Laman

Rabu, 30 Maret 2011

Pengertian Jarimah/ Penganiayaan


Pengertian Jarimah/ Penganiayaan
Dalam hukum pidana Islam istilah penganiayaan tidak dipakai, yang ada dalam hukum pidana Islam adalah jarimah jinayah terhadap selain jiwa. Jinayah terhadap tubuh bisa berupa Ibanat Al-Athraf, Idzhab Ma’an Al-Athraf, Al-Syaja dan Al-Jarh.
Ibanat Al-Athraf adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang menyebabkan sakit atau cacat tubuh, contohnya; mencukil mata, mematahkan kaki, memotong tangan orang lain, taring, gigi dan pemotongan atau pencabutan rambut kepala atau kumis/jenggot.[1]
Idzhab Ma’an Al-Athraf adalah pelukaan terhadap orang lain yang dimana pelukaan itu menyebabkan hilangnya fungsi anggota badan, yakni anggota badan yang bersangkutan masih tetap ada namun tidak dapat berfungsi normal. Misalnya menyebabkan korban menjadi tuli, buta, bisu dan limpuh.[2]
Al-Syaj adalah pelukaan terhadap kepala dan muka (secara khusus). Pembagian lebih rinci terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama; ada yang membaginya menjadi sepuluh bagian dan ada yang membaginya menjadi sebelas bagian.[3]
Al-Jarh adalah pelukaan terhadap selain wajah dan kepala. Jarh yaitu ada dua macam, yaitu al-ja’ifah atau pelukaan yang dalam sampai ke dalam perut atau rongga dada, dan ghayr al-ja’ifah atau pelukaan yang tidak ke dalam perut atau rongga dada.[4]
Di dalam jarimah pelukaan Imam Malik berpendapat bahwa boleh digabungkan antara ta’zir dengan qishash. Dengan alasan bahwa qishash itu suatu imbalan hak adami, sedangkan ta’zir adalah sanksi yang bersifat mendidik dan memberi pelajaran dan berkaitan dengan hak jamaah.[5]
Selain itu, Imam Malik juga berpendapat bahwa ta’zir dapat dikenakan terhadap jarimah pelukaan yang qishashnya dapat dihapuskan atau tidak dapat dilaksanakan karena suatu sebab hukum.[6]
Sedangkan bagi para residivis (orang yang berulang kali melakukan kejahatan) penyatuan sanksi hukuman diperbolehkan. Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i dan Hambali boleh dilaksanakan terhadap residivis bahkan mereka diperbolehkan menyatukan sanksi ta’zir terhadap saksi had bagi residivis, karena dengan mengulangi perbuatan jarimah menunjukkan bahwa hukuman yang telah diberikan kepadanya tidak menjadikannya jera. Oleh karena itu, sanksinya harus ditambah.[7]
Para ulama berpendapat bahwa pelukaan dengan tangan kosong, atau cambuk itu diancam dengan sanksi ta’zir, sekalipun menurut ibn al-Qayyim dan sebagian hanabilah pelaku pelukaan terakhir diancam dengan sanksi qishash.[8]
Didalam Al-Qur’an banyak sekali ayat – ayat yang mengatur tentang pelukaan atau jarimah/jinayah terhadap selain jiwa. Berdasarkan keterangan – keterangan yang tertuang didalam ayat – ayat Al – Qur’an yang diantaranya Q.S. Al – Maidah : 45
وَكَتَبنا عَلَيهِم فيها أَنَّ النَّفسَ بِالنَّفسِ وَالعَينَ بِالعَينِ وَالأَنفَ بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالجُروحَ قِصاصٌ ۚ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفّارَةٌ لَهُ ۚ وَمَن لَم يَحكُم بِما أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظّالِمونَ
Artinya: Dan kami Telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al – Maidah : 45)[9]
Pembagian jarimah pada dasarnya tergantung dari berbagai sisi. Jarimah dapat ditinjau dari sisi berat ringannya sanksi hukum, dari sisi niat pelakunya, dari sisi cara mengerjakannya, dari sisi korban yang ditimbulkan oleh suatu tindak pidana, dan sifatnya yang khusus. Dalam hukum pidana islam yang termasuk pelukaan selain jiwa yang tergolong ringan adalah jinayatul atraf, Asy-syijjaj, dan Al-jirah.
Dalam jarimah penganiayaan, hukum pidana Islam membagi beberapa klasifikasi. Khusus pada Asy-Syijjaj menurut ulama salaf ada 2 (dua) kelompok, yaitu ; Pelukaan terhadap kepala atau wajah yang telah ada ketetapan dari syari’at mengenai jumlah diyatnya, yang termasuk kelompok ini adalah;
1. Al-Muwadhdhohah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menampakkan tulang,
2. Al-Hasyimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan pecah atau patahnya tulang,
3. Al-Munqilah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang menyebabkan berpindah atau bergesernya tulang dari tempat asalnya,
4. Al-Ma’mumah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada kulit otak,
5. Ad-Damigah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah sampai pada kulit otak dan memecahkannya, pelukaan ini lebih berat daripada Al-Ma’mumah.[10]
Sedangkan kelompok yang ke dua adalah pelukaan terhadap kepala atau wajah yang belum ada penjelasan dari syari’at tentang diyatnya, yaitu;
1. Al-Harisah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan sedikit kulit dan tidak mengaluarkan darah,
2. Ad-Damiyah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang merobekkan kulit dan mengeluarkan/mengalirkan darah,
3. Al-Badi’ah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang memutihkan tulang, artinya mematahkan tulang,
4. Al-Mutalahimah, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang meremukkan tulang, hal ini lebih berat daripada al-Badi’ah,
5. As-Simhaq, yaitu pelukaan terhadap kepala atau wajah yang hampir mengenai tulang.[11]
Kemudian pada jenis al-jirah dibedakan pula menjadi; Jaifah, yaitu pelukaan yang sampai pada rongga perut, Pelukaan pada rongga dada, contohnya mematahkan tulang rusuk, Mematahkan lengan tangan atas, betis, atau lengan bawah. Sedangkan Jinayatul Atraf adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang menyebabkan sakit atau cacat tubuh, contohnya; mencukil mata, mematahkan kaki, atau memotong tangan orang lain. [12]



[1] Prof. Drs. H. Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayat, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Hukum Islam, cet, 2, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1997, hal, 146
[2] Ibid, hal, 147
[3] Loc. Cit,.
[4] Loc. Cit,.
[5] Ibid, hal,174
[6] Loc. Cit,.
[7] Loc. Cit,.
[8] Ibid, hal,175
[9] Al-Quran Surat Al – Maidah : 45, Departemen urusan agama islam, wakaf, dakwah dan irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja Fadh), Medina Al – Munawwarah. hal. 167
[10] Sayyid Sabiq (diterjemahkan Moh. Nabhan Husein), Fikh Sunnah 9 cet 8, PT Alma’rif, Bandung, 1996, hal 107.
[11] Loc Cit.
[12] Loc. Cit,.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar