A. Biografi Harun Nasution
Harun
Nasution lahir pada hari selasa tanggal 23 september 1919 di Tapanuli selatan,
Sumatera Utara. Ia terhitung keluarga elite di daerahnya saat itu. Ayahnya yang
bernama Abdul Jabbar Ahmad adalah seorang yang banyak mempelajari agama Islam
dari ulama -ulama di daerahnya. Ayahnya juga seorang yang kompeten di bidang
sosial sehingga pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai kepala agama, qodhi,
penghulu, hakim agama dan imam masjid di kabupaten Simalungun.
Harun
Nasution belajar agama di samping dari ayahnya juga dari ulama setempat dengan
kajian kitab kuning berbahasa Melayu. Di samping belajar agama Harun Nasution
juga belajar di sekolah Belanda ( HIS ) suatu kesempatan yang langka bagi anak
pribumi. Dari sekolah HIS selama Tujuh tahun melajutkan pada sekolah MIK (
modern Islamiche Kweekschool ) tahun 1934 di Bukit Tinggi. Dari situ ia mulai
berkenalan dengan Hamka, Zaenal Abidin, dan Jamil Jambek, dari mereka ia
mengalami perkembnagan yang dinamis yang oleh orang tuanya di anggap
menyimpang. [1]
Sebagaimana terjadi di Bukit Tinggi merupakan sekolahan dalam katagori
menggunakan metode modern.
Dalam
situasi politik saat Harun sekolah di Mesir terjadi Belanda kalah dari Jepang,
sehingga menjadikan Indonesia –Mesir mengalami putus hubungan luar negeri, hal
tersebut mengganggu konsentrasinya karena kiriman dari dalam negeri terputus.
Maka Harun Nasution bertekad untuk bekerja di Mesir. Dengan keahlian yang di
miliki dalam bahasa Inggris ia di terima sebagai juru tulis angkatan bersenjata
Inggris yang berpangkalan di Mesir, sampai ia bekerja di deperteman luar negeri
( 1953)[2]
Di sat
ketidakpuasan Harun belajar di Mesir, datang tawaran dari Kedutaan untuk
belajar di McGill ( canada ). Pada saat di butuhkan mahasiswa Indonesia untuk
belajar di Canada. Di sanalah ia tertarik pada para pemikir modernis semacam
Muhamad Abduh dan Syayyid Ahmad Khan sehingga pemikir tersebut mempengaruhi
cara berfikir Harun Nasution.
Dia
adalah seorang putera Indonesia yang pertama mencapai gelar Doctor dalm Islamic
Studies University di Montreal, Canada dan pada tahun 1968. [3] Harun
Nasution juga mempunyai peranan yang penting atas berdirinya organisasi ICMI
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia tahun 1990 karena iktu dalam penanda
tanganan naskah berdirinya sekaligus sebagai dean pakar organisasi..
B. Rasionalisme Dalam Pandangan Harun Nasution
1. Akal dan
wahyu
Akal,
adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu al –aql yang berarti Al- Hijr (
menahan ), juga berarti Al-nuha ( cerdas, pandai ). Lafadz Aql berasal dari
kata ‘aqola – yaqilu – ‘aqlan yang berarti habasa )ý( menahan, mengikat),
berarti juga ‘ayada ( mengokohkan ); serta arti lainya adalah fahima ( memahami
). Lafadz ‘aql juga di sebut al-qalb ( hati ). Di sebut ‘aql ( akal ) karena
akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran, akal itu sebagai pembeda karena
dialah yang membedakan dengan semua hewan.[4]
Untuk
mengetahui kata akal dengan sinonimnya yang lain, Endang Saefudin Anshari
menulis bahwa dalam struktur manusia ada satu potensi yang di nyatakan dengan
perkataan ratio (latin ), akal ( bahasa Arab : ‘aql ), budi ( bahsa Sansekerta
: budhi ), akal budi ( satu perkataan yang tersusun dari bahasa Arab dan bahasa
sansekerta), nous ( bahasa Yunani ), rraison ( bahasa perancis ), reason
(bahasa Inggris ), verstand, vernuft ( bahasa Belanda ) dan Vernunft ( bahasa
Jerman.) [5]
Menurut
Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir.
Profesor Izutsu menambahkan bahwa kata al ‘ aql masuk ke dalam filsafat Islam
dan mengalami perubahan dalam arti. Dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani ke
dalam filsafat Islam, kata al – aql mengandung arti sama dengan Nous. Dalam
filsafat Yunani Nous berarti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Dengan demikian kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al – qolb di
dada tetapi melalui al –‘aql di kepala. [6]
Sedangkan
pengertian akal menurut istilah, Endang Saefudin Anshari mendefinisikan, akal
adalah suatu potensi ruhiyah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit
secara teroritis realitas kosmis yang mengelilinginya di mana dia sendiri juga
termasuk, dan untuk secara praktis merubah dan mempengaruhinya. [7]
Hampir
senada dengan itu, Widodo supriyono mengatakan bahwa akal adalah potensi
ruhaniyah manusia yang berkaitan dengan : kemampuan untuk memperoleh berbagai
kemahiran ( al- dzaka’ ); pengertian inderawi ( indrak ); yang memungkinkan
anak kembali mengingat yang telah di pelajari sebelumnya ( al –b tadzakkar );
gambaran angan-angan yang melambung ( Al – takhayyal ) dan yang berkaitan
dengan keadaan pemaknaan dan pemahaman, atau dalam hal penemuan keterkaitan
antar sesuatu ( al- tafir). [8]
Dari
kedua pengertian tersebut, akal di artikan sebagai potensi rohaniyah yang
terdapat dalam manusia yang berkemampuan mengetahui, mengingat, berangan-angan
dan memahami suatu realitas kosmis dan mampu juga merubahnya.
Sebenarnya
pengetian yang jelas tentang akal terdapat dalam filosof Islam . akal oleh
mereka di artikan sebagai dalah satu daya jiwa ( al- nafs atau ar- ruh ) yang
terdapat dalam diri manusia. Al- kindi dan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa
pada jiwa manusia terdapat tiga daya : daya bernafsu ( Ç áÞæ É Ç áÔåæ Ç
äíÉ ( )yang berada di perut;
daya berani ( Ç áÞæ Ç É Ç áÛÖÈíÉ ) yang
bertempat di dada ; dan daya berfikir (Þæ Ç É Ç áäÇ ØÞÉ ) yang berpusat di kepala. [9]
Kaitanya dengan hal ini, Al- Ghazali membagi akal
dengan dua pengertian yaitu :
Artinya
: “ Akal juga mempunyai makna-makna yang berbeda , berhubungan dengan tujuan
kita. Dari jumlah itu ada dua : pertama, akal kadang-kaang di maksudkan sebagai
ilmu ( yang mengetahui ) hakekat sesuatu. Ungkapan ini menyatakan sifat ilmu
yang letaknya di hati; kedua, akal kadang-kadang di maksudkan sebagai yang
mengetahui jiwa, maksudnya adalah hati yang halus ( Lathifah ). [10]
Pernyataan
Al- Ghazali itu memberi pengertian bahwa akal adalah ilmu atau pengetahuan yang
hanya di miliki oleh mahluk berakal sedangkan Hewan tidaklah demikian, Ia tidak
dapat mencapai pengetahuan karena tidak berakal.
Selain
itu Al- Ghazali berpendapat , bahwa struktur manusia yang lain, al- qalb, ruh
dan nafs juga berkemampuan mengetahui, mengenal dan merasa. [11]
kemampuan ke tiga unsur itu hanya sampai kepada tiga daya tersebut tidak sampai
kepada menyusun konsep keilmuan, karena konseptualisasi ilmu hanya dapat di
lakukan oleh fungsi akal.
Yang
di maksud ilmu di sini adalah kekuatan untuk membina daya cipta yang tak dapat
di raba dan memiliki hakekat kecerdasan. [12]
Pendapat ini sejalan dengan pendapat paa teolog muslim yang mengatakan bahwa
akal adalah daya untuk memperoleh ilmu pengtahuan. [13]
Dalam
ilmu Psikologi akal di definisikan :
“ Intelegence is “ :
1. A general
ability to acquire and use knowledge and a skill of any kind
2. The ability to
get along and adapt to one’s environment
3. Mentals ability.
[14]
Artinya akal adalah :
1. Kemampuan umum
untuk menemukan dan menggunakan berbagai jenis pengatahuan dan keahlian
2. Kemampuan
bergaul dan beradaptasi denagn orang lain di lingkungannya
3. Kemampuan mental
Sedangkan Crow and Crow mendefinisikan akal sebagai berikut “
“
Intelegence is a general his thinking to new requirenments; it is general
mental adaptability to new problem and conditions of life “ . [15]
“
intelegensi ( akal ) adalah sesuatu kemampuan umum seorang individu yang di
dasari dalam rangka mengatur pemikiranya untuk mengatur keperluan yang baru.
Akal itu adalah penyesuaian kepada masalahnya dan kondisi kehidupan. “
Lantaran
demikian banyak pakar yang menaruh perhatiannya yang sangat besar pada akal.
Demikian juga para ilmuwan muslim. Dalam pandangan Islam akal di tempatkan pada
posisi yang sangat mulia. Hal ini dapat di ketahui baik dalm Al-qur’an dan Al-
hadits sebagai sumber pokok ajaran Islam dan sumber dari segala sumber
pengetahuan. Mengingat betapa mulianya akal
tersebut, Rasulullah SAW bersabda :
ãÇ ÎáÞ Ç ááå ÚÒ æ Ìá ÇßÑ ã Úáíå ãä áÚÞá
Artinya
: “ Tidaklah Allah menciptakan mahluk yang lebih mulia daripada akal. “ [16]
Kemulian
akal itu tidak lain karena kemampuanya mengerti, memahami dan berfikir tentang
hakekat sesuatu, memberi kekuatan mental beradaptasi dengan alam realitas,
dapat menghasilkan pemikiran inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
Dengan kemampuan akal yang di milikinya manusia mampu merencanakan dan menentukan
cita-cita hidupnya dengan optimis dan tanggung jawab.
Dari
diskripsi di atas mengenai akal dapat di tarik kesimpulan bahwa yang di maksud
akal adalah potensi rahaniyah manusia sebagai daya berfikir yang terdapat dalam
jiwa yang mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan dan keahlian dengan cara
berfikir, menyadari dan memahami hakekat sesuatu di maksud dan juga dapat
mendayagunakan potensi aqliyahnya tersebut untuk mengatasi berbagai problem
kehidupan.
Jadi
dalam pandangan Islam yang di maksud akal bukanlah otak tapi merupakan daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang di gambarkan oleh
Al-qur’an memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitar.
Wahyu
berasal dari kata Arab al- wahy, kata ini betul-betul asli Arab bukan pinjaman
asing yang berarti suara , api dan kecepatan. Di samping itu juga mempunyai
arti bisikan, isyarat dan tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung
arti pemberitahuan secara tersembunyai dengan cepat. Sehingga menurut Harun
Nasution sebagai sabda Tuhan kepada orang pilihanya agar di teruskan pada umat
manusia untuk di jadikan sebagai pandangan hidup. Sabda Tuhan ini mengandung
ajaran, petunjuk dan pedoman yang di perlukan
umat manusia dalm perjalanan hidupnya. Baik di duinia dan di akherat. 17
Mengenai
proses turunya wahyu kepada manusia atau dengan bahasa lain bagaimana
komunikasi antara Tuahn dengan manusia ( nabi-nabi ). Dengan mengambil argumen
dari Al-qur’an surat As- Syurra harun Nasution menerangkan proses komunikasi
antara Tuhan dengan nabi. Pertama, dengan melalui jantung hati seseorang dalam bentuk Ilham. Kedua,
dari belakang tabir sebagai terjadi pada nabi Musa dan ketiga, melalui
utusan yang di kirimkan dalam bentuk Malaikat. 18
Menurut
Harun Nasution manusia berhajat pada wahyu, meskipun manusia mempunyai daya
akal yang kuat. Dengan memakai akal dan wahyu , manusia mencoba memperoleh
pengetahuan tentang keTuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
Oleh karena itu dengan kekuatan akal yang ada, manusia mencoba untuk menembus
dan menguak esensi wahyu yang datangnya dari Tuhan.
Berhubungan
dengan akal, Harun Nasution menggambarkan komunikasi tersebut sebagaimana kaum
filosof muslim dengan akal suci. Untuk sampai pada Tuhan yang bersifat Immateri
dan pada manusia yang bersifat materi. Akal manusia dapat mencapai derajad
perolehan yang dapat berhubungan dengan Jibril. Karena manusia mempunyai
rasional soul yang dekat menyerupai malaikat, atau mendekati kesempurnaan. 19
Dalam
tradisi filsafat Islam seorang nabi berhubungan langsung dengan akal materi,
sehingga tanpa melakukan latihan-latihan tanpa menggunakan akal perolehan karena nabi telah di
anugerahi Tuhan akal yang mempunyai daya
serap/tangkap yang luar biasa.
Berhubungan
dengan ilmu ketuhanan, akal sebagai daya fikir dalam diri manusia berusaha
keras untuk sampai kepada Tuhan, sedangkan wahyu sebagai penggambaran dari alam
metafisika dengan keterangan-keteranganya. Konsepsi Harun Nasution sebagaimana
dalam penjelasan sebagai berikut :
“
Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan
akalnya untuk sampai kepada Tuhan, dan Tuhan dengan belas kasihan-Nya
memberikan kepada manusia dan menurunkan wahyu melalui nabi-nabi dan
rasul-rasul “. 20
Konsepsi
tersebut merupakan sistem teologi Islam yang di pakai terhadap aliran-aliran
teologi Islam, dan membawa pendapat bahwa akal manusia bisa sampai pada Tuhan.
Sebagai
satu kesatuan yang terpisah wahyu dan akal menurut Harun Nasution di panggung
sejarah baik Filsafat, teologi dan tasawuf telah secara ontologis menjadi dasar
berpijak. Dalam filsafat Islam penggunaan akal secara maksimal di laksanakan
sebagai ta’wil / metode ta’wil terhadap teks Al- qur’an dengan analogi yang di
terangkan oleh filosof. 21
sebagai misal adalah pendapat Al-Farabi tentang teori kenabian., dengan
mengatakan pena adalah Malaikat, tuilsan adalah gambaran tentang hakekat,
dengan mengharmonisasikan wahyu dan akal, antara agama dan filsafat.
Kedudukan
tinggi bagi akal dan perintah menuntut ilmu mengakibatkan perkembangan pesat
keilmuan dalam Islam. Sejak menempatkan akal sebagai daya befikir dan dasar
berpijak selain wahyu sebagai pembimbing manusia dalam dasa warsa kemajuan
Islam akal telah di tempatkan secar maksimal, baru setelah salah satu golongan
menomorduakan/ merendahkan akal terjadi kemunduran science.
Peran
akal menurut Harun Nasution bukan hanya pada filsafat Islam.akan tetapi pada
keilmuan yang lain berakibat positif. Pertama , dalam bidang fiqih. Peranan
akal dalam bidang fiqih adalah sebagai upaya memahami dan mengerti ayat-ayat
Qur’an memerlukan ijtihad, ijtihad adalah merupakan kerja akal. Ijtihad adalah
upaya keras untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dari sumber-sumbernya
dengan menggunakan akal . 22
Dalam
sejarah ilmu fiqih ijtihad merupakan sumber ketiga setelah Al-qur’an dan baru
kemudian ijtihad. Kemudian di kenal istilah Al- ra’yu yang kemudian di sebut
opini. Opini atau ra’yu asalnya berarti akal pikiran. Dalam praktik berarti
merenungkan dan memikirkan dengan akal terhadap nash Al-qur’an dan sunah.
Kedua,
ilmu Tauhid atau teologi permasalahan akal meningkat menjadi akal dan wahyu.
Yang di permasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap persoalan
pokok agama, adanya Tuhan, kebaikan dan kejahatan. Sebagaimana beberapa aliran
dalam kapasitas yang berbeda menempatkan akal sebagai alat untuk menjawab
pertanyaan teologis. 23
Menurut
Harun Nasution teologi yang termasuk dalam teologi rasional adalah Mu’tazilah.
Sebagaimana pendapatnya tentang akal sebagai kekuatan manusia maka akal yang
kuat menggambarkan manusia yang kuat. Ia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan
jalam perbuatan dengan akal manusia mampu berfikir scara mendalam / radikal.
Dengan pemikiran filosfis mu’tazilah telah membawa konsep tentang keadilan
Tuhan, konsep sunnatulah / hukum alam yang berjalan menurut aturan-aturan
tertentu sehingga memberikan konstribusi terbesar bagi Islam bukan hanya
filsafat akan tetapi juga sains. 24
Dari
deskripsi tersebut, maka pada dasarnya dalam diri manusia terdapat kekuatan
akal yang tidak dapat ditandingi oleh makhluk lain. Muhammad Abduh mengatakan
bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, mengetahui sifat-sifatnya, mengetahui
sebahagian yang baik dan yang buruk dan mengetahui hidup manusia di akhirat.
Tetapi sebenarnya, akal baginya dapat mengetahui dari apa yang disebut ini. Hal
itu dijelaskannya dalam satu paragraf di Risalah Tauhid yang menjelaskan
tentang hakikat kekuatan akal berikut ini :
Telah
kita sebut bahwa Yang Maha Ada (Wajib-al Wujud) dan sifat-sifat
kesempurnaanNya dapat diketahui dengan akal. Maka jika seorang pemikir, dengan
memajukan bukti (burhan) tanpa bantuan wahyu, dapat menetapkan adanya
Tuhan dan sifat-sifatNya yang tidak diwahyukan, sebagaimana sudah terjadi bagi
sebahagian orang; dan dari pemikiran ini dan pemikiran tentang
perkembangan dirinya, ia sampai pada
keyakinan bahwa prinsip akal dalam diri manusia akan terus ada sesudah ia mati
. Pemikiran yang telah dilakukan orang dan dari sini ia selanjutnya sampai
kepada pendapat, baik itu benar atau salah, bahwa kelanjutan wujud jiwa sesudah
mati menghendaki adanya kebahagiaan atau kesengsaraan baginya di akhirat;
kemudian ia mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat diperolehnya dengan
mengetahui Tuhan dan melakukan perbuatan baik sedang kesengsaraan diberikan
kepadanya karena tidak mengetahui Tuhan
dan karena melakukan perbuatan jahat; dan atas dasar itu ia akhirnya
berpendapat bahwa diantara perbuatan perbuatan manusia ada yang akan membawanya
kepada kebahagiaan dan ada pula yang akan membawanya kepada kesengasaraan di
akhirat; maka sesudah semua pemikiran itu ketentuan akal atau syariat mana yang
mencegahnya untuk mengatakan melalui akalnya bahwa mengetahui Tuhan adalah wajib,
melakukan perbuatan baik adalah wajib dan melakukan perbuatan jahat dilarang,
dan untuk menentukan hukum-hukum (al-qawain) yang dikehendakinya
mengenai hal-hal tersebut guna mengajar manusia mengakhiri apa yang diyakininya
dan berbuat seperti apa yang ia perbuat, selama tidak ada syariat yang
menentang hal itu?
Kutipan
di atas mengandung suatu penjelasan yang pokok dari pemikiran Muhammad Abduh
tentang kekuatan akal yang lepas dari fungsi wahyu. Akal menurut Muhammad Abduh
dapat mengetahui dua dasar pokok dalam agama, kewajiban mengetahui Tuhan dan
kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhkan perbuatan jahat.
Kedua
dasar tersebut menurut Harun Nasaution pecah menjadi empat permasalahan yang
menjadi polemik antara kaum Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Keempat
permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui Tuhan
2. Mengetahui
kewajiban berterimakasih kepada Tuhan
3. Mengetahui
kebaikan dan kejahatan
4. Mengetahui
kewajiban bernbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat.
Menurut kaum Mu’tazilah keempat masalah pokok itu dapat
diketahui oleh akal. Dalam hal ini Asy’ariyah berpandangan bahwa hanya masalah
yang pertama yang dapat diketahui akal, sedangkan untuk mengetahui ketiga
masalah lainnya diperlukan wahyu. Kaum Maturidiyah dalam menanggapi keempat
masalah tersebut terpecah menjadi dua kaum, yaitu Maturidiyah Samarkand dan
Maturidiyah Bukhara. Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa hanya dua permasalah
yang dapat diketahui oleh akal yaitu yang pertama dan ketiga, sedangkan masalah
kewajiban yang terdapat pada masalah kedua dan keempat dapat diketahui manusia
melalui wahyu, lain halnya dengan Maturidiyah Samarkand berpendapat hanya satu
yang tidak dapat diketahui akal yaitu masalah keempat. Untuk itu perlu wahyu.
Ketiga masalah lainnya dapat diketahui akal sebelum turunnya wahyu.
Jika kita perbandingkan anatara pendapat-pendapat
tersebut maka kita dapatkan skema sebagai berikut:
M.T M.W.T.T
M.W.T.T M.B.J
M.B.J M.W.B.J
M.W.B.J M.T
Mu’tazilah Asy’ariyah
M.T.S
M.H.A
M.B.J
M.W.T.T
M.W.B.J.
M.H
Muhammad Abduh
M.W.B.J M.W.T
M.T M.W.B.J
M.W.T.T. M.T
M.B.J M.B.
J
Maturidiyah Samarkand Maturidiyah Bukhara
M.T = Mengetahui Tuhan
M.W.T.T = Mengetahui kewajiban terhadap Tuhan
M.B.J = Mengetahui kebaikan dan kejahatan
M.W.B.J = Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban
Menjauhi perbuatan jahat
M.H.A = Mengetahui adanya hidup di akhirat
M.H = Membuat hukum-hukum
M.T.S = Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatNya.
Dari skema-skema tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keempat masalah pokok keagamaan yang dipersoalkan, kaum Mu’tazilah dan Muhammad Abduh mempunyai persamaan yaitu bertumpu pada kekuatan akal manusia sebagai kekuatan berpikir untuk mengetahui semua masalah yang disebutkan di atas tanpa bantuan atau menggunakan fungsi wahyu. Dalam paham Maturidiyah Samarkand, wahyu mempunyai fungsi dalam mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat dan ketiga masalah lainnya dapat diketahui akal.
Dalam paham Maturidiyah Bukhara, kewajiban dapat diketahui manusia hanya melalui wahyu. Adapun pengetahuan, itu dapat diketahui akal tanpa bantuan wahyu. Asy’ariyah melihat hanya satu dari keempat masalah yang dapat diketahui akal, yaitu adanya Tuhan. Kebaikan dan kejahatan, kewajiban berterimakasih kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, dapat diketahui manusia hanya melalui wahyu.
Dari pendapat-pendapat paham tersebut, dapat disimpulkan bahwa dasar pemikiran rasional yang dimiliki Harun Nasution lebih condong kepada dasar teologi Muhammad Abduh dan Mu’tazilah, yaitu sama-sama memberi kekuatan yang tinggi kepada akal dan sama-sama berpendapat bahwa wahyu tidak mempunyai fungsi dalam keempat masalah pokok keagamaan yang dipersoalkan.
Maka pada dasarnya persoalan pelik yang ditimbulkan dari adanya perbedaan pendapat diantara umat Islam tentang fungsi dan kedudukan akal dan wahyu, merupakan interpretasi manusia belaka. Oleh karena itu, akal dan wahyu sebenarnya merupakan dua komponen dalam agama yang saling mengisi dan melengkapi. Yaitu akal sebagai alat untuk berpikir dan mengaplikasikan ke dalam suatu wujud, dan wahyu sebagai alat informasi dan konfirmasi bagi akal manusia.
2. Pemikiran
Rasional Agamis
Manusia dalam berusaha mengetahui sesuatu biasanya
dimulai dengan mencari pengertian sesuatu yang sedang dihadapinya. Demikian
juga untuk mmengetahui tentang pemikiran rasional agamis, diperlukan pengertian
khusus. Pengertian dapat diperoleh melalui arti harfiahnya (etimologi) atau
dengan mencari arti definitifnya (terminologi).
Secara etimologis, rasio merupakan bahasa yang diambil
dari bahasa latin yaitu dari kata reri,ratus yang berarti mengenal atau
berpikir yaitu yang digunakan dalam pengertian filsafat yang umum untuk merujuk
pada kemampuan untuk membedakan, mengidentifikasi, dan menunjukkan sesuatu.
Dalam filsafat abad pertengahan, ratio (rasio)
biasanya dibedakan dari intellectus (intelegensi) .
Rasio membawa kita pada tindakan praktis dan pada pandangan akal sehat
tentang dunia dan eksis mendahului perkembangan atau aktivitas intelegensi
manusia intellectus adalah pondasi untuk teoretisasi, spekulasi,
abstraksi, menarik kesimpulan dan kontemplasi.
Endang Syaifudin Anshari yang mengutip dari Dr. J.
Verkuyl mengatakan bahwa rasio manusia itu cenderung sekali melewati
batas-batas kesanggupannya dan menjadi tinggi hati serta mengabdi kepada semua
dan menjadi tinggi hati serta mengabdi kepada semu dan dusta. Ia bertindak
seakan-akan semacam dewa, mengangkat dirinya menjadi ukuran yang termulia dan
terakhir, bertindak selaku hakimtertinggi atas kebenaran.
Rasional, di dalamnya mengandung atau memiliki rasio atau
sesuatu yang dicirikan oleh rasio dan mampu berfungsi secara rasional atau ikut
serta dalam pemikiran rasional. Ia mampu dimengerti sesuai dengan rasio, dapat
diterima akal dan beralasan serta taat pada kualitas pemikiran seperti
konsistensi, koherensi, kesederhanaan, keabstrakan, kelengkapan, ketentraman,
atau struktur logika.
Rasionalisme merupakan penfdekatan filsafat yang menekan
rasio sebagai sumberprimer pengetahuan, mendahului atau lebih tinggi dari dan
terlepas dari persepsi
Pemikiran rasional dalam Islam, mulai berkembang pada
zaman klasik Islam ( 650-1250 M ) pada abad ke- 19 pemikiran rasional dalam
Islam bukan hanya pemikiran rasional yang berorientasi pada pemikiran rasional
agamis, akan tetapi breorientasi juga pa da pemikiran rasional yang du tujukan
pada filsafat, sains dan teknologi.
Lahirnya
pemikiran rsasional di kalangan ulama Islam zaman klasik merupakan dari
pertemuan dua peradaban yakni peradaban Islam dan peradaban yunani. Tetapi perlu
di tegaskan sebenarnya ada perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dan
pemikiran rasional Islam zaman klasik. Di Yunani tidak di kenal agama samawi,
maka pemikiran tumbuh dan berkembang bebas tanpa terikat oleh ajaran-ajaran
agama. Sementara pada Islam zaman klasik pemikiran rasionl ulama terikat pada
ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-qur’an dan
Al-hadits. 25
Perkembangan
pemikiran rasional Yunani tertuju pada
pemikiran rasional yang bersifat sekuler. Pemikiran para filosof Yunani benar-benar tidak mencampur adukkan
antar agama dan ilmu pengetahuan yang berdasarkan teori realisme rasional dalam
bidang ilmiah. Berbeda dengan pemikiran para filosof Islam mereka selalu
menjadikan agama sebagai alat kontrol dalam mengkaji suatu ilmu, sehingga tidak
bertentangan dengan Al-qur’an dan Al-hadits.
Pemikiran rasional Yunani yang bersifat sekuler terulang
kembali pada pemikiran rasional di Eropa yakni pada zaman renaisance dan zaman
Modern. Pemikiran rasional sekuler ini membawa kemajuan pesat dalam bidang
filsafat, sains dan tehnologi.
Keberanian para pemikir Eropa melepaskan agama dari pemikiran dalam mengkaji filsafat, sains
dan tehnologi memyebabkan mereka berfikir secara bebas tanpa terikat oleh
agama. Par afilosof Eropa melakukan hakl demikian karten amendapat tantangan
dari gereja yang di anggap sebagi penghalang dan penghambat kemajuan.
Ketika
pemikiran rasional Islam pindah dan berkembang di Eropa, pemikiran tradisional
tumbuh kembali menggantikan pemikiran rasional di dunia Islam di zaman
pertengahan. Para ulama Islam pada saat itu pemikiranya bukan hanya terikat
pada arti lafadhi Al- qur’an dan Al-hadits, tetapi juga pada ajaran hasil
ijtihad ulama zaman klasik sehingga ruang lingkup pemikiran ulama zaman
pertengahan sangat sempit dan sulit sekali dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan moderm sebagai hasil dari filsafat, sains, dan tehnologi.
Kebangkitan
para pemikir Islam tumbuh kembali karena mereka melihat kemajuan Eropa pada
abad ke18 M. meeka tidak menyangka bahwa Eropa yang belajar dari mereka pada
abad ke –12 dan abad ke-13 M telah begitu maju dengan pesatnya. Hal ini membuat
ulama-ulama abad ke- 19 merenungkan
kembali apa yang perlu di lakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali
sebagaiman aumat islam pada zaman klasik dahulu
Dari
kesadaran para ulama maka lahirlah pembaharuan dalam Islam. Para pemikir
pembaharuan dalam Islam mempunyai keinginan untuk mengejar ketertinggalan umat
Islam dengan menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman Islamklasik
yaitu denga perhatian yang besar pada filsafat, sains, tehnologi. Dan pada abad
ke- 20 M perkembangan itu lebih maju
lagi, sehingga melahirkan interpretasi rasional dan baru atas Al-qur’an dan
Al-hadits.
Harun
Nasution mengatakan bahwa dalam pemikiran rasional agamis mempunyai kebebasan
dan akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam memahami Al-qur’an dan
Al-hadits. Kebebasan akal dalam hal ini hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut
kedua sumber utama Islam itu yakni ajaran-ajarn yang di sebut dalam istilah
Qoth’iy al- wurud dan qoth’iy al- dalalah. Pemikiran rasional agamis di sini di
maksudkan adalah suatu usaha pemahaman ayat dan hadits sedemikian mungkin
sehingga sesuai dengan pendapat akal denga syarat tidak bertentangan dengan
ajaran absolut tersebut di atas. 26
Dari diskripsi di atas maka dapat di tarik kesimpulan
bahwa pemikiran rasional agamis adalah pemikiran yang di dasarkan akal manusia
dengan syarat tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Al-hadits sehingga dapat
di harapkan terciptanya Islam rasional.
[1] Saiful Muzani, Reaktualisasi Teologi
Mu’tazilah Bagi Pembaharuan Umat Islam, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV,
1993, hal . 1
[2] Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Refleksi
Pemikiran ýPembaharuan Islam 70 tahun Harun Nasution, Guna Aksara, Jakarta,
1989, hal . 19.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah analisa Perbandingan, Kata pengantar HM Rasyidi,
UIPRESS, Jakarta, 1986, hal. vii
[4] Jalaludin muhamad Mukram Mandhur,Lisaan Al-
Arab, Jilid 11. Daar al- shadr, Berat, t.t halm. 488-489
[6] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam,
UI _ Press, Jakarta, 1986. Hlm. 7-8
[7] Endang saefusin Anshari, Op. Cit., hlm.
150
[8] Drs. Widodo Supriyono, M.A., Filsafat
Manusia dalam Islam dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Drs.
Chabibn Thoha M.A., Pustaka Pelajar, yogyakarta, 1996, hlm. 180
[9] Harun Nasution, Ibid , hal. 9.
[10] Abu Hamid Muhamad Ibnu Muhamad Al- Ghazali, Ihya’
‘Ulumuddin, juz III. Daar al- Ihya al- kutub al – ‘Arabiyah Misri Baabi Al-
Halabi wa – Syurakah, t.t., hal. 4
[11] Ibid., hlm. 4-5
[12] Imam Al- ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin,
Saduran H. Rus’am, Wicaksono, Semarang, hlm. 352
[13] Harun Nasution, Op. Cit. hlm. 12
[14] Lile E. Bourne and Bruce Ekstrand, Psikologi
its principles and meaning Holt, Rinehart and winsdton, New York, 1976, hlm. 167
[15] Laster D. Crow, Ph. D., and Alice Crow. Phd. Human
Development and Learning, American Book Company, New York, 1956. Hlm 46
[16] Al- Ghazali, Op. ýCit. hlm. 10
17
Harun Nsution . Op. Cit., hlm 15
18 Ibid. hlm. 15-16
19
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan
Bintang, Jakarta, 1990, Cet VIII, hlm. 37
20
Harun Nasution, Teologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm.
79
21
A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta,
1990, hlm. 72
22
Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Op. Cit., hlm. 72
23
Ibid. hlm. 75-76
24 Budhy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin dalam Sejarah,
dalam Filsafat Islam, Mizan, Bandung, hlm. 148
25
Prof. Dr. Harun Nsution, Islam Rasional, Mizan , Bandung, 1998.
Hlm. 7
26
Ibid. hlm. 9