A. Biografi dan Sketsa
Pemikiran Mazhab Syafi’i
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin
Idris, lahir tepat pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah (tahun 150 H) dan wafat
di Mesir tahun 204 H. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i
lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan nasabnya
bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf.[1]
Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya
pindah ke Mekkah.[2]
Dalam usia kanak-kanak, sekitar tujuh tahun, ia sudah
hafal Al- Qur'an di luar kepala. Sesudah itu ia menghafal hadis-hadis Nabi.
Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang sedemikian
besar pada bidang ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan.
Sehubungan dengan kecenderungan-nya ini, Syafi’i berkata, "Saya selalu
pergi ke pelosok-pelosok desa (badawah). Saya lama hidup di
tengah-tengah masyarakat Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab ...
Ketika kembali ke Mekkah, saya punya felling sastra yang dalam.[3]
Ibnu Katsir dalam salah satu keterangannya menyebutkan bahwa Imam Syafi’i hidup
di tengah-tengah masyarakat desa Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab
selama sepuluh tahun.
Barangkali hal inilah yang menyebabkan Syafi’i ahli
dalam bidang puisi dan sastra serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam
menyusun bahasa yang indah. Bidang itu pula yang mula-mula digeluti Syafi’i
ketika di Najran, Yaman, dengan mendapat sambutan baik dari gubernurnya. Tetapi
gubernur ini jugalah yang di kemudian hari menuduhnya bersama sembilan orang
lainnya sebagai pelaku tindak subversif menentang pemerintahan Abbasiyah dan
secara diam-diam membela kelompok Alawiyyin. Sembilan orang itu akhirnya
dihukum mati, sedangkan Syafi’i sendiri mendapat pengampunan khalifah Harun
Ar-Rasyid lantaran Harun sangat mengagumi ilmu dan kecerdasan Syafi’i dalam
bertutur kata.[4]
Dalam masalah fiqih, mula-mula ia belajar dari Syeikh
Muslim bin Khalid al-Zinji hingga mendapat kesaksian dari Syeikhnya ini untuk
memberikan fatwa. Saat itu Syafi’i berumur lima belas tahun. "Ya, Abu
Abdullah," kata al-Zinji menyebut panggilan Syafi’i, "Sudah sampai
waktumu untuk memberi fatwa."[5]
Imam Syafi'i memang telah sampai pada tingkat itu,
tetapi kemauannya yang keras untuk terus menuntut ilmu membuatnya tidak
berhenti hingga di situ saja. Ilmu memang tidak berbatas dan bertebing.
Karenanya, semakin dalam menyelaminya semakin tahu akan kedalamannya, atau
meminjam istilah Syafi’i "Setiap kali ilmuku bertambah, bertambah pula
kebodohanku.
Ketika mendengar kealiman Imam Malik dengan buku
monumentalnya, Muwattha di Madinah, Syafi’i membatalkan untuk menuntut
ilmu ke Yatsrib. Sebelum berangkat ke Madinah, ia meminjam Muwatha Malik
kepada salah seorang temannya di Mekkah dan menghafalnya dalam jangka waktu
sembilan hari. Imam Malik benar-benar kagum terhadap kealiman Syafi’i dalam
ilmu hadis. "Ya Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah segala
kemaksiatan... Sesungguhnya Allah telah membersitkan cahaya di hatimu, maka
jangan padamkan cahaya itu dengan maksiat," kata Malik, kagum. "Besok
kamu datang lagi ke mari dan baca apa yang kamu baca sekarang."[6]
Menurut pengakuan Syafi’i, Imam Malik sangat mengagumi
kemerduan bacaan Syafi’i dan keindahan untaian bahasanya sehingga ia selalu
menyuruh, "Bacalah sekali lagi." Selain kepada Malik, ia pun belajar
hadis dari Sufyan bin 'Uyainah, Fudhail bin lyadh dan pamannya sendiri,
Muhammad bin Syafi'.
Pada diri Syafi’i terkumpul pemikiran fiqih fuqaha
Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi, seperti dikutip Abu Zahrah,
mengatakan bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya pernah
menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai persoalan
dengannya. Guru-gurunya yang betul-betui ahli fiqih sekitar sembilan belas
orang, lima
orang dari Mekkah, enam orang dari Madinah, empat orang dari Yaman dan empat
orang dari Irak.
Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dalam berbagai
aliran fiqih dan hadis dan bahkan teologi, telah membuatnya berwawasan luas
dengan pisau analisisnya yang tajam. la mengerti letak kekuatan dan kelemahan,
luas dan sempitnya pandangan masing-masing mazhab tersebut. Memang agak sulit
untuk menebak arus pemikiran Syafi’i. Selain pemikiran tradisional Imam Malik,
ia pun mempelajari dengan sungguh-sungguh fiqih ulama-ulama Irak. la datang
kepada Muhammad bin Hasan, seorang murid Imam Abu Hanifah yang banyak
menyebarkan pemikiran-pemikiran fiqihnya, mendiskusikan berbagai persoalan dengannya.
Dengan demikian, Muhammad bin Hasan juga guru Imam Syafi’i, sekalipun tidak
disebutkan oleh ar-Razi.
Ada keterangan bahwa Imam Syafi’i tidak saja
mengagumi pemikiran rasionalisme Abu Hanifah, pemikiran tradisionalisme Malik,
pemikiran reformisme Auza'ie dan Laits, tetapi juga pemikiran-pemikiran
fundamentalisme Syi'ah dan Mu'tazilah. Dalam kajian-kajian sejarah Ibnu Katsir
disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata secara sangat apresiatif,
"Barangsiapa yang ingin memperdalam fiqih ia harus menjadi anak asuh Abu
Hanifah, yang ingin memperdalam sejarah harus menjadi anak asuh Muhammad bin
Ishaq, yang ingin memperdalam hadis harus menjadi anak asuh Imam Malik, dan
yang ingin memperdalam tafsir harus menjadi anak asuh Muqathil bin Sulaiman.[7]
Muqathil bin Sulaiman yang disebutkan Syafi’i sebagai
ahli di bidang tafsir adalah pemikir Syi'ah Zaidiyah sebagaimana diteliti oleh
Ibnu Nadzim. Di antara karya-karya tafsir Ibnu Sulaiman ini adalah al-Tafsir
al-Kabir, al-Qiraat, dan Mutasyabih bil Qur 'an al Jawabat bil Qur
'an. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sulaiman ini telah dikaji secara mendalam
oleh Syafi’i sehingga ia pun berkesimpulan bahwa Ibnu Sulaiman adalah orang
yang betul-betul alim dalam bidang tafsir.
Keterangan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung
dugaan sementara para pengamat tentang kecenderungan Imam Syafi’i terhadap
Syi'ah Zaidiyah, atau tuduhan beberapa pejabat pemerintahan Harun al- Rasyid
bahwa ia adalah Syi'ah dan secara diam-diam membaiat orang-orang Alawiyyin.
Keterangan ini tanpa ada keraguan lagi menunjukkan kesungguhan Imam Syafi’i
dalam menimba ilmu dan pengalaman. la tidak peduli siapa yang memiliki ilmu
tadi. Bahkan ar-Razi pernah melemparkan berita kontroversial dalam masalah ini.
"Imam Syafi’i," kata Razi, "pernah juga belajar dari orang-orang
yang mendalami ilmu pengetahuanYunani." Razi meriwayatkan bahwa ketika
Imam Syafi’i diajukan ke hadapan khalifah Al-Rasyid yang saat itu
disaksikanjuga oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, karena tuduhan
membangkang kebijaksanaan pemerintah dan bahkan secara diam-diam mendukung
Syi'ah. Al-Rasyid bertanya, "Bagaimana ilmu kamu tentang kedokteran?"
Saya tahu apa yang dikatakan pakar-pakar kedokteran Romawi dan para ahli
seperti Aristoteles, Hippocrates, Galenos dengan bahasa mereka sendiri. Saya
juga tahu apa yang dikaji oleh para filosof India
dan ilmuwan Persia."
Kisah ini memang dipertanyakan kevalidannya oleh para
ahli terma- suk Ibnu Qayyim dan Abu Zahrah karena kedatangan Syafi’i ke Baghdad diperkirakan
tahun 184 H. atau sesudah meninggalnya Abu Yusuf. Tetapi bahwa pengembaraan
ilmiah Syafi’i yang sedemikian jauh itu telah membentangkan keluasan cakrawala
dan kematangan pemikirannya, tidak seorang pun yang dapat membantahnya.
Imam Ahmad bin Hambal mengekspresikan keluasan
cakrawala pemikiran Syafi’i dengan pernyataannya, "Nabi bersabda, bahwa
Allah mengutus untuk ummat ini setiap penghujung seratus tahun seorang yang
akan memperbaharui perkara agamanya. Umar bin Abdil Aziz berada di penghujung
seratus tahun sebagaimana saya berharap Syafi’i akan juga berada di penghujung
seratus tahun berikutnya."
Daud bin Ali al-Dhahiri juga pernah berkata,
"Pada diri Syafi’i menyatu berbagai kelebihan yang tidak dimiliki ulama
lainnya. la berasal dari keturunan terhormat, berbudi luhur... Hafal Al-Qur'an,
Sunnah, sejarah khulafa' dan memiliki kecakapan berbicara dan menulis."
Dengan bekal ini Imam Syafi’i mulai melangkah
membangun pemikiran fiqihnya secara moderat. la mempelajari secara seimbang
pemikiran fiqih yang berkembang di Hijaz dan Irak, apalagi pada zaman Syafi’i,
perbedaan antara ahli hadis (Hijaz) dan ahli ra'y (Irak) tidak terlalu runcing.
Imam Syafi’i mempergunakan metode ahli hadis dalam kehati-hatiannya menyeleksi
hadis, dan pada saat yang sama mengembangkan pemikiran ahli ra'y dalam menggali
tujuan-tujuan moral dan 'illat dibalik hukum yang tampak (literal), misalnya,
dalam bentuk penggunaan teori qiyas.
la sependapat dengan mazhab gurunya, Imam Malik, dalam
mengambil ijma' sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi ia
memberikan persyaratan-persyaratan yang cukup ketat sehingga ijma' bukan
semata-mata hasil pemikiran para ahli tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti. Di
lain pihak, Syafi’i sepakat dengan pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal
kecenderungan menggunakan ijtihad dan rasio, tetapi ia menolak penggunaan teori
istihsan Abu Hanifah dan dianggapnya sebagai mempermainkan agama.
"Barangsiapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat-buat hukum
syariat," kata Syafi’i.
Pada suatu ketika, demikian diceritakan oleh
al-Muzanni, Imam Syafi’i sedang duduk-duduk bersamanya. Tiba-tiba datang
seorang Syeikh berbaju shuf dengan tongkat di tangannya. Syeikh itu
mendekat dan duduk di dekat Syafi’i. "Apa hujjah (dalil) dalam agama
Allah?" tanya orang itu.
"Kitabullah,"jawab Syafi’i.
"Lalu apa?"
"Sunnah Rasulullah."
"Lalu apa?"
"Kesepakatan ummat."
"Dari mana kamu mendapatkan yang terakhir ini?
Apakah itu ada dalam Kitabullah?" tanya orang itu kemudian.
Imam Syafi’i tidak menjawab.
"Saya beri kamu waktu tiga hari tiga malam. Kamu
harus mempunyai alasan dari Kitabullah. Jika tidak, kamu harus menyingkir dari
manusia," kata Syeikh sembari beranjak pergi meninggalkan Syafi’i dalam
keterpakuannya.
Selama tiga hari tiga malam Imam Syafi’i tidak keluar
rumah. Pada hari keempat ia keluar antara waktu Dhuhur dan Ashar. Syeikh itu
pun datang di tempat pertemuan semula.
"Mana permintaanku?"
"Baiklah," jawab Imam Syafi’i. Kemudian ia
membaca Surat An-Nisa' ayat 15, yang artinya: "Barangsiapa yang menentang
Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti jalan-jalan yang bukan
jalan orang-orang yang beriman, niscaya Kami akan hadapkan mereka kepada
tujuannya dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahanam." Dalam ayat ini,
demikian kata Syafi’i, Allah menegaskan bahwa bagi orang-orang yang berbuat
sesuatu yang bertentangan dengan "jalan orang-orang yang beriman"
akan dimasukkan ke dalam neraka. Dengan demikian adalah wajib hukumnya
mengikuti "jalan orang-orang beriman."
"Kamu benar," lalu Syeikh itu, pergi
meninggalkannya. Fakhrur Razi membenarkan kisah ini. Bahkan ia meriwayatkan
bahwa ketika Syafi’i ditanya tentang ayat yang menerangkan kebenaran ijma'
sebagai sumber hukum dalam Islam, ia membaca Al-Qur'an sebanyak 300 kali,
kemudian menemukan ayat di atas.
Cerita ini menggambarkan sikap Syafi’i yang sangat
hati-hati dalam menyikapi hukum Islam. Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik
di Hijaz selama tiga tahun, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana,
membuat Imam Syafi’i cenderung pada aliran hadis, bahkan mengaku sebagai
pengikut mazhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke Baghdad, Irak, dan
menetap di sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqih Abu
Hanifah dan pemikiran rasional ahli ra'y, maka mulailah ia condong pada
aliran rasionalisme. Apalagi setelah dirasakan
sendiri tingkat kebudayaan di Irak sebagai daerah perkotaan menyebabkan
aneka ragam masalah kehidupan berikut problematikanya yang seringkali tidak
ditemukan ketentuan jawabannya dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Kedua kondisi yang berbeda mi dapat diikuti dengan cermat
sehingga melahirkan suatu sintesa pemikiran fiqih moderat antara fiqih ahli
hadis dan fiqih ahli ra'y yang benar-benar orisinil. Sebagaimana yang
disimpulkan oleh al-Dahlawi dalam bukunya Hujjatullah al-Balighah memang
benar, bahwa perkembangan Imam Syafi’i pada masa-masa awal perumusan dua mazhab
(mazhab Hanafi dan mazhab Maliki) itu telah banyak mewarnai pemikiran fiqih
mazhab Syafi’i yang moderat (tawassuth) dan cenderung pada sikap jalan
tengah.
Imam Syafi’i dalam beberapa hal, berbeda pendapat dengan
Imam Malik, dan perbedaan itu berkembang sedemikian rupa sehingga ia menulis
buku Ikhtilaf Malik (Tanggapan terhadap Malik) yang sebagian besar
berisi kritikan terhadap pemikiran fiqih gurunya itu. Ia juga terjun dalam
perdebatan-perdebatan sengit dengan pengikut mazhab Hanafi, dan banyak
melontarkan koreksi terhadapnya. Dari kritik-kritik Imam Syafi’i terhadap kedua
mazhab tersebut akhirnya ia muncul dengan mazhab baru yang merupakan sintesa
antara fiqih ahli hadis dan fiqih ahli ra'y.
Qaul Jadid. dan Qaul Qadim Selain pengembaraan
intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa sebagaimana dijelaskan di atas,
fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksi zamannya. Dengan kata lain,
kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i
dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan
bahwa dia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Munculnya dua kecenderungan
dalam mazhab Syafi’i yang disebut qaul jadid dan qaul qadim (mazhab baru dan
mazhab lama) akan sangat menguatkan kesimpulan ini.
Penelitian yang mendalam tentang munculnya istilah
qaul jadid dan qaul qadim ini akan membuktikan fleksibilitas fiqih dan adanya
ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut para
ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak, tahun 195 H.
Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu
melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional
Irak.
Di tengah-tengah pergumulan intelektual itu, Syafi’i menulis buku al-Hujjah
(Argumentasi) yang secara komprehensif memuat sikapnya terhadap berbagai
persoalan yang berkembang. Selama dua tahun di Irak, ia
telah berhasil mempengaruhi pemikir-pemikir Irak seperti Ahmad bin Hambal, Abu
Tsaur, al-Za'farani dan al-Karabisi, kemudian pulang kembali ke Hijaz untuk
beberapa waktu lamanya. Pada tahun 198 H, Syafi’i datang lagi ke Irak untuk
yang ketiga kalinya dan menetap selama beberapa bulan kemudian pindah ke Mesir.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapatnya selama
berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya.
Pemikiran-pemikiran baru Syafi’i itu di antaranya dimuat dalam bukunya Al-Umm,
yang disampaikannya secara lisan kepada murid-muridnya di Mesir. Lahirnya
mazhab jadid ini, demikian kesimpulan para ahli, merupakan dampak dari
perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi
sosial baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz dan Irak.
Kajian lebih mendalam tentang hal ini akan membuktikan
bahwa lahirnya mazhab qadim dan mazhab jadid bukan merupakan tahapan dari
perkembangan "kematangan" pemikiran Syafi’i, sebagaimana didakwakan
oleh sebagian para ahli, tetapi lebih sebagai suatu refleksi dari kehidupan
sosial yang berbeda. Sebagaimana dua Imam sebelumnya, pemikiran fiqih Imam
Syafi’i dipengaruhi faktor sosial budaya di mana ia hidup.
Sebelum pergi ke Baghdad
untuk yang pertama kalinya (tahun 184 H), Imam Syafi’i belum merumuskan
pemikiran mazhab barunya. la bahkan mengaku sealiran dengan mazhab gurunya,
Imam Malik. Saat itu ia mendapat gelar nashir al-hadits (penyelamat
hadis) karena kegigihannya membela pemikiran fiqih ahli hadis di Madinah. Pada
tahun 184 H. untuk yang pertama kalinya ia pergi ke Baghdad karena tuduhan mendukung kelompok
Alawiyyin dan menganut paham Syi'ah.
Selama di Baghdad ia sering terlibat perdebatan sengit
dengan ulama-ulama Irak yang cenderung pada pemikiran rasional. Ia juga
berdiskusi dengan Muhammad bin Hasan al-Syaibani dan darinya ia mempelajari
fiqih Abu Hanifah.
Rupaya kedatangannya di Irak memberikan kesan
tersendiri. Pemikiran rasionalisme, tingginya tingkat kebudayaan dan peradaban
di Irak menyadarkan Syafi’i akan perlunya sikap kritis dalam mengkaji berbagai
aliran pemikiran yang berkembang. Pemikiran rasionalisme yang berkembang di
Irak sebagai suatu tesa dan munculnya antitesa pemikiran tradisionalisme di
Madinah merupakan feed back (umpan balik) munculnya sintesa pemikiran
moderat Syafi’i, antara fiqih ahli ra'y dan fiqih ahli hadis. Sejak itulah
Syafi’i mulai mengkaji pendapat-pendapat Imam Malik secara kritis dan analitis,
dan mengoreksi pemikiran ulama-ulama Irak dengan sangat argumentatif.
Setelah beberapa lama di Irak, Syafi’i pergi ke
Mekkah, dan di sana untuk pertama kali ia membentuk semacam pengajian {halaqah)
di masjid al-Haram. Itulah awal mulanya terbentuknya mazhab Syafi’i. Karenanya,
jika kita melihat secara kronologis tentang pembentukan mazhab fiqih Syafi’i,
kita akan menemukan mazhab ini melewati tiga tahapan. Tahapan pertama di
Mekkah, kedua di Baghdad ketika berdiam untuk kedua kalinya, dan ketiga di
Mesir. Dari ketiga tahapan ini lahir pengikut-pengikut mazhab yang menyebarkan
pemikiran fiqih Syafi’i sesuai kecenderungan umum dari tiap-tiap tahapan.
Batasan-batasan waktu dari ketiga tahapan tadi memang belum ada data pasti.
Pengelompokan ini didasarkan pada karakteristik dan kecenderungan umum yang
menandai perbedaan antara satu tahapan dengan tahapan lainnya.
Imam Syafi’i berada di Mekkah selama kurang lebih
sembilan tahun. Saat itu adalah masa kehidupan ilmiah yang paling kreatif dan
enerjik. Saat itu usianya kira-kira empat puluhan, dan baru saja mempelajari
berbagai pendapat dan aliran pemikiran. Kegemarannya melakukan pengembaraan
ilmiah ke berbagai daerah membuatnya bercakrawala luas, memiliki kedalaman ilmu
dan kaya pengalaman. Di Mekkah inilah ia mulai merumuskan pemikirannya,
khususnya dalam bidang fiqih, secara sungguh-sungguh dan mendalam.
Barangkali karena sifatnya yang global, pemikiran
Syafi’i di'Mekkah menarik perhatian berbagai kalangan. Ahmad bin Hambal adalah
termasuk ulama yang sangat apresiatif terhadap pemikiran global Syafi’i. la
meninggalkan pengajian gurunya, Ibnu 'Ubaidah, dan pindah ke pengajian Imam
Syafi’i di masjid al-Haram. Ketika ada orang yang menganggapnya plin-plan dalam
menentukan tempat belajar, Ahmad bin Hambal menjawab, "Diam kamu! Apabila
kamu ketinggalan suatu hadis kamu akan menemukannya di tempat lain. Itu tidak
jadi persoalan. Tapi jika kamu ketinggalan orang ini (sambil menunjuk Syafi’i)
saya khawatir kamu tidak akan mendapatkannya yang serupa sampai hari Kiamat.
Saya tidak pernah menjumpai orang yang lebih paham tentang Al-Qur'an dari orang
ini." Mungkin pemikiran fiqih global itu pula yang menyebabkan Ahmad bin
Hambal berkesimpulan, "Fiqih adalah kunci, dan Allah telah membukanya
lewat Syafi’i."
dapat dinyatakan bahwa tahapan pertama ini merupakan
periode perumusan metode berpikir dan kaidah-kaidah dasar. Syafi’i, terbukti,
belum banyak memasuki masaah-masaah far'iyyah. Dengan kata lain, karakteristik
pemikiran fiqih Syafi’i pada tahapan ini lebih bersifat global dan perumusan
kaidah-kaidah dasar yang akan menjadi pijakannya dalam melakukan ijtihad dan
kajian-kajian fiqih. Bukunya al-Risalah yang ditulis kepada Abdur Rahman
bin Mahdi, adalah bukti sejarah yang nyata dari karakteristik pemikiran fiqih
global Syafi’i pada tahapan ini. Abdur Rahman bin Mahdi memang pernah
menyarankan agar Syafi'i menulis suatu buku yang membahas tentang pengertian
Al-Qur'an, hadis, ijma', nasikh dan mansukh. Memang ada riwayat yang
menyebutkan bahwa buku al-Risalah itu ditulis di Baghdad ketika ia
datang untuk yang kedua kalinya. Tidak perlu memperdebatkan apakah buku
al-Risalah itu ditulis di Mekkah atau Baghdad, sebab yang sudah pasti jika
benar ditulis di Baghdad buku itu merupakan hasil dari kajian-kajian Syafi’i di
masjid al-Haram.
Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di
sana selama tiga tahun. Kiranya pemikiran-pemikiran globalnya mendapat sambutan
positif dari ulama-ulama Irak. Al-Karabisi pernah berkata, "Saya tidak
tahu bagaimana melakukan istidlal dari Al-Qur'an, hadis dan ijma', sehingga
mendapat penjelasan dari Syafi’i."
Di Baghdad ini ia mulai memperlihatkan sikapnya
terhadap pendapat-pendapat fuqaha yang hidup di zamannya dan bahkan pendapat
para sahabat dan tabi'ien. Imam Syafi’i mempraktekkan kaidah-kaidah
ushuliyahnya terhadap berbagai pendapat yang berkembang saat itu dan
menjelaskan letak perbedaan dan alasannya, seperti perbedaannya dengan pendapat
Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit, kemudian
mengemukakan perbedaannya dengan Abu Hanifah dan Abu Laila yang diperoleh dari
keterangan Abu Yusuf.
Tanggapan Syafi’i itu disebut Ikhtilaf
al-'Iraqiyyin (Sanggahan terhadap orang-orang Irak). Kemudian ia mengoperasikan
kaidah-kaidah ushuliyahnya tadi terhadap pendapat-pendapat al-Waqidi, al-Auza'ie
dan pendapat-pendapat ulama lainnya. Dari situ Imam Syafi’i seringkali
mengemukakan "pendapat alternatifhya" di antara berbagai pendapat
yang berkembang saat itu.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini
lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap
masalah-masalah far’iyyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah
faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran fiqih Syafi’i.
Kemudian ia pindah ke Mesir pada tahun 199 H. hingga
wafat tahun 204 H. Selama empat tahun di Mesir, ia berusaha melangkah lebih
jauh dalam suatu situasi yang berbeda. Tahun-tahun terakhir di Mesir hingga
saat wafatnya, ia gunakan untuk menulis sebagian besar buku-bukunya, bahkan
juga untuk merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya al-Risalah
yang ditulis ketika di Mekkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai
perkembangan baru yang ia temui di Mesir. Di negeri ini ia meletakkan
dasar-dasar mazhab barunya (qaul jadid).
Inilah tahapan ketiga dari pembentukan mazhab Syafi’i.
Agaknya masyarakat Mesir telah memberikan anugerah dan pengaruh yang besar ke
arah posisi "tengah" fiqih Syafi’i di antara fiqih Maliki dan fiqih
Hanafi. Mesir merupakan negeri yang kaya dengan warisan adat-istiadat, tradisi
dan kaya dengan warisan budaya, peradaban dan pemikiran seperti kebudayaan
Fir'aun, Yunani, Persia, Romawi dan Arab.
Karakteristik
yang paling menonjol dari tahapan ketiga ini terletak pada kajian-kajian
analitis Syafi’i terhadap berbagai pemikiran yang berkembang dan bahkan
terhadap pemikirannya sendiri sekalipun. Pada tahapan ketiga ini ia meninjau
ulang pemikiran-pemikirannya. Kadang-kadang ia menguatkan pendapat barunya dan
tidak jarang pula membiarkan kedua pendapat (qaul qadim dan qaul
jadid) tersebut menjadi rujukan sesuai kondisi di mana ia akan praktekkan.
Sikap ini harus dipahami dengan baik agar kita dapat mendudukkan
masalah-masalah fiqih dan pemikiran pada porsi yang sebenarnya. Artinya,
masalah-masalah fiqih dan pemikiran bukanlah sesuatu yang abadi (eternal),
melainkan merupakan refleksi kehidupan sosial. la akan terus berkembang dan
berubah sejalan dengan perubahan masyarakat dan zamannya.
B. Pendapat Mazhab Syafi’i Tentang Qadha Shalat Yang Ditinggal
Dengan Sengaja
Imam
Nawawi, seorang mujtahid fatwa dalam lingkungan madzhab Syafii, menerangkan
dalam kitab Syarah Muslim, bahwa seseorang yang ketinggalan sembahyang yang
fardhu wajib diqadha. Andaikata ketinggalan itu karena udzur yang memaksa, maka
qadha boleh dilambatkan, tetapi sunnat menyegerakan. Jika ketinggalan itu tanpa uzur, umpamanya
ketinggalan itu karena disengaja, maka wajib qadha dengan segera. Membayar
shalat yang banyak tertinggal harus dibayar menurut tertib cara tinggalnya,
yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan, tertib ini hukumnya
sunnat. Kalau yang tinggal itu sembahyang sunnat rawatib, yakni sembahyang
sunnat yang biasa dikerjakan sebelum dan sesudah sembahyang harus juga diqadha.[8]
Adapun
sembahyang sunnat yang dikerjakan karena sebab khusus, umpamanya sembahyang
kusuf matahari, sembahyang khusuf bulan, sembahyang istisqa, maka tidaklah
disyari'atkan mengqadhanya, kalau sudah terlepas dari waktunya. Demikianlah
hukum fiqih dalam Madzhab Syafi'i yang bertalian dengan ketinggalan sembahyang.[9]
Dalil-dalil
Madzhab Syafi’i itu:
Pertama
Tersebut
dalam kitab hadits
Artinya:
"Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Nabi Muhammad Saw. ketika kembali dari
peperangan Khaibar, beliau berjalan malam hari, sampai beliau mengantuk dan
lain herhenti untuk tidur. Nabi memerintahkan kepada sahabat beliau bernama
Bilal (tukang adzan) supaya berjaga-jaga, jangan tidur, dikhawatirkan jangan
tertidur semuanya. Nabi terus tidur dan Bilal terus sembahyang pada malam buta
itu. Tetapi setelah dekat fajar. Bilal pun mengantuk pula, tidak tahan matanya,
maka beliau bersandar pada kendaraannya dan lalu tertidur pulas pula. Maka
Rasulullah dan sahabat-sahabat, begitu juga Bilal yang disuruh berjaga-jaga,
dibangunkan oleh matahari yang sudah tinggi, dan waktu subuh luputlah.
Rasulullah Saw. mula-mula terbangun dan beliau sangat susah, lalu berkata
kepada Bilal: Hai Bilal, bagalmana ini ? Bilal menjawab: Wah, sayapun tertidur
pula ya Rasulullah, saya tak kuat menahan mata saya. Lalu Nabi memerintahkan
supaya seluruh sahabatnya berangkat, naik onta semuanya. Tidak jauh dari tempat
itu beliau berhenti lagi dan langsung berwudhu', memerintahkan kepada Bilal
supaya qamat. Maka Nabi sembahyang Subuh bersama-sama mereka, mengqadha
sembahyang yang luput. Setelah selesai mengqadha sembahyang Nabi bersabda :
Barangsiapa kelupaan sembahyang, maka hendaklah la bayar (qadha) sembahyang itu
kapan dia ingat, karena Tuhan berfirman: "Tegakkanlah sembahyang untuk
mengingat Aku"[10]
Dari rangkaian
hadits ini dapat dipetik beberapa hukum;
1.
Berjalan pada malam hari boleh,
tidak apa-apa.
2.
Kalau mengantuk boleh tidur,
tetapi kalau fajar sudah dekat haruslah diadakan seorang penjaga yang tidak
tidur untuk membangunkan kalau Subuh sudah datang.
3.
Qadha sembahyang boleh dilambatkan
sedikit, karena dalam hadits ini Nabi setelah bangun tidak langsung sembahyang,
tetapi berangkat dulu dan setelah beberapa lama berjalan berhenti lagi untuk
sembahyang. Di dalam hadits Muslim yang lain diterangkan pula, bahwa sebabnya
beliau berangkat, tidak langsung sembahyang, karena tempat beliau tertidur itu
adalah tempat syaithan. Tetapi qadha yang boleh dilambatkan itu adalah qadha
sembahyang yang ditinggalkan tersebab udzur, yaitu tertidur, sebagai keadaannya
Nabi itu.
4.
Mengqadha sembahyang itu boleh
dilakukan di luar waktunya karena Nabi sembahyang Subuh yang tertinggal itu
seketika matahari sudah naik, sudah di luar waktu Subuh.
5.
Dalam hadits Muslim juga,
bertalian dengan masalah ini juga, diterangkan, bahwa Nabi sebelum mengqadha
Subuh beliau sembahyang sunnat dua raka'at, sebagai Qadha Sunnat Subuh. Ini
berarti bahwa sembahyang sunnat rawatib dianjurkan juga mengqadhanya kalau
tertinggal.
6.
Perkataan "barang siapa yang
lupa" dalam hadits ini, maksudnya ialah "barang siapa yang tertinggal
sembahyangnya", bukan karena lupa betul-betul, karena sebab hadits ini
ditetapkan Nabi ialah pada ketika sembahyang tertinggal karena tertidur, bukan
karena lupa. Maka dapat dikeluarkan hukum dari hadits ini, bahwa sekalian sembahyang
yang tertinggal wajib diqadha, yakni dibayar setelah tiba kesempatan, biar
tertinggal itu karena lupa, karena tidur, atau karena disengaja
meninggalkannya.
7.
Qadha itu wajib hukumnya, karena
Nabi memerintahkan di sini dengan perkataan suruh, yaitu : "hendaklah ia
sembahyang setelah ingat".
8.
Sembahyang itu untuk mengingat
Tuhan dan untuk jangan melupakan Dia.
Kedua.
Tersebut
dalam Kitab Sahih Muslim juga:
Artinya:
"Ketahuilah bahwasanya dalam keadaan tertidur tidak ada sia-sia; Yang
sia-sia (yang akan dapat hukuman) ialah orang yang tidak mengerjakan sembahyang
sampai datang waktu Sembahyang yang lain. Maka barang siapa yang memperbuat
demikian hendaklah ia bayar ketika ia Ingat akan sembahyang .itu".[11]
Dari hadits ini dapat dipetik hukum :
1.
Sembahyang yang tertinggal karena
tertidur tidaklah berdosa. Yang berdosa ialah meninggalkan sembahyang dengan
sengaja.
2.
Waktu sembahyang itu selain subuh
adalah panjang; Waktu Zuhur sampai sembahyang 'Ashar, waktu 'Ashar sampai
sembahyang Magrib. waktu Magrib sampai sembahyang Isya, waktu Isya sampai
sembahyang Subuh, kecuali Subuh yang pendek waktunya, yaitu dan mulai terbit
fajar shiddiq sampai terbit matahari.
Setiap orang mesti sembahyang pada waktunya, kalau
tak dapat pada awal waktu di tengahnya atau di akhirnya. Tidak boleh sama
sekali ditinggalkan.
Ketiga.
Tersebut dalam kitab hadits:
Artinya; "Barang siapa yang lupa sembahyang atau
tertidur maka ia harus membayarkan sembahyangnya itu apabila ia ingat, ada
bayaran bagi mereka selain dari itu."[12]
(H.R. Imam Muslim).
Dari hadits ini dapat dipetik hukum:
1.
Meninggalkan sembahyang dengan
sebab tertidur atau karena lupa tidak berdosa, karena lupa atau tidur di luar
kekuasaan manusia. Tetapi tentu asal jangan dilupa-lupakan atau
ditidur-tidurkan.
2.
Membayar sembahyang yang tinggal
itu ialah mengqadha sembahyang itu apabila sudah mgat atau sudah bangun.
3.
Sebaliknya, kalau ia meninggalkan
sembahyang dengan sengaja maka ia mendapat hukuman dua; 1. Berdosa dan ke 2.
Mengqadha.
Keempat
Tersebut dalam kitab hadits begini:
Artinya: "Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata:
Bahwasannya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw.
lalu ia bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat
sebelum membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan
nadzarnya itu, yakni naik haji ? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau
pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus
membayar utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibavar"[13]
(H.R. Imam Bukhari).
Dari dalam hadits ini dapat-diambil hukum-hukum:
1.
Ibadat haji boleh dijadikan
nadzar, umpamanya dinadzarkan, kalau ia sembuh dari. penyakit ia akan naik haji
tahun di muka. Haji nadzar itu menjadi haji wajib, karena nadzar itu.
2.
Kalau kewajiban nadzar yang belum
terbayar karena wafat boleh dibayar oleh anaknya, dengan arti bahwa ibu yang
bernadzar tidak berdosa lagi karena meninggalkan pembayaran nadzar itu.
3.
Utang kepada manusia mesti
dibayar, dan utang kepada Allah yang lebih mesti untuk dibayar.
4.
Sembahyang yang ditinggalkan,
dengan sebab apapun atau dengan tidak sebab apapun wajib dibayar, karena
sembahyang itu adalah utang yang wajib dibayar oleh manusia kepada Allah
5.
Barangsiapa yang berfatwa bahwa
sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib dibayar, maka ia
menentang hadits ini.
6.
Bukan saja utang nadzar atau utang
sembahyang, sekalian utang kepada Allah umpamanya puasa, zakat, haji dll. wajib
diqadha kalau tertinggal.
7.
Dalam hadits ini Nabi Muhammad
Saw. memakai qiyas, memakai perbandingan, yaitu dibandingkan oleh Nabi nadzar
haji yang wajib dibayar dengan sekalian utang kepada Tuhan yang wajib dibayar
atau diqadha.
8.
Hadits ini menjadi dalil juga,
bahwa qiyas itu (perbandingan) adalah salah satu sumber hukum fiqih.
Kelima
Tersebut dalam kitab hadits begini:
Artinya: "Dan Jabir bin Abdillah beliau berkata:
bahwasanya Saidina Umar datang kepada Rasulullah Saw. pada ketika peperangan
Khandaq, sesudah terbenam matahari, Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir
Quraisy dan berkata kepada Rasulullah : Hai Rasulullah, saya hampir tidak
sembahyang 'Ashar sampai matahari terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah,
saya juga belum sembahyang 'Ashar. (Berkata Jabir). Maka kami semuanya
berangkat he Balkan maka berwudhulah Nabi dan kami berwudhu pula, lalu Nabi
sembahyang 'Ashar sesudah terbenam matahari dan sesudah itu baru Nabi
sembahyang magrib"[14]
(H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).
Hadits ini diletakkan oleh Imam Bukhari dalam
kitabnya pada 3 tempat dengan judul yang berlain-lainan, yaitu:
1.
Bab menyatakan sembahyang jama'ah
sesudah habis waktu (Fathul Bari, Juz’u II, halaman 208).
2.
Bab mengqadha sembahyang (Fathul
Bari, Juzu' II, halaman 212).
3.
Bab perang Khandak (Fathul Bari,
Juz’u VIII, halaman 409).
Dalam hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Muslim ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. meninggalkan
sembahyang 'Ashar ketika sibuk-sibuknya peperangan. Nabi meninggalkan
sembahyang ketika itu bukan karena lupa, karena tidak mungkin lupa bagi orang
sebanyak itu, yaitu Nabi dan sahabat-sahabat, tetapi sengaja ditinggalkan demi
untuk melayani peperangan lebih dahulu.
Juga bukan karena tertidur, karena bagaimana orang
bisa tertidur dalam perang yang berkecamuk. Maka sembahyang yang ditinggalkan
beliau dan sahabat-sahabat beliau dengan sengaja itu, lantas diqadha pada waktu
Magrib dalam suatu tempat yang agak jauh dari medan pertempuran, setelah
matahari terbenam dan waktu 'Ashar tidak ada lagi. Beliau ketika itu mengqadha
sembahyang yang tinggal lebih dahulu dan. kemudian baru sembahyang Magrib.
Terang-benderang dalam hadits ini, bahwasanya sembahyang yang ditinggalkan
dengan sengaja wajib diqadha, sama juga keadaannya dengan sembahyang yang
ditinggalkan karena lupa atau karena tertidur.
Hadits ini sudah cukup kuat untuk menolak fatwa
orang yang mengatakan, bahwa sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak
wajib diqadha. Dari hadits ini dapat diambil 3 pengertian, seperti yang diambil
oleh Imam Bukhari, yaitu:
1.
Sembahyang yang ditinggalkan wajib
diqadha, baik yang ditinggalkan karena lupa, karena tertidur atau karena
disengaja.
2.
Dalam mengqadha sembahyang yang
tinggal boleh dilakukan berjama'ah.
3.
Untuk membayar sembahyang yang
tinggal dengan berjama'ah disyari'atkan juga adzan.
4.
Mengqadha atau meninggalkan
sembahyang yang ditinggalkan dengan sangaja wajib bersegera, dan harus
didahulukan dari mengerjakan sembahyang yang ada (tunai).
5.
Dalam waktu yang sangat sulit
seperti dalam peperangan yang berkecamuk itu, boleh meninggalkan sembahyang dan
tidak berdosa sesuai dengan hukum "darurat", tetapi wajib diqadha
dalam satu kesempatan yang pertama.
Keenam.
Tersebut dalam kitab hadits begini:
Artinya: "Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Nabi
mengatakan kepada seseorang yang menyetubuhi isterinya siang hari bulan
Ramadhan, bahwa harus berpuasa satu hari (untuk Qadha) serta ia harus membayar
denda, karena ia melanggar hukum yaitu merusakkan puasanya yang wajib baginya
dengan bersetubuh dengan isterinya"[15]
(Hadits riwayat Imam Baihaqi).
Hadits yang serupa ini artinya terdapat juga dalam
kitab hadits Abu Daud bunyinya:
Artinya: "Engkau dan famili engkau boleh memakan tamar
denda dan puasalah satu hari penggantinya dan mintalah ampun kepada Tuhan"
(H.R. Abu Daud).[16]
Dari kedua hadits ini ternyatalah bahwa puasa yang
ditinggalkan dengan sengaja wajib diqadha, di samping harus membayar denda,
memberi makan 60 orang miskin. Kalau meninggalkan puasa dengan sengaja wajib
diqadha, scsuai dengan kedua hadits yang akhir ini, maka sembahyang yang
ditinggalkan dengan sengaja wajib juga diqadha, karena puasa dan sembahyang
sama-sama rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan.
C. Metode Istimbat Hukum Mazhab Syafi’i Tentang Qadha Shalat Yang Ditinggal Dengan Sengaja
Posisi "tengah" Imam Syafi’i terlihat dalam
dasar-dasar mazhabnya. Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia
menjelaskan kerangka dan dasar-dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana
merumuskan hukum-hukum far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi.
Baginya, Al-Qur'an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan
satu-kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti
qiyas, istihsan, istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode
merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan
karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. Menurut Syafi’i, kedudukan
Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas
dari Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan
membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya, Sunnah Nabi
saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan Al-Qur'an. Hal
itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah Kalamullah; Nabi Muhammad
saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang
diturunkan oleh Allah.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis
Syafi’i adalah pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan
ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu
Syafi’i menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.
Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan
nash-nash hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa
dan haji, atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah
dan lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam
Al-Qur'an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu
pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus
dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah yang
menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan
suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan
Al-Qur'an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi
dan menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang
taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu
hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an,
karena Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi
menjauhi yang dilarang.
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk
berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam
Al-Qur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu
dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas
pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat),
misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan, yang
artinya:
"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan
taatilah Rasul dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka
apabila kamu berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul."
Menurut Imam Syafi’i, "Kembalikanlah kepada Allah
dan Rasul", artinya kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian
itu hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat-
ayat lainnya, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an
itu sendiri dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi
tengah" pemikiran metodologis Syafi’i. la begitu teguh dalam berpegang
pada Al-Qur'an dan Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan
rasio dan ijtihad.
Menurut Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun di atas
empat dasar yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum
tersebut adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya
juga menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafi’i punya nuansa dan
paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok rumusan
Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas.
Bagi Syafi’i, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan
karenanya, ia tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma',
sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan
jelas terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam
bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman:
Al-Syafi’i:
"Akankah kita katakan bahwa anda menganggap,
misalnya Ibnu Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang
otoritatif di Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari
generasi tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?"
Lawan: "Ya."
Al-Syafi’i:
"Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah
bertemu dalam pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda
menyimpulkan ijma' mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan,
sesungguhnya, karena anda telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat
pernyataan-pernyataan mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui
pembahasannya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka
telah melakukan qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi
bahwa qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati
oleh para ulama."
Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan
datang dalam beberapa bentuk.
Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat
dari seluruh masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang
dibentuk) dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan
Rasul-Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban
agama.
Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui
perbedaan-perbedaan penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung
dan sesuai dengan akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan
allegoris walaupun ia mungkin dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal
itu menjadi konsensus masyarakat.
Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin
dan mereka telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila
yang disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah,
bagi saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati.
Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai semata-mata
dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui qiyas), karena
pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan.
Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen
yang konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan.
Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat
memasuki pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan
segala sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila
masyarakat umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma'
adalah argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan."
Al-Syafi’i: "Mengenai jenis pengetahuan yang
pertama yang anda jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat
generasi sebelumnya, memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah
anda menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, dimana anda
mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan mentransmisikan
kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada generasi-genarasi sebelumnya?
Dan apa yang anda maksud dengan seluruh masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik
ulama maupun non-ulama...?
Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ...
karena hanya merekalah orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat
pendapat tentang masalah itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal
ini menjadi otoritatif bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi
non-ulama); tetapi jika mereka tidak bersepakat pendapat, maka
pendapat-pendapat mereka tidak mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan
masalah-masalah seperti itu harus dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis)
yang baru berdasarkan apa yang telah disepakati bersama ... Tidaklah penting
apakah ijma' didasarkan pada sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah
tanpa sebuah hadis pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting
apakah hadis verbal yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah
tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun ..., dan bahkan bila
mereka berselisih, tidaklah penting apakah ada hadis verbal yang sesuai dengan
sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu
hadis pun kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..."
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas
dan ijma' dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai
suatu proses asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal
ini terlihat dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang, walaupun
agak berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut
dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'.
Nuansa dan paradigma pemikiran Syafi’i itu selalu
terlihat dalam pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran
ulama sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga, menawarkan
pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh Syafi’i
disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah
partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam
suatu preseden.
Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam
prinsip ini, atau disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu
sifat esensial umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang
lain, seperti istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode
lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bil qawa'id (penalaran analogis
terhadap prinsip umum yang terkandung dalam suatu preseden itu sendiri).
[1]Abu
Zahrah, Syafi 'i, Hayatuhu, Wa Asruhu Wa Ara-uhu Wa Fiqhuhu, hlm.
14, Mesir: Dar Fikr Arabi, 1978, hlm. 30.
[2]Saidus
Sahar, Asas-Asas Hukum Islam, Bandung: alumni, 1983, hlm. 65.
[3]Abu
Zahrah, op. cit, hlm. 18.
[4]
Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Jakarta:
P3M, 1998., hlm. 28-9. Lihat juga Abdul Halim al-Jundi, Al-Imam
Syafi’i, Mesir: Dar Ma'rifah, tth,
hlm. 16-24.
[5]
Husain Hamid Hasan, Al-Madhkal Lidirasat al-Fiqh al-Islam, Beirut: dar
al-fikr, tth., hlm. 193.
[6] Ibid.
[7]
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, jilid V, bagian ke-10, Beirut:
Dar Kutub, 1985, hlm. 263
[8]Muhyiddin
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, juz 5, Beirut: Daar
al-Fikr, tth, hlm. 181.
[9] Ibid
[10] Ibid,
hlm. 182.- 183.
[11]Al-Imam Abul Husain Muslim
ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, juz 1, Mesie:
Tijariah Kubra, tth, hlm. 275.
[12]Muhyiddin
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, juz 5, op. cit, hlm. 193
[13]
Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al Bari Syarah Bukhari, juz 4, Kairo Mustafa al-Halabi, 1378 h, hlm. 473.
[14]
Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah
al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, juz 1, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990
M, hlm. 81.
[15]Hadits
riwayat Imam Baihaqi dalam Sunan Al Kubra Juz' IV hlm, 226-227. Hadits ini ditaruh oleh Imam Nawawi
dalam kitab 'Al Majmu'", syarah Muhadzab, juzu III, hlm. 71, dengan
mengatakan bahwa hadits ini sanadnya jaiz, yaitu baik.
[16]
Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, juz 2, Sunan
Abi Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 314..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar