Jalaluddin al-Mahalli bernama lengkap Muhammad bin Ahmad
bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Imam al-Allamah Jalaluddin al-Mahalli.
Lahir pada tahun 791 H/1389 M di Kairo, Mesir. Ia lebih dikenal dengan sebutan
al-Mahalli yang dinisbahkan pada kampung kelahirannya. Lokasinya terletak di
sebelah barat Kairo, tak jauh dari sungai Nil.
Sejak kecil tanda-tanda kecerdasan sudah mencorong pada
diri Mahalli. Ia ulet menyadap aneka ilmu, misalnya tafsir, ushul fikih,
teologi, fikih, nahwu dan logika. Mayoritas ilmu tersebut dipelajarinya secara
otodidak, hanya sebagian kecil yang diserap dari ulama-ulama salaf pada
masanya, seperti al-Badri Muhammad bin al-Aqsari, Burhan al-Baijuri, A’la
al-Bukhari dan Syamsuddin bin al-Bisati. Al-Mahalli wafat pada awal tahun 864 H
bertepatan dengan tahun 1455 M.
Riwayat hidup al-Mahalli tak terdokumentasi secara
rinci. Hal ini disebabkan ia hidup pada masa kemunduran dunia Islam. Lagi pula
ia tak memiliki banyak murid, sehingga segala aktivitasnya tidak terekam dengan
jelas. Walau begitu, al-mahalli dikenal sebagai orang yang berkepribadian mulia
dan hidup sangat pas-pasan, untuk tidak dikatakan miskin. Guna memnuhi
kebutuhan sehari-hari, ia bekerja sebagai pedagang. Meski demikian kondisi
tersebut tidak mengendurkan tekadnya untuk terus mengais ilmu. Tak mengherankan
jika ia mempunyai banyak karangan yang salah satunya adalah Tafsir al-Qur’an
al-’Adzim yang lebih dikenal dengan nama Tafsir Jalalain tetapi belum sempurna.
2. Jalaluddin Al-Suyuthi
Al-Suyuthi bernama lengkap Abu al-fadhl Abdurrahman bin
Abi Bakr bin Muhammad al-Suyuthi al-Syafi’i. Beliau dilahirkan pada bulan Rajab
tahun 849 H dan ayahnya meninggal saat beliau berusia lima tahun tujuh bulan.
Beliau sudah hafal al-Qur’an di luar kepala pada usia delapan tahun dan mampu
menghafal banyak hadis. Beliau juga mempunyai guru yang sangat banyak. Di mana
menurut perhitungan muridnya, al-Dawudi, mencapai 51 orang. Demikian juga
karangan beliau yang mencapai 500 karangan. Beliau meninggal pada malam Jum’at
19 Jumadil Awal 911 H di rumahnya.
Beliau juga sebagai murid dari Jalaluddin al-Mahalli.
Sebagai murid yang pandai Al-Suyuthi-lah yang menyempurnakan “proyek” gurunnya.
Pada mulanya beliau tidak berminat menulis tafsir ini, tetapi demi memelihara
diri dari apa yang telah disebutkan oleh firman-Nya:
`tBur c%x. Îû
ÿ¾ÍnÉ»yd 4yJôãr& uqßgsù
Îû ÍotÅzFy$# 4yJôãr& @|Êr&ur WxÎ6y ÇÐËÈ
Artinya : dan barang siapa yang
buta hatinya didunia ini, niscaya diakhirat nanti ia akan lebih buta dan lebih
tersesat dari jalan yang benar. (Qs, al-Isra’ :72)
Maka dari itu beliau menulis kitab tafsir jalalain,
kitab ini selesai ditulis pada hari Ahad, tanggal 10 Syawal 870 Hijriah,
Penulisannya di mulai pada hari rabo, awal ramadhan dalam tahun yang sama,
kemudian konsep jadinya diselesaikan pada hari Rabu 8 Safar 871 Hijriah.
3. Bentuk,
Metode dan Corak Tafsir Jalalain
Istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam
kitab-kitab ‘ulum al-Qur’an (ilmu tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan
sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya.
Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab-kitab klasik semisal al-Burhan fi
‘Ulum al-Qur’an karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an karya
al-Suyuthi, dan lain-lain tidak dijumpai term tersebut.
Namun menurut Nashruddin Baidan, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang diterapkan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikerucutkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y.
Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra’y. Karena dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir (meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan penggalan ayat berikut ini:
Namun menurut Nashruddin Baidan, dapat disimpulkan bahwa penafsiran yang diterapkan olah para mufasir sejak pada masa Nabi sampai dewasa ini dapat dikerucutkan menjadi dua macam, yakni tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’y.
Tafsir Jalalain merupakan tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ra’y. Karena dalam menafsirkan ayat demi ayat menggunakan hasil pemikiran atau ijtihad para mufasir (meskipun tidak menafikan riwayat). Sebagai contoh ketika al-Jalalain menafsirkan penggalan ayat berikut ini:
(ولا تتبدلواالخبيث) الحرام
(بالطيب) الحلال أى تأخذوه بدله كما تفعلون من أخذ الجيد من
مال اليتيم وجعل الردئ من مالكم مكانه.
Di sini kelihatan dengan jelas bahwa ketika menafsirkan
penggalan ayat tersebut al-Suyuthi murni menggunakan pemikirannya tanpa
menyebut riwayat. Jika kita bandingkan dengan tafsir Ibnu katsir berikut ini,
akan lebih jelas perbedaannya.
(ولا تتبدلواالخبيث
بالطيب) قال سفيان الثورى عن أبى صالح :لا تعجل بالرزق الحرام قبل أن
يأتيك الرزق الحلال الذى قدر لك وقال سعيد بن جبير:لا تتبدلواالحرام
من أموال الناس بالحلال من أموالكم,يقول :لاتبدلوا أموالكم الحلال وتأكلوا
أموالهم الحرامز.وقال سعيد بن المسيب والزهرى:ولا تعط مهزولا ولا
تأخذ سمينا. وقال إبراهيم والنخعى والضحاك:لا تعط زيفا وتأخذ جيدا.وقال
السدى: كان أحدهم يأخذ الشاة السمينة من غنم اليتيم, ويجعل مكانها الشاة
المهزولة ويقول: شاة بشاة, ويأخذ الدرهم الجيد ويطرح مكانه الزيف ويقول
درهم بدرهم
Di sini Ibnu Katsir menggunakan bentuk bi al-ma’tsur.
Beliau ketika menafsirkan penggalan ayat tersebut langsung merujuk riwayat dari
al-Tsauri, Sa’id bin Jubair, Sa’id bin al-Musayyab dan lain-lain. Sehingga
seakan-akan beliau tidak punya pendapat sendiri tentang hal tersebut.
Hal inilah yang membedakan antara bentuk bi al-ma’tsur
dengan bentuk bi al-ra’y. Tafsir yang menggunakan bentuk bi al-ma’tsur sangat
tergantung dengan riwayat. Tafsir ini akan tetap ada selama riwayat masih ada.
Berbeda dengan tafsir bi al-ra’y yang akan selalu berkembang dengan
perkembangan zaman.
Adapun mengenai
metode yang digunakan tafsir Jalalain menggunakan metode Ijmali (global).
Sebagaimana diungkapkan oleh al-Suyuthi bahwa beliau menafsirkan sesuai dengan
metode yang dipakai oleh al-Mahalli yakni berangkat dari qoul yang kuat, I’rab
lafadz yang dibutuhkan saja, perhatian terhadap Qiraat yang berbeda dengan
ungkapan yang simpel dan padat serta meninggalkan ungkapan-ungkapan
bertele-tele dan tidak perlu.
Mufasir yang menggunakan metode ini biasanya menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an secara ringkas dengan bahasa populer dan mudah dimengerti.
Ia akan menafsirkan al-Qur’an secara sistematis dari awal hingga akhir. Di
samping itu, penyajiannya diupayakan tidak terlalu jauh dari gaya (uslub)
bahasa al-Qur’an, sehingga penbengar dan pembacanya seakan-akan masih tetap
mendengar al-Qur’an, padahal yang didengarnya adalah tafsirnya.
Berbeda dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir
sebagaimana terlihat dalam contoh. Dari contoh tersebut Ibnu Katsir menggunakan
metode Tahlili (analitis). Perbedaannya terletak pada terget yang ingin
dicapai. Jika yang diinginkan adalah hanya untuk mengetahui makna kosa kata,
tidak memerlukan uraian yang luas, maka cukup menggunakan metode Ijmali seperti
Tafsir Jalalain. Tetapi jika target yang ingin dicapai adalah suatu penafsiran
yang luas tetapi tidak menuntaskan pemahaman yang terkandung dalam ayat secara
komprehensif, maka metode yang cocok adalah metode Tahlili (analitis),
sebagaimana tafsirnya Ibnu Katsir.
Corak penafsiran ialah suatu warna, arah, atau
kecenderungan pemikiran atau ide tertentu yang mendominasi sebuah karya tafsir.
Jadi kata kuncinya adalah terletak pada dominan atau tidaknya sebuah pemikiran
ide tersebut. Bila sebuah kitab tafsir mengandung banyak corak (minimal tiga
corak) dan kesemuanya tidak ada yang dominan karena porsinya sama, maka inilah
yang disebut corak umum.
Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya. Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kandungan maknanya.
Adapun tafsir Jalalain karena uraiannya sangat singkat dan padat dan tidak tampak gagasan ide-ide atau konsep-konsep yang menonjol dari mufasirnya, maka jelas sekali sulit untuk memberikan label pemikiran tertentu terhadap coraknya. Karena itu pemakaian corak umum baginya terasa sudah tepat kerena memang begitulah yang dijumpai dalam tafsiran yang diberikan dalam kitab tersebut. Itu artinya bahwa dalam tafsirnya tidak didominasi oleh pemikiran-pemikiran tertentu melainkan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan kandungan maknanya.
4. Karakteristik
Tafsir Jalalain
Kitab ini terbagi atas dua juz. Juz yang pertama berisi
tafsir surat al-Baqarah sampai surat al-Isra’ yang disusun oleh Jalaluddin
al-Suyuthi, sedangkan juz yang kedua berisi tafsir surat al-Kahfi sampai surat
al-Naas ditambah dengan tafsir surat al-Fatihah yang disusun oleh Jalaluddin
al-Mahalli.
Untuk
mengetahui karakteristik tafsir ini perlu diperbandingkan dengan tafsir lain
yang bercorak sama. Berikut disuguhkan perbandingan dengan Tafsir Marah Labid
karya Nawawi al-Bantani dan juga Tafsir al-Baidhowi karya Imam Baidhowi.
• (وما يخادعون إلا
أنفسهم) لأن وبال خداعهم راجع اليهم فيفتضحون فى الدنيا باطلاع
الله نبيه على ما ابطنوه ويعاقبون فى الأخرة (وما يشعرون)
يعلمون أن خداعهم لأنفسهم والمخادعة هنا من واحد كعاقبت اللص
وذكر الله فيها تحسين وفى قرأة وما يخدعون
• (وما يخدعون) أى يكذبون (إلا أنفسهم) وهذه الجملة حال من ضمير يخادعون أى يفعلون ذلك والحال أنهم ما يضرون بذلك الا أنفسهم فان دائرة فعلهم مقصورة عليهم وقرأ عاصم وابن عمر وحمزة والكسائ وما يخدعون بفتح الياء وسكون الخاء وفتح الدال وقرأ الباقون بضم الياء وفتح الخاء مع المد وكسرالدال ولا خلاف فى قوله يخادعون الله فالجميع قرأ بضم الياء وفتح الخاء وبالألف بعدها وكسرالدال وأما الرسم فبغير ألف فى الموضعين (وما يشعرون) أن الله يطلع نبيه على كذبهم
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) قرأة نافع وابن كثير وأبى عمر والمعنى ان دائرة الخداع راجعة اليهم وضررها يحيق بهم أو أنهم فى ذلك خدعوا أنفسهم لما غروها بذلك وخدعتهم أنفسهم حيث حدثتهم بالأماني الفازعة وحملتهم على مخادعة من لا يخفى عليه خافية وقرأ الباقون وما يخدعون لان المخادعة لا تتصور الا بين اثنين وقرئ ويخدعون من خدع ويخدعون بمعنى يختدعون ويخدعون ويخادعون على البناء للمفعول ونصب أنفسهم بنزع الخافض والنفس ذات الشيء وحقيقة ثم قيل للروح لان النفس الحي به وللقلب لانه محل الروح أو متعلقة وللدم لان قوامها به وللماء لفرط حاجتيا اليه وللرأى فى قولهم فلان يؤامر نفسه لانه ينبعث عنها أو يشبه ذاتا مرة وتشير عليه والمراد بالانفس ههنا ذواتهم ويحتمل حملها على أرواحهم وآرائهم (وما يشعرون) لا يحسون بذلك لتمادى غفلتهم جعل لحوق و بال الخداع ورجوع ضرره اليهم فى الظهو وكالمحسوس الذى لا يخفى الا على مؤوف الحواس والشعور الاحساس ومشاعرالانسان حواسه وأصله الشعر ومنه الشعار
• (وما يخدعون) أى يكذبون (إلا أنفسهم) وهذه الجملة حال من ضمير يخادعون أى يفعلون ذلك والحال أنهم ما يضرون بذلك الا أنفسهم فان دائرة فعلهم مقصورة عليهم وقرأ عاصم وابن عمر وحمزة والكسائ وما يخدعون بفتح الياء وسكون الخاء وفتح الدال وقرأ الباقون بضم الياء وفتح الخاء مع المد وكسرالدال ولا خلاف فى قوله يخادعون الله فالجميع قرأ بضم الياء وفتح الخاء وبالألف بعدها وكسرالدال وأما الرسم فبغير ألف فى الموضعين (وما يشعرون) أن الله يطلع نبيه على كذبهم
• (وما يخادعون إلا أنفسهم) قرأة نافع وابن كثير وأبى عمر والمعنى ان دائرة الخداع راجعة اليهم وضررها يحيق بهم أو أنهم فى ذلك خدعوا أنفسهم لما غروها بذلك وخدعتهم أنفسهم حيث حدثتهم بالأماني الفازعة وحملتهم على مخادعة من لا يخفى عليه خافية وقرأ الباقون وما يخدعون لان المخادعة لا تتصور الا بين اثنين وقرئ ويخدعون من خدع ويخدعون بمعنى يختدعون ويخدعون ويخادعون على البناء للمفعول ونصب أنفسهم بنزع الخافض والنفس ذات الشيء وحقيقة ثم قيل للروح لان النفس الحي به وللقلب لانه محل الروح أو متعلقة وللدم لان قوامها به وللماء لفرط حاجتيا اليه وللرأى فى قولهم فلان يؤامر نفسه لانه ينبعث عنها أو يشبه ذاتا مرة وتشير عليه والمراد بالانفس ههنا ذواتهم ويحتمل حملها على أرواحهم وآرائهم (وما يشعرون) لا يحسون بذلك لتمادى غفلتهم جعل لحوق و بال الخداع ورجوع ضرره اليهم فى الظهو وكالمحسوس الذى لا يخفى الا على مؤوف الحواس والشعور الاحساس ومشاعرالانسان حواسه وأصله الشعر ومنه الشعار
Salah satu sisi yang ditampilkan dari ketiga contoh di
atas adalah masalah Qira’at. Tetapi jika dilihat lebih lanjut terjadi perbedaan
dalam penyajiannya. Jika dibandingkan dengan kedua tafsir di bawahnya,
pembahasan yang ada dalam Tafsir Jalalain lebih ringkas, bahkan cenderung
sepintas lalu. Rupanya Suyuthi tidak mau terjebak dalam pembicaraan yang
bertele-tele, cukup hanya dengan menunjukkan adanya perbedaan qira’at.
Sebagaimana yang ia sampaikan dalam muqaddimahnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa karakteristik Tafsir Jalalain jika dibandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama adalah ungkapannya yang simpel dan padat dengan gaya bahasa yang mudah. Tujuannya adalah agar dapat dicerna dengan mudah oleh para pembaca tafsir. Hingga pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa antara al-Qur’an dengan tafsirannya hampir sama.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa karakteristik Tafsir Jalalain jika dibandingkan dengan tafsir lain yang bercorak sama adalah ungkapannya yang simpel dan padat dengan gaya bahasa yang mudah. Tujuannya adalah agar dapat dicerna dengan mudah oleh para pembaca tafsir. Hingga pantaslah kalau ada yang mengatakan bahwa antara al-Qur’an dengan tafsirannya hampir sama.
Bahkan, menurut
pengarang kitab Kasyf al-Dzunun, ada sebagian ulama Yaman yang mengatakan bahwa
hitungan huruf al-Qur’an dengan tafsirannya sampai surat al-Muzzammil adalah
sama. Baru pada surat al-Muddatstsir dan seterusnya tafsir ini melebihi
al-Qur’an.
Yang menarik dari kitab ini adalah penempatan tafsir
Surat al-fatihah yang diletakkan paling akhir. Kedua mufassir juga tidak
berbicara tentang basmalah sebagaimana tafsir-tafsir lainnya. Tidak ada
keterangan yang menyebutkan tentang alasan tidak ditafsirkannya basmalah.
5. Penutup
Budaya tafsir-menafsir merupakan bagian dari peradaban
Islam. Budaya ini yang menjadikan intelektual Islam menjadi terangkat namanya
dalam kancah internasional. Salah satu tafsir yang populer di Indonesia adalah
tafsir Jalalain. Tafsir ini begitu populernya, sehingga hukumnya “wajib”
mengkaji tafsir ini di kalangan pesantren. Kesemuanya itu tak terlepas dari isi
tafsir itu sendiri yang isinya singkat dan padat serta para mufasirnya yang
begitu karismatik.
6. Daftar Pustaka
Amin, Ghofur
Saiful , Profil Para Mufasir al-Qur’an, Yogyakarta, Puataka Insan Madani, 2008.
Baidan,
Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002.
Wawasan Baru
Ilmu Tafsir, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Baidhowi,
Abdullah bin ‘Umar bin Muhammad , Tafsir al-Baidhowi, jilid I, Beirut, Dar
Shadir, t.th.
Al-Dimasyqy,
Ibnu Katsir , Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, juz 1, Beirut, Maktabah al-Nur
al-Ilmiah,1991.
Al-Dzahabi,
Muhammad Husain , al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz 1, Beirut, 1976.
Jalaluddin
al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, Dar Ihya’
al-Kutub al-’Arabiyah, t.th.
Nawawi
al-Jawi, Muhammad , Marah Labid, Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyah, t.th.
Al-Qusthunthonni,
Mushtafa bin Abdillah , Kasyf al-Dzunun, juz 1, Beirut, Dar al-Kutub
al-’Ilmiyah, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar