisi pertanahan tersebut merupakan faktor yang perlu diperhatikan. Aspek-aspek pertanahan yang harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses perencanaan tata ruang antara lain adalah keadaan penggunaan tanah saat sekarang, kondisi fisik kemampuan tanah, potensi tanah serta status penguasaan tanah tersebut.
Untuk mendukung kegiatan tersebut maka ketersediaan data dan informasi pertanahan yang lengkap, terpercaya dan senantiasa dapat diperbaharui serta dapat diakses dengan mudah merupakan suatu keharusan dalam kegiatan perencanaan pembangunan wilayah perkotaan, seperti misalnya perencanaan tata ruang. Oleh karena itu, kiranya pemerintahan daerah sudah seyogyanya dapat dilengkapi dengan data dan informasi pertanahan berserta dengan sarana dan prasana pengelolaannya.
Selanjutnya, sebagai syarat untuk menjamin implementasi rencana tata ruang, maka diperlukan sarana implementasi misalnya melalui mekanisme perijinan dalam penggunaan tanah. Dalam pelaksanaan pemberian ijin hingga penerbitan hak atas tanah harus menghormati hak atas tanah yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Dengan demikian, upaya-upaya untuk mewujudkan kondisi ideal dari suatu rencana tata ruang dengan kondisi faktual penggunaan, potensi dan penguasaan tanah yang ada pada saat sekarang akan memerlukan serangkaian tindakan-tindakan yang melibatkan kegiatan-kegiatan pengaturan penguasaan dan penggunaan tanah, pengurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah. Secara operasional, upaya-upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang untuk mewujudkan kondisi ideal tersebut ditempuh melalui mekanisme pengendalian penggunaan tanah yang antara lain melalui mekanisme perijinan dan mekanisme pemberian hak atas tanah.
D. Kesimpulan
Fenomena penyusutan luas tanah pertanian, menunjukkan bahwa dinamika perubahan penggunaan tanah menjadi semakin intensif dengan semakin berkembangnya perekonomian wilayah. Kompetisi penggunaan tanah pada bidang yang sama antara keperluan pertanian dengan nonpertanian praktis sulit dihindari
Perubahan penggunaan tanah tersebut berlangsung semakin cepat. Data memperlihatkan bahwa pada periode 1983-1988 luas sawah untuk pertanaman padi menurun 3.263 juta ha menjadi 3.200 juta ha atau per tahun rata-rata menurun 12.600 ha, sedangkan pada periode 1988-1993 alih penggunaan lahan sawah untuk keperluan nonpertanian mencapai 8.255 ha/tahun.
Tanah diperlukan sebagai sumber daya sekaligus sebagai tempat menyelenggarakan pembangunan. Sebaliknya tanah tidak akan memberikan kemakmuran tanpa pembangunan, sebab yang memberikan kemakmuran adalah kegiatan manusia di atasnya melalui pembangunan.
Pembangunan dan Rencana pemanfaatan ruang pada dasarnya adalah rencana pemanfaatan tanah. Artinya kegiatan penatagunaan tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kegiatan penataan ruang. Dalam konteks ini, maka penatagunaan tanah mempunyai esensi mendasar yakni sebagai subsistem penataan ruang.
E. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.
F. Referensi
/ Alam, Rudi Harisyah dan Fitryawan, Agus (Peny), Dari Konflik Agraria ke Pengharapan Baru, Komnasham, Jakarta, 2005
/ Afrizal, Sosiologi Konflik Agraria: Protes-Protes Agraria dalam Masyarakat Indonesia Kontemporer, Andalas University Press, Padang, 2006.
/ http://www.pdf-search-engine.com/hukum-agraria-mendatang-pdf.html
/ Boedi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia : Himpunan Peraturan – Peraturan Hokum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002.
/ Ali Achmad Chomzah, Hokum Agrarian (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004.



[1] Boedi Harsono, Hokum Agrarian Indonesia : Himpunan Peraturan – Peraturan Hokum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002. Hlm : 32
[2] Boedi Harsono, Hokum Agrarian Indonesia : Himpunan Peraturan – Peraturan Hokum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002. Hlm :50
[3] Ali Achmad Chomzah, Hokum Agrarian (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004 Hlm :24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar