Laman

Jumat, 27 Desember 2013

RASIONAL HARUN NASUTION


A.    Biografi Harun Nasution
Harun Nasution lahir pada hari selasa tanggal 23 september 1919 di Tapanuli selatan, Sumatera Utara. Ia terhitung keluarga elite di daerahnya saat itu. Ayahnya yang bernama Abdul Jabbar Ahmad adalah seorang yang banyak mempelajari agama Islam dari ulama -ulama di daerahnya. Ayahnya juga seorang yang kompeten di bidang sosial sehingga pemerintah Belanda mengangkatnya sebagai kepala agama, qodhi, penghulu, hakim agama dan imam masjid di kabupaten Simalungun.
Harun Nasution belajar agama di samping dari ayahnya juga dari ulama setempat dengan kajian kitab kuning berbahasa Melayu. Di samping belajar agama Harun Nasution juga belajar di sekolah Belanda ( HIS ) suatu kesempatan yang langka bagi anak pribumi. Dari sekolah HIS selama Tujuh tahun melajutkan pada sekolah MIK ( modern Islamiche Kweekschool ) tahun 1934 di Bukit Tinggi. Dari situ ia mulai berkenalan dengan Hamka, Zaenal Abidin, dan Jamil Jambek, dari mereka ia mengalami perkembnagan yang dinamis yang oleh orang tuanya di anggap menyimpang. [1] Sebagaimana terjadi di Bukit Tinggi merupakan sekolahan dalam katagori menggunakan metode modern.
Dalam situasi politik saat Harun sekolah di Mesir terjadi Belanda kalah dari Jepang, sehingga menjadikan Indonesia –Mesir mengalami putus hubungan luar negeri, hal tersebut mengganggu konsentrasinya karena kiriman dari dalam negeri terputus. Maka Harun Nasution bertekad untuk bekerja di Mesir. Dengan keahlian yang di miliki dalam bahasa Inggris ia di terima sebagai juru tulis angkatan bersenjata Inggris yang berpangkalan di Mesir, sampai ia bekerja di deperteman luar negeri ( 1953)[2]
Di sat ketidakpuasan Harun belajar di Mesir, datang tawaran dari Kedutaan untuk belajar di McGill ( canada ). Pada saat di butuhkan mahasiswa Indonesia untuk belajar di Canada. Di sanalah ia tertarik pada para pemikir modernis semacam Muhamad Abduh dan Syayyid Ahmad Khan sehingga pemikir tersebut mempengaruhi cara berfikir Harun Nasution.
Dia adalah seorang putera Indonesia yang pertama mencapai gelar Doctor dalm Islamic Studies University di Montreal, Canada dan pada tahun 1968. [3] Harun Nasution juga mempunyai peranan yang penting atas berdirinya organisasi ICMI Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia tahun 1990 karena iktu dalam penanda tanganan naskah berdirinya sekaligus sebagai dean pakar organisasi..

B.     Rasionalisme Dalam Pandangan Harun Nasution

1.     Akal dan wahyu
Akal, adalah kata yang berasal dari bahasa Arab yaitu al –aql yang berarti Al- Hijr ( menahan ), juga berarti Al-nuha ( cerdas, pandai ). Lafadz Aql berasal dari kata ‘aqola – yaqilu – ‘aqlan yang berarti habasa )ý( menahan, mengikat), berarti juga ‘ayada ( mengokohkan ); serta arti lainya adalah fahima ( memahami ). Lafadz ‘aql juga di sebut al-qalb ( hati ). Di sebut ‘aql ( akal ) karena akal itu mengikat pemiliknya dari kehancuran, akal itu sebagai pembeda karena dialah yang membedakan dengan semua hewan.[4]
Untuk mengetahui kata akal dengan sinonimnya yang lain, Endang Saefudin Anshari menulis bahwa dalam struktur manusia ada satu potensi yang di nyatakan dengan perkataan ratio (latin ), akal ( bahasa Arab : ‘aql ), budi ( bahsa Sansekerta : budhi ), akal budi ( satu perkataan yang tersusun dari bahasa Arab dan bahasa sansekerta), nous ( bahasa Yunani ), rraison ( bahasa perancis ), reason (bahasa Inggris ), verstand, vernuft ( bahasa Belanda ) dan Vernunft ( bahasa Jerman.) [5]
Menurut Harun Nasution, kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Profesor Izutsu menambahkan bahwa kata al ‘ aql masuk ke dalam filsafat Islam dan mengalami perubahan dalam arti. Dengan masuknya pengaruh filsafat Yunani ke dalam filsafat Islam, kata al – aql mengandung arti sama dengan Nous. Dalam filsafat Yunani Nous berarti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Dengan demikian kemampuan pemahaman dan pemikiran tidak melalui al – qolb di dada tetapi melalui al –‘aql di kepala. [6]
Sedangkan pengertian akal menurut istilah, Endang Saefudin Anshari mendefinisikan, akal adalah suatu potensi ruhiyah manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara teroritis realitas kosmis yang mengelilinginya di mana dia sendiri juga termasuk, dan untuk secara praktis merubah dan mempengaruhinya. [7]
Hampir senada dengan itu, Widodo supriyono mengatakan bahwa akal adalah potensi ruhaniyah manusia yang berkaitan dengan : kemampuan untuk memperoleh berbagai kemahiran ( al- dzaka’ ); pengertian inderawi ( indrak ); yang memungkinkan anak kembali mengingat yang telah di pelajari sebelumnya ( al –b tadzakkar ); gambaran angan-angan yang melambung ( Al – takhayyal ) dan yang berkaitan dengan keadaan pemaknaan dan pemahaman, atau dalam hal penemuan keterkaitan antar sesuatu ( al- tafir). [8]
Dari kedua pengertian tersebut, akal di artikan sebagai potensi rohaniyah yang terdapat dalam manusia yang berkemampuan mengetahui, mengingat, berangan-angan dan memahami suatu realitas kosmis dan mampu juga merubahnya.
Sebenarnya pengetian yang jelas tentang akal terdapat dalam filosof Islam . akal oleh mereka di artikan sebagai dalah satu daya jiwa ( al- nafs atau ar- ruh ) yang terdapat dalam diri manusia. Al- kindi dan Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya : daya bernafsu ( Ç áÞæ É Ç áÔåæ Ç äíÉ ( )yang berada di perut; daya berani ( Ç áÞæ Ç É Ç áÛÖÈíÉ   )  yang bertempat di dada ; dan daya berfikir (Þæ Ç É Ç áäÇ ØÞÉ ) yang berpusat di kepala. [9]
Kaitanya dengan hal ini, Al- Ghazali membagi akal dengan dua pengertian yaitu :








Artinya : “ Akal juga mempunyai makna-makna yang berbeda , berhubungan dengan tujuan kita. Dari jumlah itu ada dua : pertama, akal kadang-kaang di maksudkan sebagai ilmu ( yang mengetahui ) hakekat sesuatu. Ungkapan ini menyatakan sifat ilmu yang letaknya di hati; kedua, akal kadang-kadang di maksudkan sebagai yang mengetahui jiwa, maksudnya adalah hati yang halus ( Lathifah ). [10] 
Pernyataan Al- Ghazali itu memberi pengertian bahwa akal adalah ilmu atau pengetahuan yang hanya di miliki oleh mahluk berakal sedangkan Hewan tidaklah demikian, Ia tidak dapat mencapai pengetahuan karena tidak berakal.
Selain itu Al- Ghazali berpendapat , bahwa struktur manusia yang lain, al- qalb, ruh dan nafs juga berkemampuan mengetahui, mengenal dan merasa. [11] kemampuan ke tiga unsur itu hanya sampai kepada tiga daya tersebut tidak sampai kepada menyusun konsep keilmuan, karena konseptualisasi ilmu hanya dapat di lakukan oleh fungsi akal.
Yang di maksud ilmu di sini adalah kekuatan untuk membina daya cipta yang tak dapat di raba dan memiliki hakekat kecerdasan. [12] Pendapat ini sejalan dengan pendapat paa teolog muslim yang mengatakan bahwa akal adalah daya untuk memperoleh ilmu pengtahuan. [13]
Dalam ilmu Psikologi akal di definisikan :
Intelegence is “ :
1.      A general ability to acquire and use knowledge and a skill of any kind
2.      The ability to get along and adapt to one’s environment
3.      Mentals ability. [14]
Artinya akal adalah :
1.      Kemampuan umum untuk menemukan dan menggunakan berbagai jenis pengatahuan dan keahlian
2.      Kemampuan bergaul dan beradaptasi denagn orang lain di lingkungannya
3.      Kemampuan mental

Sedangkan Crow and Crow mendefinisikan akal sebagai berikut “

Intelegence is a general his thinking to new requirenments; it is general mental adaptability to new problem and conditions of life “ . [15]
intelegensi ( akal ) adalah sesuatu kemampuan umum seorang individu yang di dasari dalam rangka mengatur pemikiranya untuk mengatur keperluan yang baru. Akal itu adalah penyesuaian kepada masalahnya dan kondisi kehidupan. “
Lantaran demikian banyak pakar yang menaruh perhatiannya yang sangat besar pada akal. Demikian juga para ilmuwan muslim. Dalam pandangan Islam akal di tempatkan pada posisi yang sangat mulia. Hal ini dapat di ketahui baik dalm Al-qur’an dan Al- hadits sebagai sumber pokok ajaran Islam dan sumber dari segala sumber pengetahuan. Mengingat betapa mulianya akal  tersebut, Rasulullah SAW bersabda :

ãÇ ÎáÞ Ç ááå ÚÒ æ Ìá ÇßÑ ã Úáíå ãä áÚÞá

Artinya : “ Tidaklah Allah menciptakan mahluk yang lebih mulia daripada akal. “ [16]
Kemulian akal itu tidak lain karena kemampuanya mengerti, memahami dan berfikir tentang hakekat sesuatu, memberi kekuatan mental beradaptasi dengan alam realitas, dapat menghasilkan pemikiran inovatif yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Dengan kemampuan akal yang di milikinya manusia mampu merencanakan dan menentukan cita-cita hidupnya dengan optimis dan tanggung jawab.
Dari diskripsi di atas mengenai akal dapat di tarik kesimpulan bahwa yang di maksud akal adalah potensi rahaniyah manusia sebagai daya berfikir yang terdapat dalam jiwa yang mempunyai kemampuan ilmu pengetahuan dan keahlian dengan cara berfikir, menyadari dan memahami hakekat sesuatu di maksud dan juga dapat mendayagunakan potensi aqliyahnya tersebut untuk mengatasi berbagai problem kehidupan.
Jadi dalam pandangan Islam yang di maksud akal bukanlah otak tapi merupakan daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang di gambarkan oleh Al-qur’an memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan alam sekitar.
Wahyu berasal dari kata Arab al- wahy, kata ini betul-betul asli Arab bukan pinjaman asing yang berarti suara , api dan kecepatan. Di samping itu juga mempunyai arti bisikan, isyarat dan tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyai dengan cepat. Sehingga menurut Harun Nasution sebagai sabda Tuhan kepada orang pilihanya agar di teruskan pada umat manusia untuk di jadikan sebagai pandangan hidup. Sabda Tuhan ini mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang di perlukan  umat manusia dalm perjalanan hidupnya. Baik di duinia dan di akherat. 17
Mengenai proses turunya wahyu kepada manusia atau dengan bahasa lain bagaimana komunikasi antara Tuahn dengan manusia ( nabi-nabi ). Dengan mengambil argumen dari Al-qur’an surat As- Syurra harun Nasution menerangkan proses komunikasi antara Tuhan dengan nabi. Pertama, dengan melalui jantung  hati seseorang dalam bentuk Ilham. Kedua, dari belakang tabir sebagai terjadi pada nabi Musa dan ketiga, melalui utusan yang di kirimkan dalam bentuk Malaikat. 18
Menurut Harun Nasution manusia berhajat pada wahyu, meskipun manusia mempunyai daya akal yang kuat. Dengan memakai akal dan wahyu , manusia mencoba memperoleh pengetahuan tentang keTuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan. Oleh karena itu dengan kekuatan akal yang ada, manusia mencoba untuk menembus dan menguak esensi wahyu yang datangnya dari Tuhan.
Berhubungan dengan akal, Harun Nasution menggambarkan komunikasi tersebut sebagaimana kaum filosof muslim dengan akal suci. Untuk sampai pada Tuhan yang bersifat Immateri dan pada manusia yang bersifat materi. Akal manusia dapat mencapai derajad perolehan yang dapat berhubungan dengan Jibril. Karena manusia mempunyai rasional soul yang dekat menyerupai malaikat, atau mendekati kesempurnaan. 19
Dalam tradisi filsafat Islam seorang nabi berhubungan langsung dengan akal materi, sehingga tanpa melakukan latihan-latihan tanpa menggunakan  akal perolehan karena nabi telah di anugerahi  Tuhan akal yang mempunyai daya serap/tangkap yang luar biasa.
Berhubungan dengan ilmu ketuhanan, akal sebagai daya fikir dalam diri manusia berusaha keras untuk sampai kepada Tuhan, sedangkan wahyu sebagai penggambaran dari alam metafisika dengan keterangan-keteranganya. Konsepsi Harun Nasution sebagaimana dalam penjelasan sebagai berikut :
Tuhan berdiri di puncak alam wujud dan manusia di kakinya berusaha dengan akalnya untuk sampai kepada Tuhan, dan Tuhan dengan belas kasihan-Nya memberikan kepada manusia dan menurunkan wahyu melalui nabi-nabi dan rasul-rasul “. 20
Konsepsi tersebut merupakan sistem teologi Islam yang di pakai terhadap aliran-aliran teologi Islam, dan membawa pendapat bahwa akal manusia bisa sampai pada Tuhan.
Sebagai satu kesatuan yang terpisah wahyu dan akal menurut Harun Nasution di panggung sejarah baik Filsafat, teologi dan tasawuf telah secara ontologis menjadi dasar berpijak. Dalam filsafat Islam penggunaan akal secara maksimal di laksanakan sebagai ta’wil / metode ta’wil terhadap teks Al- qur’an dengan analogi yang di terangkan oleh filosof. 21  sebagai misal adalah pendapat Al-Farabi tentang teori kenabian., dengan mengatakan pena adalah Malaikat, tuilsan adalah gambaran tentang hakekat, dengan mengharmonisasikan wahyu dan akal, antara agama dan filsafat.
Kedudukan tinggi bagi akal dan perintah menuntut ilmu mengakibatkan perkembangan pesat keilmuan dalam Islam. Sejak menempatkan akal sebagai daya befikir dan dasar berpijak selain wahyu sebagai pembimbing manusia dalam dasa warsa kemajuan Islam akal telah di tempatkan secar maksimal, baru setelah salah satu golongan menomorduakan/ merendahkan akal terjadi kemunduran science.
Peran akal menurut Harun Nasution bukan hanya pada filsafat Islam.akan tetapi pada keilmuan yang lain berakibat positif. Pertama , dalam bidang fiqih. Peranan akal dalam bidang fiqih adalah sebagai upaya memahami dan mengerti ayat-ayat Qur’an memerlukan ijtihad, ijtihad adalah merupakan kerja akal. Ijtihad adalah upaya keras untuk mengeluarkan ketentuan hukum agama dari sumber-sumbernya dengan menggunakan akal . 22
Dalam sejarah ilmu fiqih ijtihad merupakan sumber ketiga setelah Al-qur’an dan baru kemudian ijtihad. Kemudian di kenal istilah Al- ra’yu yang kemudian di sebut opini. Opini atau ra’yu asalnya berarti akal pikiran. Dalam praktik berarti merenungkan dan memikirkan dengan akal terhadap nash Al-qur’an dan sunah.
Kedua, ilmu Tauhid atau teologi permasalahan akal meningkat menjadi akal dan wahyu. Yang di permasalahkan adalah kesanggupan akal dan wahyu terhadap persoalan pokok agama, adanya Tuhan, kebaikan dan kejahatan. Sebagaimana beberapa aliran dalam kapasitas yang berbeda menempatkan akal sebagai alat untuk menjawab pertanyaan teologis. 23
Menurut Harun Nasution teologi yang termasuk dalam teologi rasional adalah Mu’tazilah. Sebagaimana pendapatnya tentang akal sebagai kekuatan manusia maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat. Ia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan jalam perbuatan dengan akal manusia mampu berfikir scara mendalam / radikal. Dengan pemikiran filosfis mu’tazilah telah membawa konsep tentang keadilan Tuhan, konsep sunnatulah / hukum alam yang berjalan menurut aturan-aturan tertentu sehingga memberikan konstribusi terbesar bagi Islam bukan hanya filsafat akan tetapi juga sains. 24
Dari deskripsi tersebut, maka pada dasarnya dalam diri manusia terdapat kekuatan akal yang tidak dapat ditandingi oleh makhluk lain. Muhammad Abduh mengatakan bahwa akal dapat mengetahui Tuhan, mengetahui sifat-sifatnya, mengetahui sebahagian yang baik dan yang buruk dan mengetahui hidup manusia di akhirat. Tetapi sebenarnya, akal baginya dapat mengetahui dari apa yang disebut ini. Hal itu dijelaskannya dalam satu paragraf di Risalah Tauhid yang menjelaskan tentang hakikat kekuatan akal berikut ini :
Telah kita sebut bahwa Yang Maha Ada (Wajib-al Wujud) dan sifat-sifat kesempurnaanNya dapat diketahui dengan akal. Maka jika seorang pemikir, dengan memajukan bukti (burhan) tanpa bantuan wahyu, dapat menetapkan adanya Tuhan dan sifat-sifatNya yang tidak diwahyukan, sebagaimana sudah terjadi bagi sebahagian orang; dan dari pemikiran ini dan pemikiran tentang perkembangan  dirinya, ia sampai pada keyakinan bahwa prinsip akal dalam diri manusia akan terus ada sesudah ia mati . Pemikiran yang telah dilakukan orang dan dari sini ia selanjutnya sampai kepada pendapat, baik itu benar atau salah, bahwa kelanjutan wujud jiwa sesudah mati menghendaki adanya kebahagiaan atau kesengsaraan baginya di akhirat; kemudian ia mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat diperolehnya dengan mengetahui Tuhan dan melakukan perbuatan baik sedang kesengsaraan diberikan kepadanya karena  tidak mengetahui Tuhan dan karena melakukan perbuatan jahat; dan atas dasar itu ia akhirnya berpendapat bahwa diantara perbuatan perbuatan manusia ada yang akan membawanya kepada kebahagiaan dan ada pula yang akan membawanya kepada kesengasaraan di akhirat; maka sesudah semua pemikiran itu ketentuan akal atau syariat mana yang mencegahnya untuk mengatakan melalui akalnya bahwa mengetahui Tuhan adalah wajib, melakukan perbuatan baik adalah wajib dan melakukan perbuatan jahat dilarang, dan untuk menentukan hukum-hukum (al-qawain) yang dikehendakinya mengenai hal-hal tersebut guna mengajar manusia mengakhiri apa yang diyakininya dan berbuat seperti apa yang ia perbuat, selama tidak ada syariat yang menentang hal itu?
Kutipan di atas mengandung suatu penjelasan yang pokok dari pemikiran Muhammad Abduh tentang kekuatan akal yang lepas dari fungsi wahyu. Akal menurut Muhammad Abduh dapat mengetahui dua dasar pokok dalam agama, kewajiban mengetahui Tuhan dan kewajiban melakukan perbuatan baik dan menjauhkan perbuatan jahat.
Kedua dasar tersebut menurut Harun Nasaution pecah menjadi empat permasalahan yang menjadi polemik antara kaum Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Keempat permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Mengetahui Tuhan
2.      Mengetahui kewajiban berterimakasih kepada Tuhan
3.      Mengetahui kebaikan dan kejahatan
4.      Mengetahui kewajiban bernbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat.
Menurut kaum Mu’tazilah keempat masalah pokok itu dapat diketahui oleh akal. Dalam hal ini Asy’ariyah berpandangan bahwa hanya masalah yang pertama yang dapat diketahui akal, sedangkan untuk mengetahui ketiga masalah lainnya diperlukan wahyu. Kaum Maturidiyah dalam menanggapi keempat masalah tersebut terpecah menjadi dua kaum, yaitu Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa hanya dua permasalah yang dapat diketahui oleh akal yaitu yang pertama dan ketiga, sedangkan masalah kewajiban yang terdapat pada masalah kedua dan keempat dapat diketahui manusia melalui wahyu, lain halnya dengan Maturidiyah Samarkand berpendapat hanya satu yang tidak dapat diketahui akal yaitu masalah keempat. Untuk itu perlu wahyu. Ketiga masalah lainnya dapat diketahui akal sebelum turunnya wahyu.
Jika kita perbandingkan anatara pendapat-pendapat tersebut maka kita dapatkan skema sebagai berikut:








 


  M.T                                                                                                                                        M.W.T.T
M.W.T.T                                                                                                                                          M.B.J
M.B.J                                                                                                                                             M.W.B.J
 M.W.B.J                                                                                                                       M.T






Tuhan


 


Mu’tazilah                                                                                                                 Asy’ariyah
                                  M.T.S
WahyuAkal M.H.A
M.B.J
 M.W.T.T
M.W.B.J.
    M.H


 
Manusia                                      
                                                        Muhammad Abduh

 
          M.W.B.J                                                                                                         M.W.T
M.T                                                                                                                            M.W.B.J
M.W.T.T.                                                                                                            M.T
M.B.J                                                                                                                  M.B. J


Maturidiyah Samarkand                                                                           Maturidiyah Bukhara
M.T                 = Mengetahui Tuhan
M.W.T.T         = Mengetahui kewajiban terhadap Tuhan      
M.B.J               = Mengetahui kebaikan dan kejahatan
M.W.B.J             = Mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban
                        Menjauhi perbuatan jahat
M.H.A                = Mengetahui adanya hidup di akhirat
M.H                    =  Membuat hukum-hukum
M.T.S                  = Mengetahui Tuhan dan sifat-sifatNya.
Dari skema-skema tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam keempat masalah pokok keagamaan yang dipersoalkan, kaum Mu’tazilah dan Muhammad Abduh mempunyai persamaan yaitu bertumpu pada kekuatan akal manusia sebagai kekuatan berpikir untuk mengetahui semua masalah yang disebutkan di atas tanpa bantuan atau menggunakan fungsi wahyu. Dalam paham Maturidiyah Samarkand, wahyu mempunyai fungsi dalam mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat dan ketiga masalah lainnya dapat diketahui akal.
Dalam paham Maturidiyah Bukhara, kewajiban dapat diketahui manusia hanya melalui wahyu. Adapun pengetahuan, itu dapat diketahui akal tanpa bantuan wahyu. Asy’ariyah melihat hanya satu dari keempat masalah yang dapat diketahui akal, yaitu adanya Tuhan. Kebaikan dan kejahatan, kewajiban berterimakasih kepada Tuhan dan kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, dapat diketahui manusia hanya melalui wahyu.
Dari pendapat-pendapat paham tersebut, dapat disimpulkan bahwa dasar pemikiran rasional yang dimiliki Harun Nasution lebih condong kepada dasar teologi Muhammad Abduh dan Mu’tazilah, yaitu sama-sama memberi kekuatan yang tinggi kepada akal dan sama-sama berpendapat bahwa wahyu tidak mempunyai fungsi dalam keempat masalah pokok keagamaan yang dipersoalkan.
Maka pada dasarnya persoalan pelik yang ditimbulkan dari adanya perbedaan pendapat diantara umat Islam tentang fungsi dan kedudukan akal dan wahyu, merupakan interpretasi manusia belaka. Oleh karena itu, akal dan wahyu sebenarnya merupakan dua komponen dalam agama yang saling mengisi dan melengkapi. Yaitu akal sebagai alat untuk berpikir dan mengaplikasikan ke dalam suatu wujud, dan wahyu sebagai alat informasi dan konfirmasi bagi akal manusia. 



2.     Pemikiran Rasional Agamis
Manusia dalam berusaha mengetahui sesuatu biasanya dimulai dengan mencari pengertian sesuatu yang sedang dihadapinya. Demikian juga untuk mmengetahui tentang pemikiran rasional agamis, diperlukan pengertian khusus. Pengertian dapat diperoleh melalui arti harfiahnya (etimologi) atau dengan mencari arti definitifnya (terminologi).
Secara etimologis, rasio merupakan bahasa yang diambil dari bahasa latin yaitu dari kata reri,ratus yang berarti mengenal atau berpikir yaitu yang digunakan dalam pengertian filsafat yang umum untuk merujuk pada kemampuan untuk membedakan, mengidentifikasi, dan menunjukkan sesuatu.
Dalam filsafat abad pertengahan, ratio (rasio) biasanya dibedakan dari intellectus (intelegensi)  .  Rasio membawa kita pada tindakan praktis dan pada pandangan akal sehat tentang dunia dan eksis mendahului perkembangan atau aktivitas intelegensi manusia intellectus adalah pondasi untuk teoretisasi, spekulasi, abstraksi, menarik kesimpulan dan kontemplasi.
Endang Syaifudin Anshari yang mengutip dari Dr. J. Verkuyl mengatakan bahwa rasio manusia itu cenderung sekali melewati batas-batas kesanggupannya dan menjadi tinggi hati serta mengabdi kepada semua dan menjadi tinggi hati serta mengabdi kepada semu dan dusta. Ia bertindak seakan-akan semacam dewa, mengangkat dirinya menjadi ukuran yang termulia dan terakhir, bertindak selaku hakimtertinggi atas kebenaran.
Rasional, di dalamnya mengandung atau memiliki rasio atau sesuatu yang dicirikan oleh rasio dan mampu berfungsi secara rasional atau ikut serta dalam pemikiran rasional. Ia mampu dimengerti sesuai dengan rasio, dapat diterima akal dan beralasan serta taat pada kualitas pemikiran seperti konsistensi, koherensi, kesederhanaan, keabstrakan, kelengkapan, ketentraman, atau struktur logika.
Rasionalisme merupakan penfdekatan filsafat yang menekan rasio sebagai sumberprimer pengetahuan, mendahului atau lebih tinggi dari dan terlepas dari persepsi
Pemikiran rasional dalam Islam, mulai berkembang pada zaman klasik Islam ( 650-1250 M ) pada abad ke- 19 pemikiran rasional dalam Islam bukan hanya pemikiran rasional yang berorientasi pada pemikiran rasional agamis, akan tetapi breorientasi juga pa da pemikiran rasional yang du tujukan pada filsafat, sains dan teknologi.
Lahirnya pemikiran rsasional di kalangan ulama Islam zaman klasik merupakan dari pertemuan dua peradaban yakni peradaban Islam dan peradaban yunani. Tetapi perlu di tegaskan sebenarnya ada perbedaan antara pemikiran rasional Yunani dan pemikiran rasional Islam zaman klasik. Di Yunani tidak di kenal agama samawi, maka pemikiran tumbuh dan berkembang bebas tanpa terikat oleh ajaran-ajaran agama. Sementara pada Islam zaman klasik pemikiran rasionl ulama terikat pada ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana yang terdapat dalam Al-qur’an dan Al-hadits.  25
Perkembangan pemikiran rasional  Yunani tertuju pada pemikiran rasional yang bersifat sekuler. Pemikiran para filosof  Yunani benar-benar tidak mencampur adukkan antar agama dan ilmu pengetahuan yang berdasarkan teori realisme rasional dalam bidang ilmiah. Berbeda dengan pemikiran para filosof Islam mereka selalu menjadikan agama sebagai alat kontrol dalam mengkaji suatu ilmu, sehingga tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Al-hadits.
Pemikiran rasional Yunani yang bersifat sekuler terulang kembali pada pemikiran rasional di Eropa yakni pada zaman renaisance dan zaman Modern. Pemikiran rasional sekuler ini membawa kemajuan pesat dalam bidang filsafat, sains dan tehnologi.
Keberanian para pemikir Eropa melepaskan agama  dari pemikiran dalam mengkaji filsafat, sains dan tehnologi memyebabkan mereka berfikir secara bebas tanpa terikat oleh agama. Par afilosof Eropa melakukan hakl demikian karten amendapat tantangan dari gereja yang di anggap sebagi penghalang dan penghambat kemajuan.
Ketika pemikiran rasional Islam pindah dan berkembang di Eropa, pemikiran tradisional tumbuh kembali menggantikan pemikiran rasional di dunia Islam di zaman pertengahan. Para ulama Islam pada saat itu pemikiranya bukan hanya terikat pada arti lafadhi Al- qur’an dan Al-hadits, tetapi juga pada ajaran hasil ijtihad ulama zaman klasik sehingga ruang lingkup pemikiran ulama zaman pertengahan sangat sempit dan sulit sekali dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan moderm sebagai hasil dari filsafat, sains, dan tehnologi.
Kebangkitan para pemikir Islam tumbuh kembali karena mereka melihat kemajuan Eropa pada abad ke18 M. meeka tidak menyangka bahwa Eropa yang belajar dari mereka pada abad ke –12 dan abad ke-13 M telah begitu maju dengan pesatnya. Hal ini membuat ulama-ulama abad  ke- 19 merenungkan kembali apa yang perlu di lakukan umat Islam untuk mencapai kemajuan kembali sebagaiman aumat islam pada zaman klasik dahulu
Dari kesadaran para ulama maka lahirlah pembaharuan dalam Islam. Para pemikir pembaharuan dalam Islam mempunyai keinginan untuk mengejar ketertinggalan umat Islam dengan menghidupkan kembali pemikiran rasional agamis zaman Islamklasik yaitu denga perhatian yang besar pada filsafat, sains, tehnologi. Dan pada abad ke- 20 M perkembangan  itu lebih maju lagi, sehingga melahirkan interpretasi rasional dan baru atas Al-qur’an dan Al-hadits.
Harun Nasution mengatakan bahwa dalam pemikiran rasional agamis mempunyai kebebasan dan akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam memahami Al-qur’an dan Al-hadits. Kebebasan akal dalam hal ini hanya terikat pada ajaran-ajaran absolut kedua sumber utama Islam itu yakni ajaran-ajarn yang di sebut dalam istilah Qoth’iy al- wurud dan qoth’iy al- dalalah. Pemikiran rasional agamis di sini di maksudkan adalah suatu usaha pemahaman ayat dan hadits sedemikian mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal denga syarat tidak bertentangan dengan ajaran absolut tersebut di atas. 26
Dari diskripsi di atas maka dapat di tarik kesimpulan bahwa pemikiran rasional agamis adalah pemikiran yang di dasarkan akal manusia dengan syarat tidak bertentangan dengan Al-qur’an dan Al-hadits sehingga dapat di harapkan terciptanya Islam rasional.


[1]  Saiful Muzani, Reaktualisasi Teologi Mu’tazilah Bagi Pembaharuan Umat Islam, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. IV, 1993, hal . 1
[2]  Lembaga Studi Agama dan Filsafat, Refleksi Pemikiran ýPembaharuan Islam 70 tahun Harun Nasution, Guna Aksara, Jakarta, 1989, hal . 19.
[3]  Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah analisa Perbandingan, Kata pengantar HM Rasyidi, UIPRESS, Jakarta, 1986, hal. vii
[4]  Jalaludin muhamad Mukram Mandhur,Lisaan Al- Arab, Jilid 11. Daar al- shadr, Berat, t.t halm. 488-489
[5]  H. Endang  Saefudin Anshari, M. A., Ilmu Filsafat dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hla. 150
[6]  Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, UI _ Press, Jakarta, 1986. Hlm. 7-8
[7]  Endang saefusin Anshari, Op. Cit., hlm. 150
[8]  Drs. Widodo Supriyono, M.A., Filsafat Manusia dalam Islam dalam Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam, Drs. Chabibn Thoha M.A., Pustaka Pelajar, yogyakarta, 1996, hlm. 180
[9]  Harun Nasution, Ibid , hal. 9.
[10]  Abu Hamid Muhamad Ibnu Muhamad Al- Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, juz III. Daar al- Ihya al- kutub al – ‘Arabiyah Misri Baabi Al- Halabi wa – Syurakah, t.t., hal. 4
[11]  Ibid., hlm. 4-5
[12]  Imam Al- ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, Saduran H. Rus’am, Wicaksono, Semarang, hlm. 352
[13]  Harun Nasution, Op. Cit. hlm. 12
[14]  Lile E. Bourne and Bruce Ekstrand, Psikologi its principles and meaning Holt, Rinehart and  winsdton, New York, 1976, hlm. 167
[15]  Laster D. Crow, Ph. D., and Alice Crow. Phd. Human Development and Learning, American Book Company, New York, 1956. Hlm 46
[16]  Al- Ghazali, Op. ýCit. hlm. 10
17  Harun Nsution . Op. Cit., hlm 15
18  Ibid. hlm. 15-16
19  Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, Cet VIII, hlm. 37
20  Harun Nasution, Teologi Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hlm. 79
21  A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990, hlm. 72
22  Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Op. Cit., hlm. 72
23  Ibid. hlm. 75-76
24    Budhy Munawar Rahman, Kontekstualisasi Doktrin dalam Sejarah, dalam Filsafat Islam, Mizan, Bandung, hlm. 148
25  Prof. Dr. Harun Nsution, Islam Rasional, Mizan , Bandung, 1998. Hlm. 7
26  Ibid. hlm. 9

Jalaluddin Al-Mahalli



Jalaluddin al-Mahalli bernama lengkap Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Imam al-Allamah Jalaluddin al-Mahalli. Lahir pada tahun 791 H/1389 M di Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal dengan sebutan al-Mahalli yang dinisbahkan pada kampung kelahirannya. Lokasinya terletak di sebelah barat Kairo, tak jauh dari sungai Nil.
Sejak kecil tanda-tanda kecerdasan sudah mencorong pada diri Mahalli. Ia ulet menyadap aneka ilmu, misalnya tafsir, ushul fikih, teologi, fikih, nahwu dan logika. Mayoritas ilmu tersebut dipelajarinya secara otodidak, hanya sebagian kecil yang diserap dari ulama-ulama salaf pada masanya, seperti al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, A’la al-Bukhari dan Syamsuddin bin al-Bisati. Al-Mahalli wafat pada awal tahun 864 H bertepatan dengan tahun 1455 M.
Riwayat hidup al-Mahalli tak terdokumentasi secara rinci. Hal ini disebabkan ia hidup pada masa kemunduran dunia Islam. Lagi pula ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala aktivitasnya tidak terekam dengan jelas. Walau begitu, al-mahalli dikenal sebagai orang yang berkepribadian mulia dan hidup sangat pas-pasan, untuk tidak dikatakan miskin. Guna memnuhi kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai pedagang. Meski demikian kondisi tersebut tidak mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu. Tak mengherankan jika ia mempunyai banyak karangan yang salah satunya adalah Tafsir al-Qur’an al-’Adzim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Jalalain tetapi belum sempurna.
2. Jalaluddin Al-Suyuthi
Al-Suyuthi bernama lengkap Abu al-fadhl Abdurrahman bin Abi Bakr bin Muhammad al-Suyuthi al-Syafi’i. Beliau dilahirkan pada bulan Rajab tahun 849 H dan ayahnya meninggal saat beliau berusia lima tahun tujuh bulan. Beliau sudah hafal al-Qur’an di luar kepala pada usia delapan tahun dan mampu menghafal banyak hadis. Beliau juga mempunyai guru yang sangat banyak. Di mana menurut perhitungan muridnya, al-Dawudi, mencapai 51 orang. Demikian juga karangan beliau yang mencapai 500 karangan. Beliau meninggal pada malam Jum’at 19 Jumadil Awal 911 H di rumahnya.
Beliau juga sebagai murid dari Jalaluddin al-Mahalli. Sebagai murid yang pandai Al-Suyuthi-lah yang menyempurnakan “proyek” gurunnya. Pada mulanya beliau tidak berminat menulis tafsir ini, tetapi demi memelihara diri dari apa yang telah disebutkan oleh firman-Nya:
`tBur šc%x. Îû ÿ¾ÍnÉ»yd 4yJôãr& uqßgsù Îû ÍotÅzFy$# 4yJôãr& @|Êr&ur WxÎ6y ÇÐËÈ  
Artinya : dan barang siapa yang buta hatinya didunia ini, niscaya diakhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih tersesat dari jalan yang benar. (Qs, al-Isra’ :72)
Maka dari itu beliau menulis kitab tafsir jalalain, kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad, tanggal 10 Syawal 870 Hijriah, Penulisannya di mulai pada hari rabo, awal ramadhan dalam tahun yang sama, kemudian konsep jadinya diselesaikan pada hari Rabu 8 Safar 871 Hijriah.
3. Bentuk, Metode dan Corak Tafsir Jalalain
Istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun menurut Nashruddin Baidan, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang diterapkan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikerucutkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y.
Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra’y. Karena dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir (meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan penggalan ayat berikut ini:
(ولا تتبدلواالخبيث) الحرام (بالطيب) الحلال أى تأخذوه بدله كما تفعلون من أخذ الجيد من مال اليتيم وجعل الردئ من مالكم مكانه.
Di sini kelihatan dengan jelas bahwa ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut al-Suyuthi murni menggunakan pemikirannya tanpa menyebut riwayat. Jika kita bandingkan dengan tafsir Ibnu katsir berikut ini, akan lebih jelas perbedaannya.
(ولا تتبدلواالخبيث بالطيب) قال سفيان الثورى عن أبى صالح :لا تعجل بالرزق الحرام قبل أن يأتيك الرزق الحلال الذى قدر لك وقال سعيد بن جبير:لا تتبدلواالحرام من أموال الناس بالحلال من أموالكم,يقول :لاتبدلوا أموالكم الحلال وتأكلوا أموالهم الحرامز.وقال سعيد بن المسيب والزهرى:ولا تعط مهزولا ولا تأخذ سمينا. وقال إبراهيم والنخعى والضحاك:لا تعط زيفا وتأخذ جيدا.وقال السدى: كان أحدهم يأخذ الشاة السمينة من غنم اليتيم, ويجعل مكانها الشاة المهزولة ويقول: شاة بشاة, ويأخذ الدرهم الجيد ويطرح مكانه الزيف ويقول درهم بدرهم
Di sini Ibnu Katsir menggunakan bentuk bi al-ma’tsur. Beliau ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut langsung merujuk riwayat dari al-Tsauri, Sa’id bin Jubair, Sa’id bin al-Musayyab dan lain-lain. Sehingga seakan-akan beliau tidak punya pendapat sendiri tentang hal tersebut.
Hal inilah yang membedakan antara bentuk bi al-ma’tsur dengan bentuk bi al-ra’y. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma’tsur sangat tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap ada selama riwayat masih ada. Berbeda dengan tafsir bi al-ra’y yang akan selalu berkembang dengan perkembangan zaman.
Adapun mengenai metode yang digunakan tafsir Jalalain menggunakan metode Ijmali (global). Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan sesuai dengan metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari qoul yang kuat, I’rab lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap Qiraat yang berbeda dengan ungkapan yang simpel dan padat serta meninggalkan ungkapan-ungkapan bertele-tele dan tidak perlu.
Mufasir yang menggunakan metode ini biasanya menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dengan bahasa populer dan mudah dimengerti. Ia akan menafsirkan al-Qur’an secara sistematis dari awal hingga akhir. Di samping itu, penyajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari gaya (uslub) bahasa al-Qur’an, sehingga penbengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap mendengar al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirnya.
Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir sebagaimana terlihat dalam contoh. Dari contoh tersebut Ibnu Katsir menggunakan metode Tahlili (analitis). Perbedaannya terletak pada terget yang ingin dicapai. Jika yang diinginkan adalah hanya untuk mengetahui makna kosa kata, tidak memerlukan uraian yang luas, maka cukup menggunakan metode Ijmali seperti Tafsir Jalalain. Tetapi jika target yang ingin dicapai adalah suatu penafsiran yang luas tetapi tidak menuntaskan pemahaman yang terkandung dalam ayat secara komprehensif, maka metode yang cocok adalah metode Tahlili (analitis), sebagaimana tafsirnya Ibnu Katsir.


Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir. Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran ide tersebut. Bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah yang disebut corak umum.
Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya. Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kandungan maknanya.
4. Karakteristik Tafsir Jalalain
Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz yang pertama berisi tafsir surat al-Baqarah sampai surat al-Isra’ yang disusun oleh Jalaluddin al-Suyuthi, sedangkan juz yang kedua berisi tafsir surat al-Kahfi sampai surat al-Naas ditambah dengan tafsir surat al-Fatihah yang disusun oleh Jalaluddin al-Mahalli.
Untuk mengetahui karakteristik tafsir ini perlu diperbandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama. Berikut disuguhkan perbandingan dengan Tafsir Marah Labid karya Nawawi al-Bantani dan juga Tafsir al-Baidhowi karya Imam Baidhowi.
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) لأن وبال خداعهم راجع اليهم فيفتضحون فى الدنيا باطلاع الله نبيه على ما ابطنوه ويعاقبون فى الأخرة (وما يشعرون) يعلمون أن خداعهم لأنفسهم والمخادعة هنا من واحد كعاقبت اللص وذكر الله فيها تحسين وفى قرأة وما يخدعون
• (
وما يخدعون) أى يكذبون (إلا أنفسهم) وهذه الجملة حال من ضمير يخادعون أى يفعلون ذلك والحال أنهم ما يضرون بذلك الا أنفسهم فان دائرة فعلهم مقصورة عليهم وقرأ عاصم وابن عمر وحمزة والكسائ وما يخدعون بفتح الياء وسكون الخاء وفتح الدال وقرأ الباقون بضم الياء وفتح الخاء مع المد وكسرالدال ولا خلاف فى قوله يخادعون الله فالجميع قرأ بضم الياء وفتح الخاء وبالألف بعدها وكسرالدال وأما الرسم فبغير ألف فى الموضعين (وما يشعرون) أن الله يطلع نبيه على كذبهم
• (
وما يخادعون إلا أنفسهم) قرأة نافع وابن كثير وأبى عمر والمعنى ان دائرة الخداع راجعة اليهم وضررها يحيق بهم أو أنهم فى ذلك خدعوا أنفسهم لما غروها بذلك وخدعتهم أنفسهم حيث حدثتهم بالأماني الفازعة وحملتهم على مخادعة من لا يخفى عليه خافية وقرأ الباقون وما يخدعون لان المخادعة لا تتصور الا بين اثنين وقرئ ويخدعون من خدع ويخدعون بمعنى يختدعون ويخدعون ويخادعون على البناء للمفعول ونصب أنفسهم بنزع الخافض والنفس ذات الشيء وحقيقة ثم قيل للروح لان النفس الحي به وللقلب لانه محل الروح أو متعلقة وللدم لان قوامها به وللماء لفرط حاجتيا اليه وللرأى فى قولهم فلان يؤامر نفسه لانه ينبعث عنها أو يشبه ذاتا مرة وتشير عليه والمراد بالانفس ههنا ذواتهم ويحتمل حملها على أرواحهم وآرائهم (وما يشعرون) لا يحسون بذلك لتمادى غفلتهم جعل لحوق و بال الخداع ورجوع ضرره اليهم فى الظهو وكالمحسوس الذى لا يخفى الا على مؤوف الحواس والشعور الاحساس ومشاعرالانسان حواسه وأصله الشعر ومنه الشعار
Salah satu sisi yang ditampilkan dari ketiga contoh di atas adalah masalah Qira’at. Tetapi jika dilihat lebih lanjut terjadi perbedaan dalam penyajiannya. Jika dibandingkan dengan kedua tafsir di bawahnya, pembahasan yang ada dalam Tafsir Jalalain lebih ringkas, bahkan cenderung sepintas lalu. Rupanya Suyuthi tidak mau terjebak dalam pembicaraan yang bertele-tele, cukup hanya dengan menunjukkan adanya perbedaan qira’at. Sebagaimana yang ia sampaikan dalam muqaddimahnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa karakteristik Tafsir Jalalain jika dibandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama adalah ungkapannya yang simpel dan padat dengan gaya bahasa yang mudah. Tujuannya adalah agar dapat dicerna dengan mudah oleh para pembaca tafsir. Hingga pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa antara al-Qur’an dengan tafsirannya hampir sama.
Bahkan, menurut pengarang kitab Kasyf al-Dzunun, ada sebagian ulama Yaman yang mengatakan bahwa hitungan huruf al-Qur’an dengan tafsirannya sampai surat al-Muzzammil adalah sama. Baru pada surat al-Muddatstsir dan seterusnya tafsir ini melebihi al-Qur’an.
Yang menarik dari kitab ini adalah penempatan tafsir Surat al-fatihah yang diletakkan paling akhir. Kedua mufassir juga tidak berbicara tentang basmalah sebagaimana tafsir-tafsir lainnya. Tidak ada keterangan yang menyebutkan tentang alasan tidak ditafsirkannya basmalah.
5. Penutup
Budaya tafsir-menafsir merupakan bagian dari peradaban Islam. Budaya ini yang menjadikan intelektual Islam menjadi terangkat namanya dalam kancah internasional. Salah satu tafsir yang populer di Indonesia adalah tafsir Jalalain. Tafsir ini begitu populernya, sehingga hukumnya “wajib” mengkaji tafsir ini di kalangan pesantren. Kesemuanya itu tak terlepas dari isi tafsir itu sendiri yang isinya singkat dan padat serta para mufasirnya yang begitu karismatik.
6. Daftar Pustaka
Amin, Ghofur Saiful , Profil Para Mufasir al-Qur’an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Baidhowi, Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad , Tafsir al-Baidhowi, jilid I, Beirut, Dar Shadir, t.th.
Al-Dimasyqy, Ibnu Katsir , Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, juz 1, Beirut, Maktabah al-Nur al-Ilmiah,1991.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain , al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, Beirut, 1976.
Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, Dar Ihya’ al-Kutub al-’Arabiyah, t.th.
Nawawi al-Jawi, Muhammad , Marah Labid, Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah, t.th.
Al-Qusthunthonni, Mushtafa bin Abdillah , Kasyf al-Dzunun, juz 1, Beirut, Dar al-Kutub al-’Ilmiyah, 1992.