Mengenal
Imam Ath-Thabari
Nama dan Tempat Kelahirannya
Nama Imam Ath-Thabari adalah Muhammad bin Jarir bin
Yazid bin Katsir bin Ghalib. Nama kunyah atau panggilannya adalah Abu Ja’far.
Kelahirannya berdasarkan pendapat yang kuat adalah pada tahun 224 Hijriyah.
Tempat kelahirannya di Amal, yaitu daerah yang subur di daerah Thabaristan.
Semangatnya dalam Mencari Ilmu
Abu Ja’far mengisahkan tentang dirinya, “Aku telah
hafal Al-Qur’an pada saat usiaku tujuh tahun, aku telah shalat bersama manusia
diusia delapan tahun dan menulis hadits diusia sembilan tahun. Dahulu ayahku
dalam tidurnya melihat Rasulullah dan diriku membawa sekeranjang batu sedang
bersama beliau. Dalam tidurnya, ayahku seolah melihat diriku sedang melempar
batu dihadapan Rasulullah. Lalu ahli tafsir mimpi berkata kepada ayahku,
‘Sesungguhnya anak ini (Abu Ja’far Ath Tahabari), kelak jika dewasa akan
memelihara syari’atnya.’ Dari mimpi itulah, akhirnya ayahku membiayai diriku
mencari ilmu. Padahal pada waktu itu aku baru kanak-kanak yang masih kecil.”
Doktor Muhammad Az Zuhaili berkata, “Berdasar
berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua waktu Abu Ja’far Ath-Thabari
telah dikhususkan untuk ilmu dan mencarinya. Dia bersusah payah menempuh
perjalanan jauh untuk mencari ilmu sampai masa mudanya dihabisakan untuk
berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Dia tidak tidak tinggal menetap
kecuali setelah usianya mencapai antara 35-40 tahun. Dalam masa ini, Abu Ja’far
Ath-Thabari hanya memiliki sedikit harta karena semua hartanya dihabiskan untuk
menempuh perjalanan jauh dalam musafir menimba ilmu, menyalin, dan membeli
kitab. Untuk bekal semua perjalanannya, pada awalnya Abu Ja’far Ath-Thabari
bertumpu pada harta milik ayahnya dan harta warisan milik ayahnya. Tatkala Abu
Ja’far sudah kenyang menjalani hidup dalam dunia perjalanan mencari ilmu,
akhirnya dia pun tinggal menetap.
Tatkala hidupnya terputus dari dari kegiatan
musafir untuk menimba ilmu, maka sisa usianya difokuskan untuk menulis,
berkarya dan mengajar ilmu yang dimiliki kepada orang lain. Ilmu telah
menyibukkannya dan memberikan kenikmatan dan kelezatan tersendiri yang tidak
akan pernah dirasakan kecuali bagi yang telah menjalaninya. Ketika seseorang
telah tenggelam dalam lautan ilmu dimasa mudanya, maka menikah sering
terabaikan. Ketika usia telah mencapai antara 35-40 tahun dan tersibukkan dalam
majelis ilmu, maka keinginan menikah menjadi semakin hilang. Dilahapnya
kitab-kitab yang berjilid-jilid dan berlembar-lembar serta waktu belajar dan
berkarya juga lebih optimal. “
Akhlaknya yang Mulia
Apabila Abu Ja’far Ath-Thabari diberi hadiah, maka
jika dia dapat membalas hadiah itu dengan yang lebih baik, hadiah itu akan
diterima. Namun apabila dia tidak mampu, maka hadiah itu akan ditolak dengan
ramah disertai permintaan maaf kepada pemberi hadiah. Abu Haija’ Ibnu Hamdan
pernah memberikan hadiah kepada Abu Ja’far Ath-Thabari tiga ribu dinar. Setelah
melihat hadiah tersebut, Abu Ja’far Ath-Thabari terkagum-kagum dan berkata,
“Aku tidak bisa menerima hadiah yang aku tidak bisa membalasnya dengan yang
lebih baik lagi. Dari mana aku mendapatkan uang untuk membalas hadiah sebanyak
ini?”
Abu Ja’far Ath-Thabari selalu menjauhi sikap dan
perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh ulama. Langkah demikian itu
berlangsung sampai dia menghembuskan nafas terakhirnya. Pernah suatu ketika Abu
Ja’far Ath-Thabari berdebat dengan Dawud bin Ali Azh-Zhahiri mengenai suatu
permasalahan. Ditengah perdebatan, Abu Ja’far Ath-Thabari berhenti dan tidak
meneruskan perkataannya, sehingga para temannya menjadi bertanya-tanya. Dalam
keadaan demikian itu, tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri, dengan
spontan dia berkata-kata pedas dan menyakitkan yang ditujukan pada Abu Ja’far
Ath-Thabari.
Mendengar perkataan yang demikian itu, Abu Ja’far
Ath-Thabari tidak membalasnya sedikit pun dan tidak pula terpancing memberikan
jawabannya. Dengan segera ia bergegas meninggalkan tempat itu dan menulis
masalah perdebatannya itu dalam sebuah kitab.
Kemampuan Hafalan dan Kecedasannya
Diantara hal yang dapat menunjukkan kepandaian dan
kecerdasan Imam Ath-Thabari adalah kisah Imam Ath-Thabari tentang dirinya
sendiri tatkala dia mampu menguasai ilmu Arudh (ilmu tentang syair atau
sajak) dalam tempo satu malam. Kisahnya adalah sebagai berikut: Imam
Ath-Thabari berkata, “Tatkala aku tiba di Mesir, tidak tersisa seorang ahli
ilmu pun kecuali mereka menemuiku untuk mengujikan apa yang telah dikuasainya.
Pada suatu hari, datang kepadaku seorang laki-laki bertanya tentang sebagian tertentu
dari Arudh yang aku sendiri belum mengetahui tentang Arudh.
Akhirnya aku katakan kepadanya, ‘Aku tidak bisa bicara, karena hari ini aku
tidak akan membicarakan masalah Arudh sedikit pun. Tetapi datanglah
besok dan temui aku.’ Lalu aku pun meminjam Kitab Arudh karya Khalil
Ahmad dari temanku. Malam itu aku pelajari Kitab Arudh tersebut dan pagi
harinya aku telah menjadi seorang ahli Arudh.”
Kezuhudan dan Kewara’annya
Al-Farghani berkata, “Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari tidak takut celaan dan cercaan manusia, biarpun itu terasa
menyakitkan. Cercaan itu muncul dari orang-orang bodoh, hasad, dan yang
mengingkarinya. Adapun manusia berilmu dan ahli menjalankan agama, maka mereka
tidak akan mengingkari kapasitas dan kredibilitas Muhammad bin Jarir.
Mereka juga mengakui kezuhudannya dari dunia dan qana’ah
dengan merasa cukup menerima sepetak tanah kecil peninggalan ayahnya di
Thabaristan. Perdana menteri Al-Kharqani bertaklid kepadanya, lalu ia
mengirimkan uang dalam jumlah yang besar kepadanya. Akan tetapi, dia tetap
menolak pemberian tersebut. Ketika Ibnu Jarir At-Thabari ditawarkan kedudukan
qadhi (hakim) dengan jabatan wilayah al-mazhalim, dia pun menolaknya.
Akibat penolakan ini, teman-teman Ibnu Jarir
mencelanya. Mereka berkata, ‘Ketika kamu terima jabatan ini, maka kamu akan
mendapatkan gaji tinggi dan akan dapat menghidupkan pengajian sunnah yang kamu
laksanakan.’
Pada dasarnya, mereka ingin sekali memperoleh
jabatan tersebut. Namun dengan perkataan mereka itu, akhirnya Ibnu Jarir
membentak mereka seraya berkata, ‘Sungguh, aku mengira kalian akan mencegahku
ketika aku senang jabatan tersebut.’”
Guru dan Muridnya
Para guru
Ibnu Jarir Ath-Thabari sebagaimana disebutkan Adz-Dzahabi yaitu:
Muhammad bin Abdul Malik bin Abi Asy-Syawarib,
Ismail bin Musa As-Sanadi, Ishaq bin Abi Israel, Muhammad bin Abi Ma’syar,
Muhammad bin Hamid Ar-Razi, Ahmad bin Mani’, Abu Kuraib Muhammad bin Abd
Al-A’la Ash-Shan’ani, Muhammad bin Al-Mutsanna, Sufyan bin Waqi’, Fadhl bin
Ash-Shabbah, Abdah bin Abdullah Ash-Shaffar, dll.
Sedangkan muridnya yaitu:
Abu Syuaib bin Al-Hasan Al-Harrani, Abul Qasim
Ath-Thabarani, Ahmad bin Kamil Al-Qadhi, Abu Bakar Asy-Syafi’I, Abu Ahmad Ibnu
Adi, Mukhallad bin Ja’far Al-Baqrahi, Abu Muhammad Ibnu Zaid Al-Qadhi, Ahmad
bin Al-Qasim Al-Khasysyab, Abu Amr Muhammad bin Ahmad bin Hamdan, Abu Ja’far
bin Ahmad bin Ali Al-Katib, Abdul Ghaffar bin Ubaidillah Al-Hudhaibi, Abu
Al-Mufadhadhal Muhammad bin Abdillah Asy-Syaibani, Mu’alla bin Said, dll.
Karya-Karyanya
Jami’Al-Bayan fi Ta’wil ai Al-Qur’an yang lebih dikenal
dengan sebutan At-tafsir Ath-Thabari
Tarikh Umam wa Al-Muluk yang lebih dikenal dengan
Tarikh Ath-Thabari
Dzail Al-Mudzil
Ikhtilaf ‘Ulama Al-Amshar fi Ahkam Syara’I Al-Islam
yang lebih dikenal dengan Ikhtilaf Al-Fuqaha
Lathif Al-Qaul fi Ahkam Syara’I Al-Islam, yaitu
fiqih Al-Jariri
Adab Al-Qudhah
Al-Musnad Al-Mujarrad
Al-Qiraat wa Tanzil Al-Qur’an
Mukhtashar Manasik Al-Hajj
Al-Mujiz fi Al-Ushul
Musnad Ibnu ‘Abbas, dan masih banyak lainnya.
Meninggalnya
Ahmad bin Kamil berkata, “Ibnu Jarir Ath-Thabari
meninggal pada waktu sore, dua hari sisa bulan Syawal tahun 310 Hijriyah.
Beliau dimakamkan di rumahnya, di mihrab Ya’qub, Baghdad.”
Sumber:
Biografi 60 Ulama Salaf. Syaikh Ahmad Farid:
Pustaka Al-Kautsar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar