A. Pendahuluan
Tanah merupakan objek yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dimana berbagai macam kebutuhan hidup sangat bergantung pada keberadaan tanah, baik sebagai media tanam maupun sebagai media ruang/tempat. Begitu urgennya tanah sehingga banyak sekali konflik yang berakibat sangat luas dan memakan banyak korban di dunia ini karena berebutan akan penguasaan pengelolaan tanah tersebut.
Secara konseptual, Agraria terdiri atas dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”. Hal ini terlihat secara tegas dalam batasan tentang reformasi agraria yang terdapat dalam Tap MPR No. IX tahun 2001 Pasal 2, yang menyebutkan bahwa: “Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria”. Aspek“penguasaan/pemilikan” jelas berbeda dengan aspek “penggunaan/pemanfaatan”, karena yang pertama berkenaan dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua membicarakan bagaimana tanah (dan sumberdaya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan.[1]
Bentuk penguasaan tanah pada satu negara mengikuti ideologi ekonomi yang dianut negara tersebut. Kita mengenal setidaknya lima ideologi sistem ekonomi, yaitu kapitalisme, sosialisme, komunisme, fasisme, dan ekonomi Islam (Achyar, 2005). Secara umum, hak kepemilikan (property rights) yang berlaku dalam sistem ekonomi kapitalis adalah kepemilikan yang tanpa batas. Bentuk kepemilikan tanpa batas ini berlaku untuk benda apa saja termasuk tanah. Si pemilik (owner) dapat menggunakan dan menguasai miliknya sebagaimana yang ia sukai. Konsep dasar sistem ekonomi kapitalis adalah kebebasan tanpa batas untuk menciptakan pendapatan pribadi dan membelanjakannnya sesuai dengan kemauannya (personal propensities) (Heilbroner, 1986). Motif kepentingan individu yang didorong oleh filsafat liberalisme kemudian melahirkan sistem ekonomi pasar bebas, yang pada akhirnya melahirkan ekonomi kapitalis.
B. Permasalahan
1. Langkah Pelaksanaan Reforma Agraria
2. Bagaimanakah Perkembangan hukum agraria di masa depan?
C. Pembahasan
1. Reforma agraria sejati
Reforma Agraria di daerah sebaiknya perlu disiapkan bersama antara pemerintah daerah dengan rakyatnya --khususnya kalangan petani dan masyarakat di pedesaan yang akan menerima manfaat reforma agraria. Untuk menyambut dan mengawal PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional), maka berbagai langkah yang harus dipersiapkan oleh pemerintah daerah, organisasi rakyat dan para pendukung gerakan pembaruan agraria, adalah: Pertama, melakukan pendataan objek dan subjek secara lengkap dan akurat. Hal ini diperlukan untuk memastikan objek (tanah) dan subyek (orang) reforma agraria agar dapat diketahui secara tepat. Jenis, luas dan posisi objeknya harus dapat di tentukan dengan pasti.
Kategori, identitas dan jumlah subyek penerima manfaat pun mesti diketahui. Pendataan ini, termasuk di dalamnya mengenai objek dan subjek konflik agraria. Kedua, mengambil peran aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Para pelaku dan pendukung gerakan pembaruan agraria mesti terlibar aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Pengembangan model pembaruan agraria (khususnya landreform) akan menentukan jalan yang tepat bagi perombakkan struktur penguasaan, pemilikan dan pengunaan tanah di masa depan.
Ketiga, memperkuat dan mengkonsolidasikan organisasi rakyat. Serikat-serikat maupun kelompok-kelompok tani, nelayan, masyarakat adat, buruh dan kaum miskin kota mesti diperkuat dan dikonsolidasikan untuk mengawal program pembaruan agraria nasional. Melalui organisasi rakyat yang kuat (kesadaran, militansi, tertib organisasi, solidaritas, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab) inilah, rakyat akan mempunyai posisi tawar yang kuat untuk menghadapi hal-hal yang merugikan mereka.
Keempat, mendorong dialog agraria secara intensif. Diperlukan dialog atau diskusi intensif di berbagai level (nasional, daerah sampai kampung), yang membicarakan mengenai wacana, agenda dan program pembaruan agraria yang hendak dijalankan oleh pemerintah bersama rakyat. Agar ditemukan kesepahaman dan kesepakatan atas bentuk kongkrit dari pelaksanaan pembaruan agraria di lapangan. Kelima, membuat kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Agar di lapangan reforma agraria dapat dilaksanakan dalam kerangka kebijakan yang jelas, maka diperlukan penetapan kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria.
Secara yuridis, di tingkat nasional reforma agraria idealnya diatur oleh UU khusus untuk reforma agraria, dengan tetap mengacu kepada UUPA 1960. Di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sangat baik jika ada Peraturan Daerah khusus untuk reforma agraria. Selain perlunya alas yuridis, agenda ini juga harus mendapat sokongan politik penuh dari pemerintah dan parlemen pusat/daerah. Keenam, memasukan anggaran reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Salah satu bentuk sokongan politik pemerintah dan parlemen adalah dimasukannya anggaran untuk pelaksanaan reforma agraria ke dalam APBN/APBD. Adanya pembiayaan yang memadai akan menentukan efektifnya pelaksanaan reforma agraria di lapangan. Karena reforma agraria agenda resmi Negara (pemerintah dan rakyat) maka sewajarnya jika seluruh pembiayaannya dialokasikan dari kantongnya Negara, baik di pusat maupun di daerah. Banyak negara yang telah melakukan reforma agrarian sebagai tonggak utama pembangunan nasionalnya, misalnya Venezueela , Bolivia , Paraguay , Dll
2. Perkembangan hokum agraria di masa depan
Agenda reforma agraria jelas memiliki keterkaitan dengan salah satu cara untuk mencapai kemashlahatan umat manusia yang telah termaktub dalam tujuan-tujuan syariah. Reforma agraria telah berlangsung dan dilaksanakan di seluruh belahan dunia ratusan tahun yang lalu dan bahkan land reform telah terjadi di Yunani pada 594 tahun Sebelum Masehi. Dalam usianya yang telah berlangsung lama itu, reformasi agraria memiliki pengertian, yaitu ‘suatu penataan kembali, atau penataan ulang, struktur kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah, agar tercipta suatu struktur masyarakat yang adil dan sejahtera”. Dengan demikian, antara maqashidus syari’ah dan pengertian serta tujuan yang ingin dicapai dari agenda agrarian reform berhimpitan seperti dua sisi mata uang. Oleh karena itu, terbitnya UUPA tahun 1960 mendapat dukungan luas dari semua kalangan pada waktu itu.
Sepanjang Orde Baru (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Politik agraria semacam ini menjadikan tanah dan kekayaan alam lainnya sebagai komoditi serta objek eksplotasi dan akumulasi modal besar asing maupun domestik yang beroperasi di berbagai sektor. Berbagai peraturan perundang-undangan dan program-program pembangunan di lapangan agraria praktis diabdikan untuk memenuhi orientasi politik agraria yang kapitalistik itu. Sejak Orde Baru berkuasa (1966) pengkhianatan terhadap undang-undang pokok agraria (UUPA) No. 05 tahun 1960, mulai berlangsung. Hal ini tercermin dari orientasi dan praktek politik agraria yang ditopang oleh berbagai produk peraturan perundang-undangan sektoral yang berkaitan dengan kekayaan alam kita. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.
Carut-marutnya masalah agrarian nasional ini yang coba diperbaiki belakangan oleh negara, dengan diterbitkannya Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Tap MPR ini memberikan tugas dan mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan; “penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia ” (pasal 2). Lalu dilansir perencanaan pelaksanaan Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang akan dipimpin langsung oleh presiden, dengan perencanaan distribusi tanah seluar 8,15 juta hektar untuk penduduk miskin yang tidak punya tanah. Kedua tonggak ini menjadi pembuka pintu bagi perbaikan kehidupan petani, revitalisasi sektor pertanian dan pembangunan pedesaan. Untuk itu, tak perlu terlalu lama buang waktu untuk memulai reforma agraria. Reforma agraria sejalan dengan amanat sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa. Ini juga cermin dari semua bangsa yang maju. Reforma agraria berguna memenuhi hak sipil-politik, ekonomi, sosial dan budaya bangsa.
Kini Tap MPR dan rencana peluncuran PPAN tersebut sangat ditunggu-tunggu masyarakat wujud dan kedatangannya, namun tidak kunjung tiba juga malah yang terdengar santer hanya gencarnya penyertifikatan tanah di mana-nama. Apakah ini merupakan wujud PPAN, resistensi yang sangat kuat dari pemilik modal yang sangat dominan menguasai sumber-sumber agraria belum terkalahkan. Perubahan dan kekerpihakan BPN pada masyarakat bukan tidak terjadi, tapi hanya Kanwil-kanwil yang personal berani dan jujur tertentu saja yang melakukan reforma agraria dengan berpihak pada rakyat.
D. Kesimpulan
Langkah yang dipersiapkan untuk reforma agrarian : Pertama, melakukan pendataan objek dan subjek secara lengkap dan akurat. Hal ini diperlukan untuk memastikan objek (tanah) dan subyek (orang) reforma agraria agar dapat diketahui secara tepat. Kedua, mengambil peran aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Para pelaku dan pendukung gerakan pembaruan agraria mesti terlibar aktif dalam pengembangan model-model pembaruan agraria. Ketiga, memperkuat dan mengkonsolidasikan organisasi rakyat. Keempat, mendorong dialog agraria secara intensif. Kelima, membuat kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria. Agar di lapangan reforma agraria dapat dilaksanakan dalam kerangka kebijakan yang jelas, maka diperlukan penetapan kebijakan nasional/daerah yang khusus untuk reforma agraria.
Sepanjang Orde Baru (1966-1998) politik agraria yang dianut dan diterapkan secara konsisten oleh pemerintah adalah politik agraria yang kapitalistik. Sejak Orde Baru berkuasa (1966) pengkhianatan terhadap undang-undang pokok agraria (UUPA) No. 05 tahun 1960, mulai berlangsung. Misalnya undang-undangan yang mengatur Kehutanan; Pertambangan; Pertambangan Minyak dan Gas Bumi; Pengairan; Perikanan, dsb. Keseluruhan undang-undang sektoral ini mengandung semangat dan isi yang memfasilitasi modal besar ketimbang memenuhi hak-hak rakyat banyak.
Dengan diterbitkannya Ketetapan MPR No.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Diharapkan mampu menata kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
E. Penutup
Demikian makalah yang dapat kami sampaiakan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan kami ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.
F. Referensi
Z Ali Achmad Chomzah, Hokum Agrarian (Pertanahan Indonesia), Prestasi Pustaka, Jakarta, 2004
Z http//www.bitra.or.id
Z Boedi Harsono, Hukum Agrarian Indonesia : Himpunan Peraturan – Peraturan Hokum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2002
Z Lilis Nurul Husna, Direktur PP Lakpesdam NU dan Redaktur Jurnal Tashwirul Afkar
Z KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
[1] KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR IX/MPR/2001 TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar