Laman

Jumat, 27 Desember 2013

IMAM FAKHRUDDIN AL RAZI



A. PENDAHULUAN
Dari berbagai disiplin ilmu agama Islam, ilmu tafsir merupakan salah satu bidang keilmuan yang cukup penting dan membutuhkan perhatian khusus. Karena itu, tidak sembarang orang boleh menafsirkan al Quran, melainkan harus memenuhi beberapa syarat, misalnya, menurut Imam Thabari (Tafsir At-Thabari) ada tiga:
1. orang itu mempunyai akidah yang sehat (benar)
2. memahami perkataan para sahabat tentang tafsir al Quran.
3. mengetahui perkembangan bahasa arab.[1]
Sedangkan Imam Suyuti berpendapat, syarat seorang penafsir al Qur`an setidak-tidaknya adalah:
1. Paham makna mufrodat lughah,
2. Ilmu nahwu,
3. ilmu Sorof,
4. I'rob,
5. Ma'ani,
6. Badi'
7. Nasikh Mansukh
8. Asbabunnuzul
9. Penafsiran para ulama terdahulu
10. Mengetahui mana-mana yang disepakati dan yang tidak, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan tokoh-tokoh mufassir yang sudah ada, dalam makalah sederhana ini saya mencoba mengangkat salah satu tokoh yang dikenal dengan nama Imam Fakhruddin al Razi yang pada masanya, bahkan sampai saat ini masih diperdebatkan kapasitas dan kapabilitasnya sebagai seorang mufassir. Tetapi di luar hal tersebut, karya tafsirnya yang berjudul Mafatihul Ghaib banyak mendapat perhatian dan disebut sebagai sebuah karya yang fenomenal karena kandungan isinya yang berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain.
Ketertarikan penulis untuk mengangkat Imam Fakhruddin al Razi ini juga berangkat dari karya tafsirnya yang diklasifikasikan sebagai tafsir Bil Ra’yi, sebuah tafsir yang di dalamnya terdapat beberapa pemikiran dan hal-hal baru yang tentunya tidak disebutkan dalam golongan kitab tafsir yang lain.
Setelah mengamati biografi tokoh ini, penulis berharap adanya sebuah pengetahuan lebih dan mendalam tentang seluk beluk dan fakta yang benar dari sebuah tafsir yang dikategorikan Bil Ra’yi serta sekaligus bisa mengambil kesimpulan positif dari karya tersebut.
B. BIOGRAFI IMAM AL RAZI
Nama asli beliau adalah Muhammad bin Umar bin Husain bin Ali al-Qursy ath-Thabarsatani al-Ashli, al-Razi al-Maulidi, asy-Syafi’i al-Qursyi dari keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq radliyallahu ‘anhu. Pada masanya beliau mendapat julukan al-Imam sehingga julukan tersebut melekat padanya, tetapi sebenarnya julukan al Razi bukan al-Imam saja, beliau juga mendapat julukan Syaikhul Islam, Fakhruddin dan lain sebagainya. Imam al Razi mempunyai banyak gelar, yang paling terkenal di antaranya adalah Ibnu Khatib, Ibnu Khatib al-Ray, Abi Abdillah, Abil Fadl, Abil Ma’ali[2].
Tetapi dalam statusnya sebagai mufassir, beliau sangat terkenal dengan nama Fakhruddin al Razi atau Fakhrur Razi. Imam al-Razi dilahirkan pada tahun 544 H. di kota al-Ray, wafat pada tahun 606 H di kota Harah . Menurut satu pendapat, wafatnya beliau disebabkan sikap permusuhan dari golongan al-Karramiyyah yang menuduh Imam ar Razi sebagai orang kafir dan telah melakukan dosa besar. Pendapat lain menyebutkan bahwa sebab wafatnya beliau adalah karena meminum minuman yang sebelumnya telah diberi racun.
C. GURU-GURU DAN PARA MURID BELIAU.
Imam al Razi mempelajari berbagai macam ilmu dari beberapa guru yang sangat beliau hormati. Guru pertama beliau adalah ayahnya sendiri yang bernama Dliyauddin Umar bin Husain Khatib al-ray. Dari keluasan ilmu yang dimiliki oleh imam al-Razi, kebanyakan dipelajari dari ayahnya, termasuk di antaranya ilmu ushul, ilmu Kalam dan dalam bermadzhab. Oleh karena itu beliau seringkali menyebut nama ayahnya dalam kitab tafsirnya. Setelah ayahnya wafat beliau berguru kepada imam al-Kamal as-Samanani. Selanjutnya mempelajari ilmu hikmah kepada al-Majd al-Jaily di Maraghah, dan mempelajari ilmu filsafat dari buku-bukunya Aristoteles, Aflaton, Ibnu Sina dan al-Farabi. Dari beberapa gurunya tersebut, imam al-Razi menguasai beberapa macam ilmu yang digolongkan dalam dua macam, pertama ilmu hikmah dan ilmu kalam, kedua, ilmu syari’at Islam[3].
Kedua macam ilmu itu ditekuni oleh imam al-Razi dengan mendalam sehingga beliau sangat menguasai keduanya. Berkaitan dengan ilmu kalam, beliau terhitung sebagai ulama ahli kalam yang paling terkenal dalam madzhab Asy’ari sehingga terdapat statemen bahwa ia hampir sama bahkan menyusul Imam Asy’ari dan Imam Syafi’i karena beliau sering menjawab beberapa permasalahan yang terdapat dalam ilmu kalam dan ilmu fiqh.
Tidak dapat diragukan bahwa imam al-Razi telah mengerahkan segenap keilmuan dan keluasan berfikirnya untuk beribadah kepada Allah dalam wujud beberapa karangan kitab dan kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib.
Adapun murid-murid imam al-Razi yang mengikuti jejak langkah beliau cukup banyak. Di antara mereka, yang paling terkenal adalah:
1. Ibrahim bin Aly bin Muhammad al-Quthbi as-Salmi yang terkenal dengan nama   al-Quthb al-Mishri.
2. Qadlil Qudlat Ahmad bin al-Khalil bin ‘Isa yang terkenal dengan nama Syamsuddin, Abul Abbas al-Hubi.
3. Abdul Hamid bin Isa bin ‘Umawiyyah bin Yunus bin Khalil al-Khasrawasyahi  yang terkenal dengan nama Syamsuddin.
4. Ibrahim bin Abi Bakr bin Ali al-Ashfihani.
5. Syarafuddin bin ‘Anin Abul Mahasin Muhammad bin Nashir bin Ghalib.
6. Zainuddin al-Kasy.
7. Tajuddin al-Armawi. Dan lain-lain.
D. SEKILAS KEHIDUPAN IMAM AL-RAZI
Setelah mempelajari berbagai macam ilmu, Imam al-Razi menetap di Khawarzam, kemudian karena kecenderungannya terhadap paham Mu’tazilah dan selalu mengadakan perdebatan-perdebatan di sana, beliau kembali ke tanah kelahirannya al Ray, dari sana beliau pergi menuju beberapa daerah dan mengadakan diskusi-diskusi dengan berbagai ulama, lalu untuk kedua kalinya beliau kembali ke al Ray. Imam al Razi adalah sosok yang lemah lembut dan santun dalam memberikan nasihat, ia meguasai dua bahasa, yaitu bahasa arab dan bahasa Persia.
Pada masa akhir kehidupannya, imam al-Razi hidup sebagai orang yang sufi, ia merasa menyesal telah tenggelam memperdalam ilmu kalam dan filsafat setelah menyadari bahwa kedua ilmu tersebut tidak bisa mendatangkan ketenangan hatinya. Setelah menjalani kehidupan sebagai seorang sufi, beliau berkonsentrasi menekuni ilmu-ilmu syari’at yang kemudian menjadi materi pada kebanyakan ceramahnya. Ia berpendapat bahwa akidah yang benar terdapat dalam kesufian dan ilmu syari’at tersebut.
Salah seorang peneliti mengatakan bahwa kehidupan sufi imam al Razi berawal dari pertemuannya dengan Syaikh Najmuddin al Kudsi, seorang tokoh sufi terbesar pada zamannya, meninggalnya beberapa putra beliau dalam usia yang masih muda dan surat yang dikirimkan oleh seorang tokoh sufi yang bernama Muhyiddin Ibnu Arabi yang berisikan kalimat “ janganlah anda mengungsikan seseorang dalam mencari ilmu, jangan menjauhkan akal dan jangan mengambil ilmu dari selain Allah”.
Ada beberapa hal yang membuktikan bahwa selanjutnya imam al Razi tidak menyibukkan diri dengan ilmu kalam, filsafat dan perbantahan.serta menegaskan akidah keislamannya dan selamatnya beliau dari isi beberapa kitab yang telah dikarangnya. Yaitu wasiat beliau yang sangat panjang di masa akhir hidupnya yang disampaikan kepada salah satu muridnya yang di antara isinya adalah; “ saya mengatakan bahwa agamaku mengikuti baginda para utusan dan pemimpin orang-orang yang awal dan yang akhir, menjauhi larangan Tuhan semesta alam, kitabku adalah al Quran al Karim dan tujuanku mencari ilmu adalah untuk menuju Allah SWT ”. Imam al Raazi menghiasi hidupnya dengan akidah yang menancap dan keimanan yang benar ini sampai menghembuskan napas yang terakhir.
E. PENDAPAT PARA ULAMA MENGENAI SOSOK IMAM AL RAZI
Di samping imam al Razi mendapat kepercayaan dan pujian dari beberapa ulama, beliau juga mendapat kecaman dan celaan dari beberapa ulama yang lain. Di antara ulama yang anti terhadapnya adalah al Hafidz adz Dzahaby yang mengatakan bahwa imam al Razi adalah sang pemikir yang sangat cerdas, tetapi sayangnya telah menyelewengkan beberapa permasalahan yang sifatnya substansial dalam agama. Lebih jauh, imam al Hafidz mengatakan bahwa salah satu karangan al Razi yang berjudul “As sirrul Maktum Fi Mukhatabatin Nujum” (rahasia yang tersembunyi dalam perbincangan bintang-bintang) adalah sebuah karya sihir.
Ash Shadafi menceritakan dari Ibnu Sayyidunnas dari Ibnu Jarir yang mengatakan “ pada suatu hari ia pergi ke daerah al Ray dan menemukan menantunya Fakhruddin al Razi telah berpaling dari sunah dan tenggelam dalam buku-buku Ibnu Sina dan Aristoteles. Sebagian ulama mengatakan bahwa al Razi adalah seorang Syaikh miskin yang kebingungan dalam beberapa madzhab jahiliyyah dan tidak memperoleh manfaat atas keagungan sosoknya.
Adapun ulama yang sangat mencintai al Razi dan memastikan bahwa ia tidak menyimpang dari syari’at juga cukup banyak. Di antara mereka adalah imam Muhyiddin Ibnu Arabi yang pada masa itu merupakan tokoh sufi terbesar. Lebih dari 106 ulama menganggap bahwa al Razi adalah orang yang telah mampu memberikan pembaharuan dan nuansa baru dalam agama. Maka tidak heran jika peranan dan posisi beliau yang menjadi panutan umat menumbuhkan sebuah kecemburuan dan rasa iri hati di kalangan orang yang tidak setuju atau antipati terhadapnya.
F. KITAB-KITAB KARYA IMAM AL RAZI
Kitab-kitab yang telah dikarang imam al Razi kurang lebih mencapai 134 kitab. Dari kesemua kitab-kitab tersebut ada yang sudah dicetak, ada yang masih dalam bentuk tulisan, dan ada yang masih tersimpan. Adapun di antara karangan-karangan beliau yang cukup penting adalah sebagai berikut:
1. Ikhtisharu Dalailil I’jaz
2. Asrarut Tanzil Wa Anwarut Ta’wil
3. I’tiqadatu Firaqil Muslimin Wal Musyrikin
4. Al Bayan Wal Burhan Fir Raddi ‘Ala Ahliz Zayghi Wath Thughyan
5. Tafsir Asmaul Husna
6. Tafsir Al Qur’an Al Kabir (mafatihul Ghaib)
8. At Tanbih ‘Ala Ba’dlil Asmail Muwadda’ati Fii Ba’dli Suwaril Qur’an
9. Ath Thariqatu Fil Jidali
10. Fadlailush Shahabat
11. Fi Ibthalil Qiyas
12. Jawami’ul Bayan Fi Syarhi Asmaillahil Husna Wash Shifat
13. Al Mahshul Fi ‘Ilmi Ushulil Fiqhi
14. Manaqibul Imam Asy Syafi’i
15. Nihayatul Ijazi Fi Dirayatil I’jaz
G. SEPUTAR KITAB TAFSIR AL RAZI
Kitab tafsi Mafatihul Ghaib merupakan karya imam al Razi yang paling penting dan bisa dikatakan sebagai sebuah karya yang berisi pengaruh pemikiran Islam terpenting. Dalam hal ini Ibnu Taymiyyah menilai bahwa kandungan isi kitab Mafatihul Ghaib menjelaskan segala sesuatu kecuali tentang tafsir itu sendiri. tetapi pendapat Ibnu Taymiyyah tadi dibantah oleh Imam as Subuki yang menegaskan bahwa kitab Mafatihul Ghaib menjelaskan tentang tafsir dan segala sesuatu.
Terdapat banyak perbedaan pendapat dan perbantahan mengenai kitab tafsir Mafatihul Ghaib ini, sebagian ulama berpendapat bahwa Imam al Razi belum sempat menyempurnakan kitab tafsirnya, ia menulis hanya sampai surat al-Anbiya’, dilanjutkan oleh muridnya Syihabuddin al-Khuli yang wafat pada tahun 636 H. tetapi tidak sampai selesai, lalu diteruskan dan disempurnakan oleh Najmuddin al-Qamuli yang wafat pada tahun 727 H. Alasan mereka yang meragukan bahwa imam al Raztelah menyempurnakan kitab tafsirnya adalah Terdapat beberapa hal yang kurang sempurna ketika mempelajari dan membaca seluruh kitab tersebut.
& Terkadang ada sebagian lafadz yang mengakibatkan timbulnya dugaan-dugaan atau kekurang jelasan seperti ungkapan al Razi “berkata mushannif “ atau “telah berkata al Imam Rahimahullah” dan lain-lain.
Namun demikian, pada kenyataannya imam al Razi telah menyempurnakan kitab Mafatihul Ghaib dari awal sampai akhir. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kitab tafsir Mafatihul Ghaib mendapatkan perhatian yang sangat besar dari para ulama. Hal tersebut terjadi karena Mafatihul Ghaib sangat berbeda dengan kitab tafsir yang lain dalam beberapa hal yang di antaranya adalah;
1. Pembahasan yang sangat luas
2. Penjelasan dengan mengacu pada berbagai disiplin ilmu[4]
Nilai kitab Mafatihul Ghaib ini terdapat pada segi keluasan dan cakupannya yang meliputi disiplin ilmu yang berbeda-beda, perlawanan isinya dengan beberapa golongan yang bermacam-macam, pembelaannya terhadap Islam dengan cara yang khusus serta argumentasi yang kuat, dan muatan-muatan yang sangat mendalam tentang ilmu bahasa, nahu, balaghah dan lain sebagainya dari ilmu-ilmu yang terkandung dalam nash al Qur’an. Maka wajarlah jika orang yang membaca kitab Mafatihul Ghaib akan tertegun dan tenggelam dalam penjelasan yang begitu luas dan mengandung sifat ilmiah.
Untuk kategori kitab tafsir bil ra’yi, kitab Mafatihul Ghaib ini merupakan kitab yang paling luas dan paling banyak cakupannya dibandingkan dengan kitab tafsir bil ra’yi yang lain. Bahkan pala Mufassir tafsir bil ra’yi sesudah masa Imam al Razi menjadikan kitab Mafatihul Ghaib sebagai rujukan dan contoh dalam karya-karya mereka.
H. PENGAMBILAN HUJJAH (ARGUMENTASI) IMAM AL RAZI DALAM TAFSIR BIL RAYI
Seseorang yang membaca kitab Mafatihul Ghaib dari awal sampai akhir akan menemukan banyak penjelasan tentang ilmu kalam, filsafat, ushul dan beberapa masalah khilafiyyah sehingga memunculkan dugaan bahwa hujjah-hujjah imam al Razi yang berupa Hasits Nabawiyyah berupa Hadits lemah dan maudlu’.
Menanggapi adanya dugaan semacam ini, perlu dicatat bahwa pengetahuan imam al Razi kepada ilmu Hadits cukup luas. Namun dal kitab tafsirnya ini ia lebih menekankan pada pengertian matan atai isi dari Hadits tersebut sehingga tidak jarang dalam penggunaan hujjah yang berupa Hadits ia tidak mengikut sertakan sanad. Dan ini bukan berarti bahwa Hadits itu lemah atau maudlu’. Sebagai contoh bisa kita lihat dala kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib, firman Allah surat al Baqarah ayat 187. Ia dalam argumentasinya banyak menggunakan Hadits Nabawi dan dalam penjelasannya lebih dahulu mengedepankan penjelasan tafsir bil ma’tsur kemudian menjelaskan hal lainya yang berkaitan dengan nash al Qur’an tersebut[5].
I. KESIMPULAN
Setelah sekilas dipaparkan tentang biografi dari Imam Fahruddin al Razi bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa walaupun ia berkecimpung pada pendalaman dunia filsafat dan ilmu kalam, namun karya tafsirnya kitab Mafatihul Ghaib tidak mengedepankan dua macam ilmu tersebut, bahkan tetap mengacu kepada apa yang sudah dijelaskan dalam Hadits Nabawiyyah. Pemikirannya lebih merupakan sebuah perluasan dari cakrawala pemikirannya.
Adalah suatu hal yang patut dibanggakan jika Imam Fakhruddin mampu meluaskan sesuatu yang terdapat dalam kandungan nash al Quran yang merupakan sumber dari segala ilmu. Kiranya, apa yang telah dilakukan beliau bisa menjadi sebuah lecutan semangat bagi kita untuk mengikuti jejaknya dalam menggali dan mencari misteri-misteri yang tersembunyi dan belum ditemukan dalam al Quran.



J. DAFTAR PUSTAKA
¯  Ayazi, Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al_islam, Teheran, cet I., 1993.
¯  Abdul Ghaffar Ahmad, At Tafsir Wan Nash. Darul Ma’rifat al-Jami’ah. Cet. Ke 1. 2002. hlm. 153
¯  Abdurrahman Muhammad Ibrahim Dr, At-Tafsir an-Nabawi Lil Qur’an al-Karim Wa Mauqipul Mufassirina Minhu, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah 1415 H/1995 M. hlm. 104
¯  Source : http://zhamexsa.blogspot.com/2010/04/imam-fakhruddin-al-razi.html


[1] Abdurrahman Muhammad Ibrahim Dr, At-Tafsir an-Nabawi Lil Qur’an al-Karim Wa Mauqipul Mufassirina Minhu, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah 1415 H/1995 M. hlm. 104
[2] Ayazi, Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq al_islam, Teheran, cet I., 1993.
[3] Abdul Ghaffar Ahmad, At Tafsir Wan Nash. Darul Ma’rifat al-Jami’ah. Cet. Ke 1. 2002. hlm. 153
[4] http://zhamexsa.blogspot.com/2010/04/imam-fakhruddin-al-razi.html
[5] Abdurrahman Muhammad Ibrahim Dr, At-Tafsir an-Nabawi Lil Qur’an al-Karim Wa Mauqipul Mufassirina Minhu, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah 1415 H/1995 M. hlm. 104

Tidak ada komentar:

Posting Komentar