A. PENDAHULUAN
Dari berbagai disiplin ilmu agama Islam, ilmu tafsir
merupakan salah satu bidang keilmuan yang cukup penting dan membutuhkan
perhatian khusus. Karena itu, tidak sembarang orang boleh menafsirkan al Quran,
melainkan harus memenuhi beberapa syarat, misalnya, menurut Imam Thabari
(Tafsir At-Thabari) ada tiga:
1. orang itu mempunyai akidah yang sehat (benar)
2. memahami perkataan para sahabat tentang tafsir al
Quran.
3. mengetahui perkembangan bahasa arab.[1]
Sedangkan Imam Suyuti berpendapat,
syarat seorang penafsir al Qur`an setidak-tidaknya adalah:
1. Paham makna mufrodat lughah,
2. Ilmu nahwu,
3. ilmu Sorof,
4. I'rob,
5. Ma'ani,
6. Badi'
7. Nasikh Mansukh
8. Asbabunnuzul
9. Penafsiran para ulama terdahulu
10. Mengetahui mana-mana yang
disepakati dan yang tidak, dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan tokoh-tokoh
mufassir yang sudah ada, dalam makalah sederhana ini saya mencoba mengangkat
salah satu tokoh yang dikenal dengan nama Imam Fakhruddin al Razi yang pada
masanya, bahkan sampai saat ini masih diperdebatkan kapasitas dan
kapabilitasnya sebagai seorang mufassir. Tetapi di luar hal tersebut, karya
tafsirnya yang berjudul Mafatihul Ghaib banyak mendapat perhatian dan disebut
sebagai sebuah karya yang fenomenal karena kandungan isinya yang berbeda dengan
kitab-kitab tafsir yang lain.
Ketertarikan penulis untuk
mengangkat Imam Fakhruddin al Razi ini juga berangkat dari karya tafsirnya yang
diklasifikasikan sebagai tafsir Bil Ra’yi, sebuah tafsir yang di dalamnya
terdapat beberapa pemikiran dan hal-hal baru yang tentunya tidak disebutkan
dalam golongan kitab tafsir yang lain.
Setelah mengamati biografi tokoh
ini, penulis berharap adanya sebuah pengetahuan lebih dan mendalam tentang
seluk beluk dan fakta yang benar dari sebuah tafsir yang dikategorikan Bil
Ra’yi serta sekaligus bisa mengambil kesimpulan positif dari karya tersebut.
B. BIOGRAFI IMAM AL RAZI
Nama asli beliau adalah Muhammad
bin Umar bin Husain bin Ali al-Qursy ath-Thabarsatani al-Ashli, al-Razi
al-Maulidi, asy-Syafi’i al-Qursyi dari keturunan Abu Bakar ash-Shiddiq
radliyallahu ‘anhu. Pada masanya beliau mendapat julukan al-Imam sehingga
julukan tersebut melekat padanya, tetapi sebenarnya julukan al Razi bukan
al-Imam saja, beliau juga mendapat julukan Syaikhul Islam, Fakhruddin dan lain
sebagainya. Imam al Razi mempunyai banyak gelar, yang paling terkenal di
antaranya adalah Ibnu Khatib, Ibnu Khatib al-Ray, Abi Abdillah, Abil Fadl, Abil
Ma’ali[2].
Tetapi dalam statusnya sebagai
mufassir, beliau sangat terkenal dengan nama Fakhruddin al Razi atau Fakhrur
Razi. Imam al-Razi
dilahirkan pada tahun 544 H. di kota al-Ray, wafat pada tahun 606 H di kota
Harah . Menurut satu pendapat, wafatnya beliau disebabkan sikap permusuhan dari
golongan al-Karramiyyah yang menuduh Imam ar Razi sebagai orang kafir dan telah
melakukan dosa besar. Pendapat lain menyebutkan bahwa sebab wafatnya beliau
adalah karena meminum minuman yang sebelumnya telah diberi racun.
C. GURU-GURU DAN PARA MURID BELIAU.
Imam al Razi mempelajari berbagai
macam ilmu dari beberapa guru yang sangat beliau hormati. Guru pertama beliau
adalah ayahnya sendiri yang bernama Dliyauddin Umar bin Husain Khatib al-ray.
Dari keluasan ilmu yang dimiliki oleh imam al-Razi, kebanyakan dipelajari dari
ayahnya, termasuk di antaranya ilmu ushul, ilmu Kalam dan dalam bermadzhab.
Oleh karena itu beliau seringkali menyebut nama ayahnya dalam kitab tafsirnya.
Setelah ayahnya wafat beliau berguru kepada imam al-Kamal as-Samanani.
Selanjutnya mempelajari ilmu hikmah kepada al-Majd al-Jaily di Maraghah, dan
mempelajari ilmu filsafat dari buku-bukunya Aristoteles, Aflaton, Ibnu Sina dan
al-Farabi. Dari beberapa
gurunya tersebut, imam al-Razi menguasai beberapa macam ilmu yang digolongkan
dalam dua macam, pertama ilmu hikmah dan ilmu kalam, kedua, ilmu syari’at Islam[3].
Kedua macam ilmu itu ditekuni oleh
imam al-Razi dengan mendalam sehingga beliau sangat menguasai keduanya.
Berkaitan dengan ilmu kalam, beliau terhitung sebagai ulama ahli kalam yang
paling terkenal dalam madzhab Asy’ari sehingga terdapat statemen bahwa ia
hampir sama bahkan menyusul Imam Asy’ari dan Imam Syafi’i karena beliau sering
menjawab beberapa permasalahan yang terdapat dalam ilmu kalam dan ilmu fiqh.
Tidak dapat diragukan bahwa imam
al-Razi telah mengerahkan segenap keilmuan dan keluasan berfikirnya untuk
beribadah kepada Allah dalam wujud beberapa karangan kitab dan kitab tafsirnya
Mafatihul Ghaib.
Adapun murid-murid imam al-Razi
yang mengikuti jejak langkah beliau cukup banyak. Di antara mereka, yang paling
terkenal adalah:
1. Ibrahim bin
Aly bin Muhammad al-Quthbi as-Salmi yang terkenal dengan nama al-Quthb al-Mishri.
2. Qadlil
Qudlat Ahmad bin al-Khalil bin ‘Isa yang terkenal dengan nama Syamsuddin, Abul
Abbas al-Hubi.
3. Abdul Hamid
bin Isa bin ‘Umawiyyah bin Yunus bin Khalil al-Khasrawasyahi yang terkenal dengan nama Syamsuddin.
4. Ibrahim bin
Abi Bakr bin Ali al-Ashfihani.
5. Syarafuddin
bin ‘Anin Abul Mahasin Muhammad bin Nashir bin Ghalib.
6. Zainuddin
al-Kasy.
7. Tajuddin
al-Armawi. Dan lain-lain.
D. SEKILAS KEHIDUPAN IMAM AL-RAZI
Setelah mempelajari berbagai macam
ilmu, Imam al-Razi menetap di Khawarzam, kemudian karena kecenderungannya
terhadap paham Mu’tazilah dan selalu mengadakan perdebatan-perdebatan di sana,
beliau kembali ke tanah kelahirannya al Ray, dari sana beliau pergi menuju
beberapa daerah dan mengadakan diskusi-diskusi dengan berbagai ulama, lalu
untuk kedua kalinya beliau kembali ke al Ray. Imam al Razi adalah sosok yang
lemah lembut dan santun dalam memberikan nasihat, ia meguasai dua bahasa, yaitu
bahasa arab dan bahasa Persia.
Pada masa akhir kehidupannya, imam
al-Razi hidup sebagai orang yang sufi, ia merasa menyesal telah tenggelam
memperdalam ilmu kalam dan filsafat setelah menyadari bahwa kedua ilmu tersebut
tidak bisa mendatangkan ketenangan hatinya. Setelah menjalani kehidupan sebagai
seorang sufi, beliau berkonsentrasi menekuni ilmu-ilmu syari’at yang kemudian
menjadi materi pada kebanyakan ceramahnya. Ia berpendapat bahwa akidah yang
benar terdapat dalam kesufian dan ilmu syari’at tersebut.
Salah seorang peneliti mengatakan bahwa kehidupan sufi imam al Razi berawal dari pertemuannya dengan Syaikh Najmuddin al Kudsi, seorang tokoh sufi terbesar pada zamannya, meninggalnya beberapa putra beliau dalam usia yang masih muda dan surat yang dikirimkan oleh seorang tokoh sufi yang bernama Muhyiddin Ibnu Arabi yang berisikan kalimat “ janganlah anda mengungsikan seseorang dalam mencari ilmu, jangan menjauhkan akal dan jangan mengambil ilmu dari selain Allah”.
Salah seorang peneliti mengatakan bahwa kehidupan sufi imam al Razi berawal dari pertemuannya dengan Syaikh Najmuddin al Kudsi, seorang tokoh sufi terbesar pada zamannya, meninggalnya beberapa putra beliau dalam usia yang masih muda dan surat yang dikirimkan oleh seorang tokoh sufi yang bernama Muhyiddin Ibnu Arabi yang berisikan kalimat “ janganlah anda mengungsikan seseorang dalam mencari ilmu, jangan menjauhkan akal dan jangan mengambil ilmu dari selain Allah”.
Ada beberapa hal yang membuktikan
bahwa selanjutnya imam al Razi tidak menyibukkan diri dengan ilmu kalam,
filsafat dan perbantahan.serta menegaskan akidah keislamannya dan selamatnya
beliau dari isi beberapa kitab yang telah dikarangnya. Yaitu wasiat beliau yang
sangat panjang di masa akhir hidupnya yang disampaikan kepada salah satu
muridnya yang di antara isinya adalah; “ saya mengatakan bahwa agamaku
mengikuti baginda para utusan dan pemimpin orang-orang yang awal dan yang
akhir, menjauhi larangan Tuhan semesta alam, kitabku adalah al Quran al Karim
dan tujuanku mencari ilmu adalah untuk menuju Allah SWT ”. Imam al Raazi
menghiasi hidupnya dengan akidah yang menancap dan keimanan yang benar ini
sampai menghembuskan napas yang terakhir.
E. PENDAPAT PARA ULAMA MENGENAI SOSOK IMAM
AL RAZI
Di samping imam al Razi mendapat
kepercayaan dan pujian dari beberapa ulama, beliau juga mendapat kecaman dan
celaan dari beberapa ulama yang lain. Di antara ulama yang anti terhadapnya
adalah al Hafidz adz Dzahaby yang mengatakan bahwa imam al Razi adalah sang
pemikir yang sangat cerdas, tetapi sayangnya telah menyelewengkan beberapa
permasalahan yang sifatnya substansial dalam agama. Lebih jauh, imam al Hafidz
mengatakan bahwa salah satu karangan al Razi yang berjudul “As sirrul Maktum Fi
Mukhatabatin Nujum” (rahasia yang tersembunyi dalam perbincangan
bintang-bintang) adalah sebuah karya sihir.
Ash Shadafi menceritakan dari Ibnu
Sayyidunnas dari Ibnu Jarir yang mengatakan “ pada suatu hari ia pergi ke
daerah al Ray dan menemukan menantunya Fakhruddin al Razi telah berpaling dari
sunah dan tenggelam dalam buku-buku Ibnu Sina dan Aristoteles. Sebagian ulama
mengatakan bahwa al Razi adalah seorang Syaikh miskin yang kebingungan dalam
beberapa madzhab jahiliyyah dan tidak memperoleh manfaat atas keagungan
sosoknya.
Adapun ulama yang sangat mencintai
al Razi dan memastikan bahwa ia tidak menyimpang dari syari’at juga cukup
banyak. Di antara mereka adalah imam Muhyiddin Ibnu Arabi yang pada masa itu
merupakan tokoh sufi terbesar. Lebih dari 106 ulama menganggap bahwa al Razi
adalah orang yang telah mampu memberikan pembaharuan dan nuansa baru dalam
agama. Maka tidak heran jika peranan dan posisi beliau yang menjadi panutan
umat menumbuhkan sebuah kecemburuan dan rasa iri hati di kalangan orang yang
tidak setuju atau antipati terhadapnya.
F. KITAB-KITAB KARYA IMAM AL RAZI
Kitab-kitab yang telah dikarang
imam al Razi kurang lebih mencapai 134 kitab. Dari kesemua kitab-kitab tersebut
ada yang sudah dicetak, ada yang masih dalam bentuk tulisan, dan ada yang masih
tersimpan. Adapun di antara karangan-karangan beliau yang cukup penting adalah
sebagai berikut:
1. Ikhtisharu Dalailil I’jaz
2. Asrarut Tanzil Wa Anwarut Ta’wil
3. I’tiqadatu Firaqil Muslimin Wal
Musyrikin
4. Al Bayan Wal Burhan Fir Raddi
‘Ala Ahliz Zayghi Wath Thughyan
5. Tafsir Asmaul Husna
6. Tafsir Al Qur’an Al Kabir
(mafatihul Ghaib)
8. At Tanbih ‘Ala Ba’dlil Asmail
Muwadda’ati Fii Ba’dli Suwaril Qur’an
9. Ath Thariqatu Fil Jidali
10. Fadlailush Shahabat
11. Fi Ibthalil Qiyas
12. Jawami’ul Bayan Fi Syarhi
Asmaillahil Husna Wash Shifat
13. Al Mahshul Fi ‘Ilmi Ushulil
Fiqhi
14. Manaqibul Imam Asy Syafi’i
15. Nihayatul Ijazi Fi Dirayatil
I’jaz
G. SEPUTAR KITAB TAFSIR AL RAZI
Kitab tafsi Mafatihul Ghaib
merupakan karya imam al Razi yang paling penting dan bisa dikatakan sebagai
sebuah karya yang berisi pengaruh pemikiran Islam terpenting. Dalam hal ini
Ibnu Taymiyyah menilai bahwa kandungan isi kitab Mafatihul Ghaib menjelaskan
segala sesuatu kecuali tentang tafsir itu sendiri. tetapi pendapat Ibnu
Taymiyyah tadi dibantah oleh Imam as Subuki yang menegaskan bahwa kitab
Mafatihul Ghaib menjelaskan tentang tafsir dan segala sesuatu.
Terdapat banyak perbedaan pendapat dan perbantahan mengenai kitab tafsir Mafatihul Ghaib ini, sebagian ulama berpendapat bahwa Imam al Razi belum sempat menyempurnakan kitab tafsirnya, ia menulis hanya sampai surat al-Anbiya’, dilanjutkan oleh muridnya Syihabuddin al-Khuli yang wafat pada tahun 636 H. tetapi tidak sampai selesai, lalu diteruskan dan disempurnakan oleh Najmuddin al-Qamuli yang wafat pada tahun 727 H. Alasan mereka yang meragukan bahwa imam al Raztelah menyempurnakan kitab tafsirnya adalah Terdapat beberapa hal yang kurang sempurna ketika mempelajari dan membaca seluruh kitab tersebut.& Terkadang ada sebagian lafadz yang mengakibatkan timbulnya dugaan-dugaan atau kekurang jelasan seperti ungkapan al Razi “berkata mushannif “ atau “telah berkata al Imam Rahimahullah” dan lain-lain.
Terdapat banyak perbedaan pendapat dan perbantahan mengenai kitab tafsir Mafatihul Ghaib ini, sebagian ulama berpendapat bahwa Imam al Razi belum sempat menyempurnakan kitab tafsirnya, ia menulis hanya sampai surat al-Anbiya’, dilanjutkan oleh muridnya Syihabuddin al-Khuli yang wafat pada tahun 636 H. tetapi tidak sampai selesai, lalu diteruskan dan disempurnakan oleh Najmuddin al-Qamuli yang wafat pada tahun 727 H. Alasan mereka yang meragukan bahwa imam al Raztelah menyempurnakan kitab tafsirnya adalah Terdapat beberapa hal yang kurang sempurna ketika mempelajari dan membaca seluruh kitab tersebut.& Terkadang ada sebagian lafadz yang mengakibatkan timbulnya dugaan-dugaan atau kekurang jelasan seperti ungkapan al Razi “berkata mushannif “ atau “telah berkata al Imam Rahimahullah” dan lain-lain.
Namun demikian, pada kenyataannya
imam al Razi telah menyempurnakan kitab Mafatihul Ghaib dari awal sampai akhir. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas,
kitab tafsir Mafatihul Ghaib mendapatkan perhatian yang sangat besar dari para
ulama. Hal tersebut terjadi karena Mafatihul Ghaib sangat berbeda dengan kitab
tafsir yang lain dalam beberapa hal yang di antaranya adalah;
1. Pembahasan yang sangat luas
2. Penjelasan dengan mengacu pada
berbagai disiplin ilmu[4]
Nilai kitab Mafatihul Ghaib ini
terdapat pada segi keluasan dan cakupannya yang meliputi disiplin ilmu yang
berbeda-beda, perlawanan isinya dengan beberapa golongan yang bermacam-macam,
pembelaannya terhadap Islam dengan cara yang khusus serta argumentasi yang
kuat, dan muatan-muatan yang sangat mendalam tentang ilmu bahasa, nahu,
balaghah dan lain sebagainya dari ilmu-ilmu yang terkandung dalam nash al
Qur’an. Maka wajarlah jika orang yang membaca kitab Mafatihul Ghaib akan
tertegun dan tenggelam dalam penjelasan yang begitu luas dan mengandung sifat ilmiah.
Untuk kategori kitab tafsir bil
ra’yi, kitab Mafatihul Ghaib ini merupakan kitab yang paling luas dan paling
banyak cakupannya dibandingkan dengan kitab tafsir bil ra’yi yang lain. Bahkan
pala Mufassir tafsir bil ra’yi sesudah masa Imam al Razi menjadikan kitab
Mafatihul Ghaib sebagai rujukan dan contoh dalam karya-karya mereka.
H. PENGAMBILAN
HUJJAH (ARGUMENTASI) IMAM AL RAZI DALAM TAFSIR BIL RAYI
Seseorang yang membaca kitab
Mafatihul Ghaib dari awal sampai akhir akan menemukan banyak penjelasan tentang
ilmu kalam, filsafat, ushul dan beberapa masalah khilafiyyah sehingga
memunculkan dugaan bahwa hujjah-hujjah imam al Razi yang berupa Hasits
Nabawiyyah berupa Hadits lemah dan maudlu’.
Menanggapi adanya dugaan semacam ini, perlu dicatat bahwa pengetahuan imam al Razi kepada ilmu Hadits cukup luas. Namun dal kitab tafsirnya ini ia lebih menekankan pada pengertian matan atai isi dari Hadits tersebut sehingga tidak jarang dalam penggunaan hujjah yang berupa Hadits ia tidak mengikut sertakan sanad. Dan ini bukan berarti bahwa Hadits itu lemah atau maudlu’. Sebagai contoh bisa kita lihat dala kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib, firman Allah surat al Baqarah ayat 187. Ia dalam argumentasinya banyak menggunakan Hadits Nabawi dan dalam penjelasannya lebih dahulu mengedepankan penjelasan tafsir bil ma’tsur kemudian menjelaskan hal lainya yang berkaitan dengan nash al Qur’an tersebut[5].
Menanggapi adanya dugaan semacam ini, perlu dicatat bahwa pengetahuan imam al Razi kepada ilmu Hadits cukup luas. Namun dal kitab tafsirnya ini ia lebih menekankan pada pengertian matan atai isi dari Hadits tersebut sehingga tidak jarang dalam penggunaan hujjah yang berupa Hadits ia tidak mengikut sertakan sanad. Dan ini bukan berarti bahwa Hadits itu lemah atau maudlu’. Sebagai contoh bisa kita lihat dala kitab tafsirnya Mafatihul Ghaib, firman Allah surat al Baqarah ayat 187. Ia dalam argumentasinya banyak menggunakan Hadits Nabawi dan dalam penjelasannya lebih dahulu mengedepankan penjelasan tafsir bil ma’tsur kemudian menjelaskan hal lainya yang berkaitan dengan nash al Qur’an tersebut[5].
I. KESIMPULAN
Setelah sekilas dipaparkan tentang
biografi dari Imam Fahruddin al Razi bisa ditarik sebuah kesimpulan bahwa
walaupun ia berkecimpung pada pendalaman dunia filsafat dan ilmu kalam, namun
karya tafsirnya kitab Mafatihul Ghaib tidak mengedepankan dua macam ilmu
tersebut, bahkan tetap mengacu kepada apa yang sudah dijelaskan dalam Hadits
Nabawiyyah. Pemikirannya lebih merupakan sebuah perluasan dari cakrawala
pemikirannya.
Adalah suatu hal yang patut
dibanggakan jika Imam Fakhruddin mampu meluaskan sesuatu yang terdapat dalam
kandungan nash al Quran yang merupakan sumber dari segala ilmu. Kiranya, apa
yang telah dilakukan beliau bisa menjadi sebuah lecutan semangat bagi kita
untuk mengikuti jejaknya dalam menggali dan mencari misteri-misteri yang
tersembunyi dan belum ditemukan dalam al Quran.
J. DAFTAR PUSTAKA
¯ Ayazi, Sayyid Muhammad
Ali, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, Wizanah al-Tsiqafah wa al-Insyaq
al_islam, Teheran, cet I., 1993.
¯ Abdul Ghaffar Ahmad, At
Tafsir Wan Nash. Darul Ma’rifat al-Jami’ah. Cet. Ke 1. 2002. hlm. 153
¯ Abdurrahman Muhammad
Ibrahim Dr, At-Tafsir an-Nabawi Lil Qur’an al-Karim Wa Mauqipul Mufassirina
Minhu, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah 1415 H/1995 M. hlm. 104
¯ Source : http://zhamexsa.blogspot.com/2010/04/imam-fakhruddin-al-razi.html
[1] Abdurrahman Muhammad Ibrahim Dr, At-Tafsir an-Nabawi Lil Qur’an
al-Karim Wa Mauqipul Mufassirina Minhu, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah 1415
H/1995 M. hlm. 104
[2] Ayazi,
Sayyid Muhammad Ali, Al-Mufassirun Hayatun wa Manhajuhum, Wizanah al-Tsiqafah
wa al-Insyaq al_islam, Teheran, cet I., 1993.
[5] Abdurrahman Muhammad
Ibrahim Dr, At-Tafsir an-Nabawi Lil Qur’an al-Karim Wa Mauqipul Mufassirina
Minhu, Maktabah Ats-Tsaqafah Ad-Diniyyah 1415 H/1995 M. hlm. 104
Tidak ada komentar:
Posting Komentar