Laman

Jumat, 27 Desember 2013

PENDAPAT MAZHAB SYAFI’I TENTANG QADHA SHALAT YANG DITINGGAL DENGAN SENGAJA



A.     Biografi  dan Sketsa Pemikiran Mazhab Syafi’i
 
Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Muhammad bin Idris, lahir tepat pada tahun wafatnya Imam Abu Hanifah (tahun 150 H) dan wafat di Mesir tahun 204 H. Sebagian besar riwayat menyebutkan bahwa Imam Syafi’i lahir di daerah Ghazza, Syam (Palestina) dari keturunan Quraisy dan nasabnya bertemu dengan Nabi Muhammad saw. pada kakeknya, Abdi Manaf.[1] Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Pada usia dua tahun ia dibawa ibunya pindah ke Mekkah.[2]
Dalam usia kanak-kanak, sekitar tujuh tahun, ia sudah hafal Al- Qur'an di luar kepala. Sesudah itu ia menghafal hadis-hadis Nabi. Syafi’i juga tekun belajar bahasa Arab, bahkan karena minatnya yang sedemikian besar pada bidang ini membawanya selalu berkelana ke pelosok-pelosok pedesaan. Sehubungan dengan kecenderungan-nya ini, Syafi’i berkata, "Saya selalu pergi ke pelosok-pelosok desa (badawah). Saya lama hidup di tengah-tengah masyarakat Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab ... Ketika kembali ke Mekkah, saya punya felling sastra yang dalam.[3] Ibnu Katsir dalam salah satu keterangannya menyebutkan bahwa Imam Syafi’i hidup di tengah-tengah masyarakat desa Huzail yang terkenal fasih dalam bahasa Arab selama sepuluh tahun.
Barangkali hal inilah yang menyebabkan Syafi’i ahli dalam bidang puisi dan sastra serta mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyusun bahasa yang indah. Bidang itu pula yang mula-mula digeluti Syafi’i ketika di Najran, Yaman, dengan mendapat sambutan baik dari gubernurnya. Tetapi gubernur ini jugalah yang di kemudian hari menuduhnya bersama sembilan orang lainnya sebagai pelaku tindak subversif menentang pemerintahan Abbasiyah dan secara diam-diam membela kelompok Alawiyyin. Sembilan orang itu akhirnya dihukum mati, sedangkan Syafi’i sendiri mendapat pengampunan khalifah Harun Ar-Rasyid lantaran Harun sangat mengagumi ilmu dan kecerdasan Syafi’i dalam bertutur kata.[4]
Dalam masalah fiqih, mula-mula ia belajar dari Syeikh Muslim bin Khalid al-Zinji hingga mendapat kesaksian dari Syeikhnya ini untuk memberikan fatwa. Saat itu Syafi’i berumur lima belas tahun. "Ya, Abu Abdullah," kata al-Zinji menyebut panggilan Syafi’i, "Sudah sampai waktumu untuk memberi fatwa."[5]
Imam Syafi'i memang telah sampai pada tingkat itu, tetapi kemauannya yang keras untuk terus menuntut ilmu membuatnya tidak berhenti hingga di situ saja. Ilmu memang tidak berbatas dan bertebing. Karenanya, semakin dalam menyelaminya semakin tahu akan kedalamannya, atau meminjam istilah Syafi’i "Setiap kali ilmuku bertambah, bertambah pula kebodohanku.
Ketika mendengar kealiman Imam Malik dengan buku monumentalnya, Muwattha di Madinah, Syafi’i membatalkan untuk menuntut ilmu ke Yatsrib. Sebelum berangkat ke Madinah, ia meminjam Muwatha Malik kepada salah seorang temannya di Mekkah dan menghafalnya dalam jangka waktu sembilan hari. Imam Malik benar-benar kagum terhadap kealiman Syafi’i dalam ilmu hadis. "Ya Muhammad, bertakwalah kepada Allah, jauhilah segala kemaksiatan... Sesungguhnya Allah telah membersitkan cahaya di hatimu, maka jangan padamkan cahaya itu dengan maksiat," kata Malik, kagum. "Besok kamu datang lagi ke mari dan baca apa yang kamu baca sekarang."[6]
Menurut pengakuan Syafi’i, Imam Malik sangat mengagumi kemerduan bacaan Syafi’i dan keindahan untaian bahasanya sehingga ia selalu menyuruh, "Bacalah sekali lagi." Selain kepada Malik, ia pun belajar hadis dari Sufyan bin 'Uyainah, Fudhail bin lyadh dan pamannya sendiri, Muhammad bin Syafi'.
Pada diri Syafi’i terkumpul pemikiran fiqih fuqaha Mekkah, Madinah, Irak, Syam dan Mesir. Ar-Razi, seperti dikutip Abu Zahrah, mengatakan bahwa hampir semua ulama terkemuka yang hidup di zamannya pernah menjadi gurunya atau, paling tidak, pernah mendiskusikan berbagai persoalan dengannya. Guru-gurunya yang betul-betui ahli fiqih sekitar sembilan belas orang, lima orang dari Mekkah, enam orang dari Madinah, empat orang dari Yaman dan empat orang dari Irak.
Pengalaman yang diperoleh Imam Syafi’i dalam berbagai aliran fiqih dan hadis dan bahkan teologi, telah membuatnya berwawasan luas dengan pisau analisisnya yang tajam. la mengerti letak kekuatan dan kelemahan, luas dan sempitnya pandangan masing-masing mazhab tersebut. Memang agak sulit untuk menebak arus pemikiran Syafi’i. Selain pemikiran tradisional Imam Malik, ia pun mempelajari dengan sungguh-sungguh fiqih ulama-ulama Irak. la datang kepada Muhammad bin Hasan, seorang murid Imam Abu Hanifah yang banyak menyebarkan pemikiran-pemikiran fiqihnya, mendiskusikan berbagai persoalan dengannya. Dengan demikian, Muhammad bin Hasan juga guru Imam Syafi’i, sekalipun tidak disebutkan oleh ar-Razi.
Ada keterangan bahwa Imam Syafi’i tidak saja mengagumi pemikiran rasionalisme Abu Hanifah, pemikiran tradisionalisme Malik, pemikiran reformisme Auza'ie dan Laits, tetapi juga pemikiran-pemikiran fundamentalisme Syi'ah dan Mu'tazilah. Dalam kajian-kajian sejarah Ibnu Katsir disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata secara sangat apresiatif, "Barangsiapa yang ingin memperdalam fiqih ia harus menjadi anak asuh Abu Hanifah, yang ingin memperdalam sejarah harus menjadi anak asuh Muhammad bin Ishaq, yang ingin memperdalam hadis harus menjadi anak asuh Imam Malik, dan yang ingin memperdalam tafsir harus menjadi anak asuh Muqathil bin Sulaiman.[7]
Muqathil bin Sulaiman yang disebutkan Syafi’i sebagai ahli di bidang tafsir adalah pemikir Syi'ah Zaidiyah sebagaimana diteliti oleh Ibnu Nadzim. Di antara karya-karya tafsir Ibnu Sulaiman ini adalah al-Tafsir al-Kabir, al-Qiraat, dan Mutasyabih bil Qur 'an al Jawabat bil Qur 'an. Pemikiran-pemikiran Ibnu Sulaiman ini telah dikaji secara mendalam oleh Syafi’i sehingga ia pun berkesimpulan bahwa Ibnu Sulaiman adalah orang yang betul-betul alim dalam bidang tafsir.
Keterangan ini tidak dimaksudkan untuk mendukung dugaan sementara para pengamat tentang kecenderungan Imam Syafi’i terhadap Syi'ah Zaidiyah, atau tuduhan beberapa pejabat pemerintahan Harun al- Rasyid bahwa ia adalah Syi'ah dan secara diam-diam membaiat orang-orang Alawiyyin. Keterangan ini tanpa ada keraguan lagi menunjukkan kesungguhan Imam Syafi’i dalam menimba ilmu dan pengalaman. la tidak peduli siapa yang memiliki ilmu tadi. Bahkan ar-Razi pernah melemparkan berita kontroversial dalam masalah ini. "Imam Syafi’i," kata Razi, "pernah juga belajar dari orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuanYunani." Razi meriwayatkan bahwa ketika Imam Syafi’i diajukan ke hadapan khalifah Al-Rasyid yang saat itu disaksikanjuga oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan, karena tuduhan membangkang kebijaksanaan pemerintah dan bahkan secara diam-diam mendukung Syi'ah. Al-Rasyid bertanya, "Bagaimana ilmu kamu tentang kedokteran?" Saya tahu apa yang dikatakan pakar-pakar kedokteran Romawi dan para ahli seperti Aristoteles, Hippocrates, Galenos dengan bahasa mereka sendiri. Saya juga tahu apa yang dikaji oleh para filosof India dan ilmuwan Persia."
Kisah ini memang dipertanyakan kevalidannya oleh para ahli terma- suk Ibnu Qayyim dan Abu Zahrah karena kedatangan Syafi’i ke Baghdad diperkirakan tahun 184 H. atau sesudah meninggalnya Abu Yusuf. Tetapi bahwa pengembaraan ilmiah Syafi’i yang sedemikian jauh itu telah membentangkan keluasan cakrawala dan kematangan pemikirannya, tidak seorang pun yang dapat membantahnya.
Imam Ahmad bin Hambal mengekspresikan keluasan cakrawala pemikiran Syafi’i dengan pernyataannya, "Nabi bersabda, bahwa Allah mengutus untuk ummat ini setiap penghujung seratus tahun seorang yang akan memperbaharui perkara agamanya. Umar bin Abdil Aziz berada di penghujung seratus tahun sebagaimana saya berharap Syafi’i akan juga berada di penghujung seratus tahun berikutnya."
Daud bin Ali al-Dhahiri juga pernah berkata, "Pada diri Syafi’i menyatu berbagai kelebihan yang tidak dimiliki ulama lainnya. la berasal dari keturunan terhormat, berbudi luhur... Hafal Al-Qur'an, Sunnah, sejarah khulafa' dan memiliki kecakapan berbicara dan menulis."
Dengan bekal ini Imam Syafi’i mulai melangkah membangun pemikiran fiqihnya secara moderat. la mempelajari secara seimbang pemikiran fiqih yang berkembang di Hijaz dan Irak, apalagi pada zaman Syafi’i, perbedaan antara ahli hadis (Hijaz) dan ahli ra'y (Irak) tidak terlalu runcing. Imam Syafi’i mempergunakan metode ahli hadis dalam kehati-hatiannya menyeleksi hadis, dan pada saat yang sama mengembangkan pemikiran ahli ra'y dalam menggali tujuan-tujuan moral dan 'illat dibalik hukum yang tampak (literal), misalnya, dalam bentuk penggunaan teori qiyas.
la sependapat dengan mazhab gurunya, Imam Malik, dalam mengambil ijma' sebagai sumber hukum sesudah Al-Qur'an dan Sunnah, tetapi ia memberikan persyaratan-persyaratan yang cukup ketat sehingga ijma' bukan semata-mata hasil pemikiran para ahli tanpa ketentuan-ketentuan yang pasti. Di lain pihak, Syafi’i sepakat dengan pendapat Imam Abu Hanifah dalam hal kecenderungan menggunakan ijtihad dan rasio, tetapi ia menolak penggunaan teori istihsan Abu Hanifah dan dianggapnya sebagai mempermainkan agama. "Barangsiapa yang melakukan istihsan, berarti ia telah membuat-buat hukum syariat," kata Syafi’i.
Pada suatu ketika, demikian diceritakan oleh al-Muzanni, Imam Syafi’i sedang duduk-duduk bersamanya. Tiba-tiba datang seorang Syeikh berbaju shuf dengan tongkat di tangannya. Syeikh itu mendekat dan duduk di dekat Syafi’i. "Apa hujjah (dalil) dalam agama Allah?" tanya orang itu.
"Kitabullah,"jawab Syafi’i.
"Lalu apa?"
"Sunnah Rasulullah."
"Lalu apa?"
"Kesepakatan ummat."
"Dari mana kamu mendapatkan yang terakhir ini? Apakah itu ada dalam Kitabullah?" tanya orang itu kemudian.
Imam Syafi’i tidak menjawab.
"Saya beri kamu waktu tiga hari tiga malam. Kamu harus mempunyai alasan dari Kitabullah. Jika tidak, kamu harus menyingkir dari manusia," kata Syeikh sembari beranjak pergi meninggalkan Syafi’i dalam keterpakuannya.
Selama tiga hari tiga malam Imam Syafi’i tidak keluar rumah. Pada hari keempat ia keluar antara waktu Dhuhur dan Ashar. Syeikh itu pun datang di tempat pertemuan semula.
"Mana permintaanku?"
"Baiklah," jawab Imam Syafi’i. Kemudian ia membaca Surat An-Nisa' ayat 15, yang artinya: "Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti jalan-jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, niscaya Kami akan hadapkan mereka kepada tujuannya dan akan Kami masukkan ke dalam neraka Jahanam." Dalam ayat ini, demikian kata Syafi’i, Allah menegaskan bahwa bagi orang-orang yang berbuat sesuatu yang bertentangan dengan "jalan orang-orang yang beriman" akan dimasukkan ke dalam neraka. Dengan demikian adalah wajib hukumnya mengikuti "jalan orang-orang beriman."
"Kamu benar," lalu Syeikh itu, pergi meninggalkannya. Fakhrur Razi membenarkan kisah ini. Bahkan ia meriwayatkan bahwa ketika Syafi’i ditanya tentang ayat yang menerangkan kebenaran ijma' sebagai sumber hukum dalam Islam, ia membaca Al-Qur'an sebanyak 300 kali, kemudian menemukan ayat di atas.
Cerita ini menggambarkan sikap Syafi’i yang sangat hati-hati dalam menyikapi hukum Islam. Kehidupan ilmiahnya bersama Imam Malik di Hijaz selama tiga tahun, dengan tatanan kehidupan sosial yang sederhana, membuat Imam Syafi’i cenderung pada aliran hadis, bahkan mengaku sebagai pengikut mazhab Maliki. Tetapi sesudah ia mengembara ke Baghdad, Irak, dan menetap di sana untuk beberapa tahun lamanya serta mempelajari fiqih Abu Hanifah dan pemikiran rasional ahli ra'y, maka mulailah ia condong pada aliran rasionalisme. Apalagi setelah dirasakan  sendiri tingkat kebudayaan di Irak sebagai daerah perkotaan menyebabkan aneka ragam masalah kehidupan berikut problematikanya yang seringkali tidak ditemukan ketentuan jawabannya dalam Al-Qur'an dan Sunnah.
Kedua kondisi yang berbeda mi dapat diikuti dengan cermat sehingga melahirkan suatu sintesa pemikiran fiqih moderat antara fiqih ahli hadis dan fiqih ahli ra'y yang benar-benar orisinil. Sebagaimana yang disimpulkan oleh al-Dahlawi dalam bukunya Hujjatullah al-Balighah memang benar, bahwa perkembangan Imam Syafi’i pada masa-masa awal perumusan dua mazhab (mazhab Hanafi dan mazhab Maliki) itu telah banyak mewarnai pemikiran fiqih mazhab Syafi’i yang moderat (tawassuth) dan cenderung pada sikap jalan tengah.
Imam Syafi’i dalam beberapa hal, berbeda pendapat dengan Imam Malik, dan perbedaan itu berkembang sedemikian rupa sehingga ia menulis buku Ikhtilaf Malik (Tanggapan terhadap Malik) yang sebagian besar berisi kritikan terhadap pemikiran fiqih gurunya itu. Ia juga terjun dalam perdebatan-perdebatan sengit dengan pengikut mazhab Hanafi, dan banyak melontarkan koreksi terhadapnya. Dari kritik-kritik Imam Syafi’i terhadap kedua mazhab tersebut akhirnya ia muncul dengan mazhab baru yang merupakan sintesa antara fiqih ahli hadis dan fiqih ahli ra'y.
Qaul Jadid. dan Qaul Qadim Selain pengembaraan intelektual dan keilmuan yang sedemikian rupa sebagaimana dijelaskan di atas, fiqih Imam Syafi’i juga merupakan refleksi zamannya. Dengan kata lain, kehidupan sosial masyarakat dan keadaan zamannya amat mempengaruhi Imam Syafi’i dalam membentuk pemikiran dan mazhab fiqihnya. Sejarah hidupnya menunjukkan bahwa dia amat dipengaruhi oleh masyarakat sekitar. Munculnya dua kecenderungan dalam mazhab Syafi’i yang disebut qaul jadid dan qaul qadim (mazhab baru dan mazhab lama) akan sangat menguatkan kesimpulan ini.
Penelitian yang mendalam tentang munculnya istilah qaul jadid dan qaul qadim ini akan membuktikan fleksibilitas fiqih dan adanya ruang gerak dinamis bagi kehidupan, perkembangan dan pembaharuan. Menurut para ahli sejarah fiqih, mazhab qadim Imam Syafi’i dibangun di Irak, tahun 195 H. Kedatangan Imam Syafi’i ke Baghdad pada masa pemerintahan khalifah al-Amin itu melibatkan Syafi’i dalam perdebatan sengit dengan para ahli fiqih rasional Irak.
Di tengah-tengah pergumulan intelektual itu,  Syafi’i menulis buku al-Hujjah (Argumentasi) yang secara komprehensif memuat sikapnya terhadap berbagai persoalan yang berkembang. Selama dua tahun di Irak, ia telah berhasil mempengaruhi pemikir-pemikir Irak seperti Ahmad bin Hambal, Abu Tsaur, al-Za'farani dan al-Karabisi, kemudian pulang kembali ke Hijaz untuk beberapa waktu lamanya. Pada tahun 198 H, Syafi’i datang lagi ke Irak untuk yang ketiga kalinya dan menetap selama beberapa bulan kemudian pindah ke Mesir.
Sedangkan mazhab jadid adalah pendapatnya selama berdiam di Mesir yang dalam banyak hal mengoreksi pendapat-pendapat sebelumnya. Pemikiran-pemikiran baru Syafi’i itu di antaranya dimuat dalam bukunya Al-Umm, yang disampaikannya secara lisan kepada murid-muridnya di Mesir. Lahirnya mazhab jadid ini, demikian kesimpulan para ahli, merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialaminya, dari penemuan hadis, pandangan dan kondisi sosial baru yang tidak ditemui sebelumnya di Hijaz dan Irak.
Kajian lebih mendalam tentang hal ini akan membuktikan bahwa lahirnya mazhab qadim dan mazhab jadid bukan merupakan tahapan dari perkembangan "kematangan" pemikiran Syafi’i, sebagaimana didakwakan oleh sebagian para ahli, tetapi lebih sebagai suatu refleksi dari kehidupan sosial yang berbeda. Sebagaimana dua Imam sebelumnya, pemikiran fiqih Imam Syafi’i dipengaruhi faktor sosial budaya di mana ia hidup.
Sebelum pergi ke Baghdad untuk yang pertama kalinya (tahun 184 H), Imam Syafi’i belum merumuskan pemikiran mazhab barunya. la bahkan mengaku sealiran dengan mazhab gurunya, Imam Malik. Saat itu ia mendapat gelar nashir al-hadits (penyelamat hadis) karena kegigihannya membela pemikiran fiqih ahli hadis di Madinah. Pada tahun 184 H. untuk yang pertama kalinya ia pergi ke Baghdad karena tuduhan mendukung kelompok Alawiyyin dan menganut paham Syi'ah.
Selama di Baghdad ia sering terlibat perdebatan sengit dengan ulama-ulama Irak yang cenderung pada pemikiran rasional. Ia juga berdiskusi dengan Muhammad bin Hasan al-Syaibani dan darinya ia mempelajari fiqih Abu Hanifah.
Rupaya kedatangannya di Irak memberikan kesan tersendiri. Pemikiran rasionalisme, tingginya tingkat kebudayaan dan peradaban di Irak menyadarkan Syafi’i akan perlunya sikap kritis dalam mengkaji berbagai aliran pemikiran yang berkembang. Pemikiran rasionalisme yang berkembang di Irak sebagai suatu tesa dan munculnya antitesa pemikiran tradisionalisme di Madinah merupakan feed back (umpan balik) munculnya sintesa pemikiran moderat Syafi’i, antara fiqih ahli ra'y dan fiqih ahli hadis. Sejak itulah Syafi’i mulai mengkaji pendapat-pendapat Imam Malik secara kritis dan analitis, dan mengoreksi pemikiran ulama-ulama Irak dengan sangat argumentatif.
Setelah beberapa lama di Irak, Syafi’i pergi ke Mekkah, dan di sana untuk pertama kali ia membentuk semacam pengajian {halaqah) di masjid al-Haram. Itulah awal mulanya terbentuknya mazhab Syafi’i. Karenanya, jika kita melihat secara kronologis tentang pembentukan mazhab fiqih Syafi’i, kita akan menemukan mazhab ini melewati tiga tahapan. Tahapan pertama di Mekkah, kedua di Baghdad ketika berdiam untuk kedua kalinya, dan ketiga di Mesir. Dari ketiga tahapan ini lahir pengikut-pengikut mazhab yang menyebarkan pemikiran fiqih Syafi’i sesuai kecenderungan umum dari tiap-tiap tahapan. Batasan-batasan waktu dari ketiga tahapan tadi memang belum ada data pasti. Pengelompokan ini didasarkan pada karakteristik dan kecenderungan umum yang menandai perbedaan antara satu tahapan dengan tahapan lainnya.
Imam Syafi’i berada di Mekkah selama kurang lebih sembilan tahun. Saat itu adalah masa kehidupan ilmiah yang paling kreatif dan enerjik. Saat itu usianya kira-kira empat puluhan, dan baru saja mempelajari berbagai pendapat dan aliran pemikiran. Kegemarannya melakukan pengembaraan ilmiah ke berbagai daerah membuatnya bercakrawala luas, memiliki kedalaman ilmu dan kaya pengalaman. Di Mekkah inilah ia mulai merumuskan pemikirannya, khususnya dalam bidang fiqih, secara sungguh-sungguh dan mendalam.
Barangkali karena sifatnya yang global, pemikiran Syafi’i di'Mekkah menarik perhatian berbagai kalangan. Ahmad bin Hambal adalah termasuk ulama yang sangat apresiatif terhadap pemikiran global Syafi’i. la meninggalkan pengajian gurunya, Ibnu 'Ubaidah, dan pindah ke pengajian Imam Syafi’i di masjid al-Haram. Ketika ada orang yang menganggapnya plin-plan dalam menentukan tempat belajar, Ahmad bin Hambal menjawab, "Diam kamu! Apabila kamu ketinggalan suatu hadis kamu akan menemukannya di tempat lain. Itu tidak jadi persoalan. Tapi jika kamu ketinggalan orang ini (sambil menunjuk Syafi’i) saya khawatir kamu tidak akan mendapatkannya yang serupa sampai hari Kiamat. Saya tidak pernah menjumpai orang yang lebih paham tentang Al-Qur'an dari orang ini." Mungkin pemikiran fiqih global itu pula yang menyebabkan Ahmad bin Hambal berkesimpulan, "Fiqih adalah kunci, dan Allah telah membukanya lewat Syafi’i."
dapat dinyatakan bahwa tahapan pertama ini merupakan periode perumusan metode berpikir dan kaidah-kaidah dasar. Syafi’i, terbukti, belum banyak memasuki masaah-masaah far'iyyah. Dengan kata lain, karakteristik pemikiran fiqih Syafi’i pada tahapan ini lebih bersifat global dan perumusan kaidah-kaidah dasar yang akan menjadi pijakannya dalam melakukan ijtihad dan kajian-kajian fiqih. Bukunya al-Risalah yang ditulis kepada Abdur Rahman bin Mahdi, adalah bukti sejarah yang nyata dari karakteristik pemikiran fiqih global Syafi’i pada tahapan ini. Abdur Rahman bin Mahdi memang pernah menyarankan agar Syafi'i menulis suatu buku yang membahas tentang pengertian Al-Qur'an, hadis, ijma', nasikh dan mansukh. Memang ada riwayat yang menyebutkan bahwa buku al-Risalah itu ditulis di Baghdad ketika ia datang untuk yang kedua kalinya. Tidak perlu memperdebatkan apakah buku al-Risalah itu ditulis di Mekkah atau Baghdad, sebab yang sudah pasti jika benar ditulis di Baghdad buku itu merupakan hasil dari kajian-kajian Syafi’i di masjid al-Haram.
Pada tahun 195 H. ia kembali ke Baghdad dan berdiam di sana selama tiga tahun. Kiranya pemikiran-pemikiran globalnya mendapat sambutan positif dari ulama-ulama Irak. Al-Karabisi pernah berkata, "Saya tidak tahu bagaimana melakukan istidlal dari Al-Qur'an, hadis dan ijma', sehingga mendapat penjelasan dari Syafi’i."
Di Baghdad ini ia mulai memperlihatkan sikapnya terhadap pendapat-pendapat fuqaha yang hidup di zamannya dan bahkan pendapat para sahabat dan tabi'ien. Imam Syafi’i mempraktekkan kaidah-kaidah ushuliyahnya terhadap berbagai pendapat yang berkembang saat itu dan menjelaskan letak perbedaan dan alasannya, seperti perbedaannya dengan pendapat Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsabit, kemudian mengemukakan perbedaannya dengan Abu Hanifah dan Abu Laila yang diperoleh dari keterangan Abu Yusuf.
Tanggapan Syafi’i itu disebut Ikhtilaf al-'Iraqiyyin (Sanggahan terhadap orang-orang Irak). Kemudian ia mengoperasikan kaidah-kaidah ushuliyahnya tadi terhadap pendapat-pendapat al-Waqidi, al-Auza'ie dan pendapat-pendapat ulama lainnya. Dari situ Imam Syafi’i seringkali mengemukakan "pendapat alternatifhya" di antara berbagai pendapat yang berkembang saat itu.
Karakteristik pemikiran Syafi’i tahapan kedua ini lebih bersifat pengembangan atau pengetrapan pemikirannya yang global terhadap masalah-masalah far’iyyah. Pluralisme pemikiran yang ada di Irak adalah faktor utama yang menyebabkan kematangan pemikiran fiqih Syafi’i.
Kemudian ia pindah ke Mesir pada tahun 199 H. hingga wafat tahun 204 H. Selama empat tahun di Mesir, ia berusaha melangkah lebih jauh dalam suatu situasi yang berbeda. Tahun-tahun terakhir di Mesir hingga saat wafatnya, ia gunakan untuk menulis sebagian besar buku-bukunya, bahkan juga untuk merevisi buku-buku yang pernah ditulisnya. Bukunya al-Risalah yang ditulis ketika di Mekkah direvisi ulang, dikurangi dan ditambah sesuai perkembangan baru yang ia temui di Mesir. Di negeri ini ia meletakkan dasar-dasar mazhab barunya (qaul jadid).
Inilah tahapan ketiga dari pembentukan mazhab Syafi’i. Agaknya masyarakat Mesir telah memberikan anugerah dan pengaruh yang besar ke arah posisi "tengah" fiqih Syafi’i di antara fiqih Maliki dan fiqih Hanafi. Mesir merupakan negeri yang kaya dengan warisan adat-istiadat, tradisi dan kaya dengan warisan budaya, peradaban dan pemikiran seperti kebudayaan Fir'aun, Yunani, Persia, Romawi dan Arab.
 Karakteristik yang paling menonjol dari tahapan ketiga ini terletak pada kajian-kajian analitis Syafi’i terhadap berbagai pemikiran yang berkembang dan bahkan terhadap pemikirannya sendiri sekalipun. Pada tahapan ketiga ini ia meninjau ulang pemikiran-pemikirannya. Kadang-kadang ia menguatkan pendapat barunya dan tidak jarang pula membiarkan kedua pendapat (qaul qadim dan qaul jadid) tersebut menjadi rujukan sesuai kondisi di mana ia akan praktekkan. Sikap ini harus dipahami dengan baik agar kita dapat mendudukkan masalah-masalah fiqih dan pemikiran pada porsi yang sebenarnya. Artinya, masalah-masalah fiqih dan pemikiran bukanlah sesuatu yang abadi (eternal), melainkan merupakan refleksi kehidupan sosial. la akan terus berkembang dan berubah sejalan dengan perubahan masyarakat dan zamannya.
B.     Pendapat Mazhab Syafi’i Tentang Qadha Shalat Yang Ditinggal Dengan Sengaja
Imam Nawawi, seorang mujtahid fatwa dalam lingkungan madzhab Syafii, menerangkan dalam kitab Syarah Muslim, bahwa seseorang yang ketinggalan sembahyang yang fardhu wajib diqadha. Andaikata ketinggalan itu karena udzur yang memaksa, maka qadha boleh dilambatkan, tetapi sunnat menyegerakan. Jika  ketinggalan itu tanpa uzur, umpamanya ketinggalan itu karena disengaja, maka wajib qadha dengan segera. Membayar shalat yang banyak tertinggal harus dibayar menurut tertib cara tinggalnya, yang dahulu didahulukan dan yang kemudian dikemudiankan, tertib ini hukumnya sunnat. Kalau yang tinggal itu sembahyang sunnat rawatib, yakni sembahyang sunnat yang biasa dikerjakan sebelum dan sesudah sembahyang harus juga diqadha.[8]
Adapun sembahyang sunnat yang dikerjakan karena sebab khusus, umpamanya sembahyang kusuf matahari, sembahyang khusuf bulan, sembahyang istisqa, maka tidaklah disyari'atkan mengqadhanya, kalau sudah terlepas dari waktunya. Demikianlah hukum fiqih dalam Madzhab Syafi'i yang bertalian dengan ketinggalan sembahyang.[9]
Dalil-dalil Madzhab Syafi’i itu:

Pertama

Tersebut dalam kitab hadits











Artinya: "Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Nabi Muhammad Saw. ketika kembali dari peperangan Khaibar, beliau berjalan malam hari, sampai beliau mengantuk dan lain herhenti untuk tidur. Nabi memerintahkan kepada sahabat beliau bernama Bilal (tukang adzan) supaya berjaga-jaga, jangan tidur, dikhawatirkan jangan tertidur semuanya. Nabi terus tidur dan Bilal terus sembahyang pada malam buta itu. Tetapi setelah dekat fajar. Bilal pun mengantuk pula, tidak tahan matanya, maka beliau bersandar pada kendaraannya dan lalu tertidur pulas pula. Maka Rasulullah dan sahabat-sahabat, begitu juga Bilal yang disuruh berjaga-jaga, dibangunkan oleh matahari yang sudah tinggi, dan waktu subuh luputlah. Rasulullah Saw. mula-mula terbangun dan beliau sangat susah, lalu berkata kepada Bilal: Hai Bilal, bagalmana ini ? Bilal menjawab: Wah, sayapun tertidur pula ya Rasulullah, saya tak kuat menahan mata saya. Lalu Nabi memerintahkan supaya seluruh sahabatnya berangkat, naik onta semuanya. Tidak jauh dari tempat itu beliau berhenti lagi dan langsung berwudhu', memerintahkan kepada Bilal supaya qamat. Maka Nabi sembahyang Subuh bersama-sama mereka, mengqadha sembahyang yang luput. Setelah selesai mengqadha sembahyang Nabi bersabda : Barangsiapa kelupaan sembahyang, maka hendaklah la bayar (qadha) sembahyang itu kapan dia ingat, karena Tuhan berfirman: "Tegakkanlah sembahyang untuk mengingat Aku"[10] 

Dari rangkaian hadits ini dapat dipetik beberapa hukum;
1.      Berjalan pada malam hari boleh, tidak apa-apa.
2.      Kalau mengantuk boleh tidur, tetapi kalau fajar sudah dekat haruslah diadakan seorang penjaga yang tidak tidur untuk membangunkan kalau Subuh sudah datang.
3.      Qadha sembahyang boleh dilambatkan sedikit, karena dalam hadits ini Nabi setelah bangun tidak langsung sembahyang, tetapi berangkat dulu dan setelah beberapa lama berjalan berhenti lagi untuk sembahyang. Di dalam hadits Muslim yang lain diterangkan pula, bahwa sebabnya beliau berangkat, tidak langsung sembahyang, karena tempat beliau tertidur itu adalah tempat syaithan. Tetapi qadha yang boleh dilambatkan itu adalah qadha sembahyang yang ditinggalkan tersebab udzur, yaitu tertidur, sebagai keadaannya Nabi itu.
4.      Mengqadha sembahyang itu boleh dilakukan di luar waktunya karena Nabi sembahyang Subuh yang tertinggal itu seketika matahari sudah naik, sudah di luar waktu Subuh.
5.      Dalam hadits Muslim juga, bertalian dengan masalah ini juga, diterangkan, bahwa Nabi sebelum mengqadha Subuh beliau sembahyang sunnat dua raka'at, sebagai Qadha Sunnat Subuh. Ini berarti bahwa sembahyang sunnat rawatib dianjurkan juga mengqadhanya kalau tertinggal.
6.      Perkataan "barang siapa yang lupa" dalam hadits ini, maksudnya ialah "barang siapa yang tertinggal sembahyangnya", bukan karena lupa betul-betul, karena sebab hadits ini ditetapkan Nabi ialah pada ketika sembahyang tertinggal karena tertidur, bukan karena lupa. Maka dapat dikeluarkan hukum dari hadits ini, bahwa sekalian sembahyang yang tertinggal wajib diqadha, yakni dibayar setelah tiba kesempatan, biar tertinggal itu karena lupa, karena tidur, atau karena disengaja meninggalkannya.
7.      Qadha itu wajib hukumnya, karena Nabi memerintahkan di sini dengan perkataan suruh, yaitu : "hendaklah ia sembahyang setelah ingat".
8.      Sembahyang itu untuk mengingat Tuhan dan untuk jangan melupakan Dia.
Kedua.
Tersebut dalam Kitab Sahih Muslim juga:





Artinya: "Ketahuilah bahwasanya dalam keadaan tertidur tidak ada sia-sia; Yang sia-sia (yang akan dapat hukuman) ialah orang yang tidak mengerjakan sembahyang sampai datang waktu Sembahyang yang lain. Maka barang siapa yang memperbuat demikian hendaklah ia bayar ketika ia Ingat akan sembahyang .itu".[11] 

Dari hadits ini dapat dipetik hukum :
1.      Sembahyang yang tertinggal karena tertidur tidaklah berdosa. Yang berdosa ialah meninggalkan sembahyang dengan sengaja.
2.      Waktu sembahyang itu selain subuh adalah panjang; Waktu Zuhur sampai sembahyang 'Ashar, waktu 'Ashar sampai sembahyang Magrib. waktu Magrib sampai sembahyang Isya, waktu Isya sampai sembahyang Subuh, kecuali Subuh yang pendek waktunya, yaitu dan mulai terbit fajar shiddiq sampai terbit matahari.
Setiap orang mesti sembahyang pada waktunya, kalau tak dapat pada awal waktu di tengahnya atau di akhirnya. Tidak boleh sama sekali ditinggalkan.
Ketiga.
Tersebut dalam kitab hadits:



Artinya; "Barang siapa yang lupa sembahyang atau tertidur maka ia harus membayarkan sembahyangnya itu apabila ia ingat, ada bayaran bagi mereka selain dari itu."[12] (H.R. Imam Muslim). 

Dari hadits ini dapat dipetik hukum:
1.      Meninggalkan sembahyang dengan sebab tertidur atau karena lupa tidak berdosa, karena lupa atau tidur di luar kekuasaan manusia. Tetapi tentu asal jangan dilupa-lupakan atau ditidur-tidurkan.
2.      Membayar sembahyang yang tinggal itu ialah mengqadha sembahyang itu apabila sudah mgat atau sudah bangun.
3.      Sebaliknya, kalau ia meninggalkan sembahyang dengan sengaja maka ia mendapat hukuman dua; 1. Berdosa dan ke 2. Mengqadha.
Keempat
Tersebut dalam kitab hadits begini:





Artinya: "Dari Ibnu Abbas Ra, beliau berkata: Bahwasannya seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi Muhammad Saw. lalu ia bertanya: bahwasanya ibuku bernadzar akan haji, tetapi beliau wafat sebelum membayarkan nadzarnya naik haji itu, apakah boleh saya membayarkan nadzarnya itu, yakni naik haji ? Jawab Nabi: Ya boleh, naik hajilah engkau pengganti dia. Coba engkau pikir, kalau ibumu berutang tentu engkau harus membayar utangnya itu, maka utang kepada Tuhan lebih patut untuk dibavar"[13] (H.R. Imam Bukhari).

Dari dalam hadits ini dapat-diambil hukum-hukum:
1.      Ibadat haji boleh dijadikan nadzar, umpamanya dinadzarkan, kalau ia sembuh dari. penyakit ia akan naik haji tahun di muka. Haji nadzar itu menjadi haji wajib, karena nadzar itu.
2.      Kalau kewajiban nadzar yang belum terbayar karena wafat boleh dibayar oleh anaknya, dengan arti bahwa ibu yang bernadzar tidak berdosa lagi karena meninggalkan pembayaran nadzar itu.
3.      Utang kepada manusia mesti dibayar, dan utang kepada Allah yang lebih mesti untuk dibayar.
4.      Sembahyang yang ditinggalkan, dengan sebab apapun atau dengan tidak sebab apapun wajib dibayar, karena sembahyang itu adalah utang yang wajib dibayar oleh manusia kepada Allah
5.      Barangsiapa yang berfatwa bahwa sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib dibayar, maka ia menentang hadits ini.
6.      Bukan saja utang nadzar atau utang sembahyang, sekalian utang kepada Allah umpamanya puasa, zakat, haji dll. wajib diqadha kalau tertinggal.
7.      Dalam hadits ini Nabi Muhammad Saw. memakai qiyas, memakai perbandingan, yaitu dibandingkan oleh Nabi nadzar haji yang wajib dibayar dengan sekalian utang kepada Tuhan yang wajib dibayar atau diqadha.
8.      Hadits ini menjadi dalil juga, bahwa qiyas itu (perbandingan) adalah salah satu sumber hukum fiqih.
Kelima
Tersebut dalam kitab hadits begini:








Artinya: "Dan Jabir bin Abdillah beliau berkata: bahwasanya Saidina Umar datang kepada Rasulullah Saw. pada ketika peperangan Khandaq, sesudah terbenam matahari, Saidina Umar ketika itu memaki-maki kafir Quraisy dan berkata kepada Rasulullah : Hai Rasulullah, saya hampir tidak sembahyang 'Ashar sampai matahari terbenam, maka Nabi menjawab: Demi Allah, saya juga belum sembahyang 'Ashar. (Berkata Jabir). Maka kami semuanya berangkat he Balkan maka berwudhulah Nabi dan kami berwudhu pula, lalu Nabi sembahyang 'Ashar sesudah terbenam matahari dan sesudah itu baru Nabi sembahyang magrib"[14] (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim).

Hadits ini diletakkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya pada 3 tempat dengan judul yang berlain-lainan, yaitu:
1.      Bab menyatakan sembahyang jama'ah sesudah habis waktu (Fathul Bari, Juz’u II, halaman 208).
2.      Bab mengqadha sembahyang (Fathul Bari, Juzu' II, halaman 212).
3.      Bab perang Khandak (Fathul Bari, Juz’u VIII, halaman 409).
Dalam hadits yang sahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim ini dinyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw. meninggalkan sembahyang 'Ashar ketika sibuk-sibuknya peperangan. Nabi meninggalkan sembahyang ketika itu bukan karena lupa, karena tidak mungkin lupa bagi orang sebanyak itu, yaitu Nabi dan sahabat-sahabat, tetapi sengaja ditinggalkan demi untuk melayani peperangan lebih dahulu.
Juga bukan karena tertidur, karena bagaimana orang bisa tertidur dalam perang yang berkecamuk. Maka sembahyang yang ditinggalkan beliau dan sahabat-sahabat beliau dengan sengaja itu, lantas diqadha pada waktu Magrib dalam suatu tempat yang agak jauh dari medan pertempuran, setelah matahari terbenam dan waktu 'Ashar tidak ada lagi. Beliau ketika itu mengqadha sembahyang yang tinggal lebih dahulu dan. kemudian baru sembahyang Magrib. Terang-benderang dalam hadits ini, bahwasanya sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja wajib diqadha, sama juga keadaannya dengan sembahyang yang ditinggalkan karena lupa atau karena tertidur.
Hadits ini sudah cukup kuat untuk menolak fatwa orang yang mengatakan, bahwa sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja tidak wajib diqadha. Dari hadits ini dapat diambil 3 pengertian, seperti yang diambil oleh Imam Bukhari, yaitu:
1.      Sembahyang yang ditinggalkan wajib diqadha, baik yang ditinggalkan karena lupa, karena tertidur atau karena disengaja.
2.      Dalam mengqadha sembahyang yang tinggal boleh dilakukan berjama'ah.
3.      Untuk membayar sembahyang yang tinggal dengan berjama'ah disyari'atkan juga adzan.
4.      Mengqadha atau meninggalkan sembahyang yang ditinggalkan dengan sangaja wajib bersegera, dan harus didahulukan dari mengerjakan sembahyang yang ada (tunai).
5.      Dalam waktu yang sangat sulit seperti dalam peperangan yang berkecamuk itu, boleh meninggalkan sembahyang dan tidak berdosa sesuai dengan hukum "darurat", tetapi wajib diqadha dalam satu kesempatan yang pertama.
Keenam.
Tersebut dalam kitab hadits begini:





Artinya: "Dari Abu Hurairah Ra. bahwasanya Nabi mengatakan kepada seseorang yang menyetubuhi isterinya siang hari bulan Ramadhan, bahwa harus berpuasa satu hari (untuk Qadha) serta ia harus membayar denda, karena ia melanggar hukum yaitu merusakkan puasanya yang wajib baginya dengan bersetubuh dengan isterinya"[15] (Hadits riwayat Imam Baihaqi).

Hadits yang serupa ini artinya terdapat juga dalam kitab hadits Abu Daud bunyinya:


Artinya: "Engkau dan famili engkau boleh memakan tamar denda dan puasalah satu hari penggantinya dan mintalah ampun kepada Tuhan" (H.R. Abu Daud).[16]

Dari kedua hadits ini ternyatalah bahwa puasa yang ditinggalkan dengan sengaja wajib diqadha, di samping harus membayar denda, memberi makan 60 orang miskin. Kalau meninggalkan puasa dengan sengaja wajib diqadha, scsuai dengan kedua hadits yang akhir ini, maka sembahyang yang ditinggalkan dengan sengaja wajib juga diqadha, karena puasa dan sembahyang sama-sama rukun Islam yang tidak boleh ditinggalkan.

C.     Metode Istimbat Hukum Mazhab Syafi’i Tentang Qadha Shalat Yang Ditinggal Dengan Sengaja

Posisi "tengah" Imam Syafi’i terlihat dalam dasar-dasar mazhabnya. Dalam buku metodologisnya, al-Risalah, ia menjelaskan kerangka dan dasar-dasar mazhabnya dan beberapa contoh bagaimana merumuskan hukum-hukum far'iyyah dengan menggunakan dasar-dasar tadi. Baginya, Al-Qur'an dan Sunnah berada dalam satu tingkat, dan bahkan merupakan satu-kesatuan sumber syariat Islam. Sedangkan teori-teori istidlal seperti qiyas, istihsan, istishab dan lain-lain hanyalah merupakan suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral Al-Qur'an-Sunnah ini merupakan karakteristik menarik dari pemikiran fiqih Syafi’i. Menurut Syafi’i, kedudukan Sunnah, dalam banyak hal, menjelaskan dan menafsirkan sesuatu yang tidak jelas dari Al-Qur'an, memerinci yang global, mengkhususkan yang umum, dan bahkan membuat hukum tersendiri yang tidak ada dalam Al-Qur'an. Karenanya, Sunnah Nabi saw. tidak berdiri sendiri, tetapi punya keterkaitan erat dengan Al-Qur'an. Hal itu dapat dipahami karena Al-Qur'an dan Sunnah adalah Kalamullah; Nabi Muhammad saw. tidak berbicara dengan hawa nafsu, semua ucapannya adalah wahyu yang diturunkan oleh Allah.
Hipotesa menarik lainnya dalam pemikiran metodologis Syafi’i adalah pernyataannya, "Setiap persoalan yang muncul akan ditemukan ketentuan hukumnya dalam Al-Qur'an." Untuk membuktikan hipotesanya itu Syafi’i menyebut empat cara Al-Qur'an dalam menerangkan suatu hukum.
Pertama, Al-Qur'an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas, seperti nash yang mewajibkan salat, zakat, puasa dan haji, atau nash yang mengharamkan zina, minum khamar, makan bangkai, darah dan lainnya.
Kedua, suatu hukum yang disebut secara global dalam Al-Qur'an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Misalnya, jumlah rakaat salat, waktu pelaksanaannya, demikian pula zakat, apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkan. Semua itu hanya disebut global dalam Al-Qur'an dan Nabilah yang menerangkan secara terinci.
Ketiga, Nabi Muhammad saw. juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al-Qur'an. Bentuk penjelasan Al-Qur'an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada perintah Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam Al-Qur'an disebutkan: "Barangsiapa yang taat kepada Rasul, berarti ia taat kepada Allah." Dengan demikian, suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al-Qur'an, karena Al-Qur'an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi menjauhi yang dilarang.
Keempat, Allah juga mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuan nashnya dalam Al-Qur'an dan hadis. Penjelasan Al-Qur'an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan membolehkan ijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap maqashid al-Syari'ah (tujuan-tujuan umum syariat), misalnya dengan qiyas atau penalaran analogis. Dalam Al-Qur'an disebutkan, yang artinya:
"Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan di antara kamu. Maka apabila kamu berselisih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rasul."
Menurut Imam Syafi’i, "Kembalikanlah kepada Allah dan Rasul", artinya kembalikan pada Al-Qur'an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan qiyas. Dengan landasan ayat ini, dan ayat- ayat lainnya, ia ingin menyebutkan bahwa ijtihad merupakan perintah Al-Qur'an itu sendiri dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan di atas dapat diketahui "posisi tengah" pemikiran metodologis Syafi’i. la begitu teguh dalam berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah dan pada saat yang sama memandang penting penggunaan rasio dan ijtihad.
Menurut Syafi’i, struktur hukum Islam dibangun di atas empat dasar yang disebut "sumber-sumber hukum". Sumber-sumber hukum tersebut adalah Al-Qur'an, Sunnah, ijma' dan qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga menggunakan keempat dasar di atas, tetapi rumusan Syafi’i punya nuansa dan paradigma baru. Penggunaan ijma', misalnya, tidak sepenuhnya mencaplok rumusan Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas.
Bagi Syafi’i, ijma' merupakan metode dan prinsip, dan karenanya, ia tidak memandang konsensus orang-orang umum sebagai ijma', sebagaimana dinyatakan oleh Imam Malik dan ulama-ulama Madinah. Ini dengan jelas terlihat dalam percakapan dengan sekelompok ahli hukum Madinah dalam bukunya Al-Umm dan dikutip lengkap oleh Fazlur Rahman:
Al-Syafi’i:
"Akankah kita katakan bahwa anda menganggap, misalnya Ibnu Musayyib sebagai ulama yang otoritatif di Madinah, Atha' yang otoritatif di Mekkah, Hasan di Bashrah dan Sya'bi di Kufah semuanya dari generasi tabi'ien dan memandang apa yang mereka sepakati sebagai ijma'?"
Lawan: "Ya."
Al-Syafi’i:
"Tetapi anda menyatakan bahwa mereka tidak pernah bertemu dalam pertemuan mana pun yang anda ketahui. Karena itu, anda menyimpulkan ijma' mereka dari laporan-laporan tentang mereka, dan, sesungguhnya, karena anda telah melihat bahwa ulama-ulama tersebut membuat pernyataan-pernyataan mengenai masalah-masalah yang tidak anda temui pembahasannya dalam Al-Qur'an dan Sunnah, maka anda menyimpulkan bahwa mereka telah melakukan qiyas terhadap masalah-masalah tersebut dan anda berargumentasi bahwa qiyas adalah kumpulan pengetahuan yang benar dan mapan yang disepakati oleh para ulama."
Lawan: "Itulah yang kami katakan. Pengetahuan datang dalam beberapa bentuk.
Pertama, apa yang dituturkan oleh seluruh masyarakat dari seluruh masyarakat generasi-generasi yang telah lalu (pengetahuan yang dibentuk) dengan kepastian yang dapat saya sumpahkan dengan nama Allah dan Rasul-Nya. Contoh dari pengetahuan semacam ini adalah kewajiban-kewajiban agama.
Kedua, bagian dari Al-Qur'an yang mengakui perbedaan-perbedaan penafsiran haruslah diterima dalam artinya yang langsung dan sesuai dengan akal sehat: ia tidak bisa diberi "batiniyah" dan allegoris walaupun ia mungkin dapat menerima arti seperti itu kecuali bila hal itu menjadi konsensus masyarakat.
Ketiga, pengetahuan yang disepakati oleh kaum Muslimin dan mereka telah menyatakan persetujuan sebelumnya terhadapnya. Bahkan apabila yang disebut terakhir ini mungkin tidak datang dari Al-Qur'an ataupun Sunnah, bagi saya ia memiliki kedudukan yang sama dengan Sunnah yang telah disepakati. Ini disebabkan karena kesepakatan kaum Muslimin tidak dapat dicapai semata-mata dengan pendapat-pendapat pribadi (tapi hanya dengan melalui qiyas), karena pendapat-pendapat pribadi hanya membawa pada perselisihan.
Keempat, pengetahuan para ahli yang merupakan argumen yang konklusif kecuali bila disampaikan dengan cara kebal terhadap kekeliruan.
Terakhir, qiyas. Tidak ada perselisihan yang dapat memasuki pengetahuan dalam bentuk-bentuk yang telah saya uraikan tadi, dan segala sesuatu akan tetap berakar pada prinsip-prinsipnya kecuali bila masyarakat umum setuju untuk melepaskannya dari prinsip-prinsipnya. Ijma' adalah argumen final mengenai segala sesuatu, karena ia kebal terhadap kekeliruan."
Al-Syafi’i: "Mengenai jenis pengetahuan yang pertama yang anda jelaskan tadi, yakni transmisi dari seluruh masyarakat generasi sebelumnya, memang dapat diterima. Tapi apakah anda tahu, dan dapatkah anda menjelaskan pengetahuan jenis kedua yang sehubungan dengannya, dimana anda mengatakan bahwa seluruh masyarakat bersepakat atasnya dan mentransmisikan kesepakatan umum yang sama mengenai hal itu pada generasi-genarasi sebelumnya? Dan apa yang anda maksud dengan seluruh masyarakat itu? Apakah ia meliputi baik ulama maupun non-ulama...?
Lawan: "Ini adalah ijma' para ulama saja ... karena hanya merekalah orang- orang yang dapat mengetahui dan bersepakat pendapat tentang masalah itu. Jadi, ketika mereka bersepakat pendapat, maka hal ini menjadi otoritatif bagi mereka yang tidak mengetahuinya (yakni bagi non-ulama); tetapi jika mereka tidak bersepakat pendapat, maka pendapat-pendapat mereka tidak mempunyai otoritas bagi siapa pun, dan masalah-masalah seperti itu harus dirujuk pada suatu qiyas (penalaran analogis) yang baru berdasarkan apa yang telah disepakati bersama ... Tidaklah penting apakah ijma' didasarkan pada sebuah hadis verbal yang mereka riwayatkan ataukah tanpa sebuah hadis pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah hadis verbal yang sesuai dengan pendapat sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun ..., dan bahkan bila mereka berselisih, tidaklah penting apakah ada hadis verbal yang sesuai dengan sebagian dari mereka ataukah tidak ada. Karena saya tidak menerima sesuatu hadis pun kecuali ada kesepakatan pendapat atasnya ..."
Selanjutnya, pada periode ini, interaksi antara qiyas dan ijma' dipandang tidak sebagai sebuah prinsip yang statis, tapi sebagai suatu proses asimilasi, interpretasi dan adaptasi yang dinamis dan wajar. Hal ini terlihat dengan jelas dalam bagian lain dari tulisan Syafi’i yang, walaupun agak berkepanjangan, adalah yang paling komprehensif mengenai masalah tersebut dan mengungkapkan sikap sebenarnya dan yang serba meliputi dari ijma'.
Nuansa dan paradigma pemikiran Syafi’i itu selalu terlihat dalam pemikiran-pemikirannya yang dibangun di atas pemikiran-pemikiran ulama sebelumnya. Penalaran analogis (qiyas) Imam Syafi’i, juga, menawarkan pernahaman baru. Apa yang dirumuskan oleh ulama-ulama sebelumnya oleh Syafi’i disebut qiyas bilfuru', penalaran analogis terhadap masalah-masalah partikular dengan berpijak pada suatu prinsip tertentu yang terkandung dalam suatu preseden.
Sebuah kasus yang baru dapat dimasukkan ke dalam prinsip ini, atau disamakan dengan preseden tersebut dengan kekuatan suatu sifat esensial umum yang disebut 'illat. Sedangkan metode-metode yang lain, seperti istihsan, istishab, sadd al-zarai' dan metode lainnya dimasukkan ke dalam qiyas bil qawa'id (penalaran analogis terhadap prinsip umum yang terkandung dalam suatu preseden itu sendiri).




[1]Abu Zahrah, Syafi 'i, Hayatuhu, Wa Asruhu Wa Ara-uhu Wa Fiqhuhu, hlm. 14, Mesir: Dar Fikr Arabi, 1978, hlm. 30.
[2]Saidus Sahar, Asas-Asas Hukum Islam, Bandung: alumni, 1983, hlm. 65.
[3]Abu Zahrah, op. cit, hlm. 18.
[4] Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara Tradisionalis dan Modernis, Jakarta: P3M, 1998., hlm. 28-9. Lihat juga Abdul Halim al-Jundi, Al-Imam Syafi’i,  Mesir: Dar Ma'rifah, tth, hlm. 16-24.
[5] Husain Hamid Hasan, Al-Madhkal Lidirasat al-Fiqh al-Islam, Beirut: dar al-fikr, tth., hlm. 193.
[6] Ibid.
[7] Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, jilid V, bagian ke-10, Beirut: Dar Kutub, 1985, hlm. 263
[8]Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Syarah Sahih Muslim, juz 5, Beirut: Daar al-Fikr, tth, hlm. 181.   
[9] Ibid
[10] Ibid, hlm. 182.- 183.
[11]Al-Imam Abul Husain Muslim ibn al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi, Sahih Muslim, juz 1, Mesie: Tijariah Kubra, tth, hlm. 275.

[12]Muhyiddin Yahya bin Syaraf an-Nawawi, juz 5, op. cit, hlm. 193
[13] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al Bari Syarah Bukhari, juz 4, Kairo  Mustafa al-Halabi, 1378 h, hlm. 473. 
[14] Al-Imam Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail ibn al-Mugirah ibn Bardizbah al-Bukhari,  Sahih al-Bukhari, juz 1, Beirut Libanon: Dar al-Fikr, 1410 H/1990 M,  hlm. 81.
[15]Hadits riwayat Imam Baihaqi dalam Sunan Al Kubra Juz' IV hlm,  226-227. Hadits ini ditaruh oleh Imam Nawawi dalam kitab 'Al Majmu'", syarah Muhadzab, juzu III, hlm. 71, dengan mengatakan bahwa hadits ini sanadnya jaiz, yaitu baik.
[16] Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, juz 2,  Sunan Abi Daud, Kairo: Tijarriyah Kubra, 1354 H/1935 M, hlm. 314..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar