Laman

Jumat, 25 Maret 2011

The Meaning of Hudud and Diat


PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).
Tindak pidana Hudud
Tindak pidana Hudud adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam. Karena terkait erat dengan kepentingan publik. Namun tidak berarti kejahatan hudud tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali. Kejahatan hudud ini terkait dengan Hak Allah
Tindak pidana ini diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah. Ini berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan serta harus dilaksanakan.
PENGERTIAN DIAT
Diat adalah harta yang diwajibkan kepada si teraniaya atau kepada walinya karena kasus penganiayaan. Diat ada yang berkaitan dengan sesuatu yang bisa diqishash dan ada pula yang tidak.
Diat disebut juga ‘aql, sebab diat disebut ‘aql karena seseorang yang telah melakukan pembunuhan, ia mengumpulkan diat berupa onta, lalu diikat di halaman rumah wali si terbunuh untuk diserahkan kepada keluarganya. Sehingga orang Arab biasa mengatakan, ‘aqaltu ’an fulaanin (yaitu) saya membayar hutang diat kepada si fulan.
Macam-Macam Diat
Diat terbagi dua, yaitu diat mughallazhah (yang berat) dan diat mukhaffafah (yang ringan). Diat mukhafffafah diwajibkan atas pelaku pembunuhan yang keliru, tidak disengaja,sedangkan diat mughallazhah diwajibkan atas pelaku pembunuhan yang syibhul ’amdi.
Adapun diat untuk kasus pembunuhan yang disengaja, yang kemudian pihak keluarga si terbunuh memaaafkan dan menuntut diat, maka diat itu sesuai dengan tuntutan yang dengannya mereka berdamai. Adapun diat pembunuhan yang tidak disengaja atau yang mirip dengan yang disengaja, maka diat tersebut harus ditanggung oleh keluarga si pembunuh, yaitu keluarganya laki-laki yang sudah baligh dari pihak ayahnya, yang mampu lagi berakal sehat. Dan, masuk ke dalam kategori keluarga tersebut ialah yang buta, yang menderita penyakit berat dan yang pikun, bila mereka kaya. Dan tidak masuk ke dalam kelompok keluarga termaksud adalah perempuan, yangmiskin,yang belum baligh, yang gila dan yang berlainan agama dengan si pelakupembunuhan. Karena pada dasarnya permasalahan ini adalah untuk membantu meringankan si pembunuh, sedangkan mereka tidak termasuk yang berhak membantunya.

Hukum Islam Dalam Bagian TerpentingDalam Mangarahkan Perkembangan Masyarakat.

A. Pendahuluan
Al-Qur'an adalah kitab suci [sacred book] terakhir yang diturunkan untuk seluruh manusia, dan dipandang sebagai petunjuk [hidayah] yang menyediakan solusi bagi berbagai problem kehidupan sesuai tuntutan perkembangan sosial masing-masing. Al-Qur’an juga sebagai pengarah mereka dalam segala aspek kehidupan, interaksi dan fenomena – fenomena sosial mereka. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an al – karim sebagai bahan rujukan umat Islam sejak lama, sehingga banyak bermunculan hukum-hukum yang menggatur masalah sosial dalam Al-Qur’an.
Islam telah memberikan kepada setiap insan jiwa yang merdeka, dan menjadikannya sebagai bagian terpenting dari sebuah masyarakat. Maka setiap manusia memiliki sifat sosial ditempat dia hidup, karena itu setiap insan tidak bisa hidup diluar area dari suatu masyarakat karena dirinya pasti membutuhkan bantuan orang lain.
Ada ungkapan mengatakan: “Manusia adalah berjiwa sosial; yaitu bahwa dirinya tidak bisa hidup dalam kesendirian namun mesti membutuhkan bantuan orang lain agar tetap bisa bertahan dalam hidupnya, mengaktualisasikan cita-citanya dan menyambung keturunannya”.
Karena itu, manusia sejak diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini selalu membutuhkan adanya sekelompok masyarakat dan bahkan merupakan keharusan agar dapat memudahkan segala kebutuhannya dan melanggengkan hidupnya, manusia lahir sementara dirinya tidak bisa lari dari kehidupan berjamaah dan sekelompok orang, dan merupakan keharusan juga bahwa setiap insan harus menyatu dengan mereka, saling membantu dan menolong dalam segala aspek kehidupan mereka.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang tumbuh dari syari’at yang khusus yang berasal dari Yang Maha bijaksana dan Terpuji, dan masyarakat yang setiap individunya memahami perintah-perintah syariat. Yaitu masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri dari masyarakat lainnya, karena masyarakat islam dibangun atas pondasi yang satu yaitu aqidah Islamiyyah yang terpatri di dalam lubuk hati setiap individunya dan bersumber dari sang Pencipta masyarakat ini dan dunia ini.
B. Permasalahan
1. Peran Hukum Islam dalam Sosiologi Masyarakat.
2. Pengaruh Hukum Islam dalam Perkembangan Masyarakat.
C. Pembahasan
1. Peran Hukum Islam dalam Sosiologi Masyarakat.
Sosiologi hukum membahas pengaruh timbal balik antara perubahan hukum dan masyarakat . Perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan masyarakat, dan sebaliknya perubahan masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum.[1]
Menurut sosiolog hukum Soerjono Soekanto, sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala – gejala sosial lainnya.
Hubungan timbal balik antara hukum islam dan masyarakat muslim dapat dilihat dalam perubahan orientasi masyarakat muslim dalam menerapkan hukum islam, perubahan hukum islam karena perubahan masyarakat muslim, dan perubahan masyarakat muslim yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan hukum baru dalam hukum islam.
Diantara perubahan itu adalah perubahan orientasi masyarakat muslim dari urusan ibadah (hubungan vertikal dengan tuhan) kepada urusan muamalat (hubungan horizontal manusia dengan manusia dan lingkungan alam). Hukum islam mencakup urusan ibadah dan muamalat.
Dimasa lalu masyarakat muslim lebih sibuk membicarakan masalah ibadah dari pada muamalat. Ini nampak pada masalah – maslah hukum islam yang diperdebatkan, seperti shalat tarawih delapan atau 20 raka’at, persentuhan kulit wanita dengan pria membatalkan wudlu’ atau tidak, qunut wajib dibaca dalam shalat subuh atau tidak, dan sebagainya.
Dan pada masa sekarang pembicaraan masalah hukum islam lebih banyak pada masalah muamalat dari pada ibadah, seperti hukum makan dan budi daya kodok, pengguguran kandungan, penggunaan spiral dalam program keluarga berencana, minuman keras, pembagian harta waris antara pria dan wanita dibagi rata atau tetap dua banding satu, hukum bayi tabung, menikah beda agama, hukum minuman keras, pornografi dan wanita boleh menjadi presiden (pemimpin) atau tidak, dan sebagainya.
Bukti lain yang menunjukkan meningkatnya perhartian masyarakat muslim terhadap masalah muamalah adalah berkembangnya pemikiran hukum islam tentang kegiatan ekonomi dan bisnis yang dalam fiqh disebut tijarah.[2]
Perkembangan pemikiran hukum islam tentang bisnis ditunjang oleh penerbitan buku – buku dan tulisan yang mengulas beberapa aspek kegiatan bisnis dan prinsip – prinsip bisnis yang terdapat dalam Al – Qur’an, hadist dan pemikiran ulama dari zaman klasik sampai sekarang.[3]
Perubahan lain yang menonjol dalam perkembangan hukum islam saat ini adalah mencairnya hubungan antar Mazhab. Didunia islam dewasa ini ada dua Mazhab besar yang berpengaruh, Ahlussunnah Wal Jamaah dan Syiah. Dikalangan Ahlussunnah sendiri terdapat empat Mazhab hukum, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Bahwa dalam setiap buku atau madzhab yang ada dimuka bumi ini, dalam melewati perjalanannya pasti selalu berhadapan dengan hal yang baru dan oleh karenanya akan terjadi perubahan dari sisi pandangan dan ijtihadnya sehingga mampu menjawab realita dan kondisi yang sesuai dengan zaman, kecuali Al-Qur’an, karena Al-Qur’an elastis sejalan dengan perubahan zaman sesuai dengan kehidupan manusia, Al-Qur’an akan selalu seiring dengan kehidupan manusia sepanjang masa, namun karena itulah manusia membutuhkan tafsir yang baru yang sesuai dengan kehidupan mereka, yang dapat menentramkan jiwa mereka tanpa menyimpang dari sunnah Rasulullah saw dan perkataan para sahabat dan tabiin.[4]
Di Indonesia Mazhab fiqh yang dominan adalah mazhab syafi’i. Akan tetapi sekarang banyak ajaran Mazhab syafi’i yang mulai dipersoalkan oleh masyarakat muslim, karena dianggap sudah tidak relevan lagi atau terlalu memberatkan. Jadi masyarakat muslim mulai mencari pendapat Mazhab yang lebih sesuai dengan keperluannya.
Di antara kasus – kasus hukum di mana Mazhab syafi’i dianggap tidak relevan lagi di antaranya adalah dalam mazhab syafi’i hukum persentuhan kulit pria dan wanita itu membatalkan wudlu’. Kadang – kadang ditempat yang sangat ramai dan padat dimana pria dan wanita sangat sulit menghindari persentuhan, sehingga sangat sulit untuk mengikuti pendapat tadi. Karena itu, banyak orang islam mengikuti pendapat Mazhab lain yang menyatakan bahwa persentuhan yang tidak menimbulkan nafsu birahi tidak membatalkan wudlu’.
Masalah lain juga dipersoalkan relevansinya, meski dianut oleh mayoritas ulama Ahlussunnah adalah hukum perkawinan wanita muslim dengan pria ahlul kitab, seperti kristen. Mayoritas ulama berpendapat bahwa perkawinan semacam itu hukumnya tidak sah.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, orang islam dan kristen mudah bertemu dan berteman melalui hubungan tetangga, sekolah, dan tempat kerja. Dari hubungan tadi tidak jarang menjadi akrab, mereka berpacaran sampai mengambil keputusan untuk menikah dan menjadi suami istri.
Dalam hukum islam yang berlaku di Indonesia selain urusan ibadah hanya hukum perdata, itu pun hanya sebatas hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No: 1 tahun 1991.
Oleh karena itu, indonesia di bidang hukum, sebagaimana juga dialami banyak negara di dunia, mengalami dualisme hukum, yakni hukum islam dan hukum nasional yang bersal dari barat. Dalam hal dualisme tadi masyarakat muslim boleh memilih salah satu di antara dua, hukum islam dan hukum nasional. Namun dualisme hukum itu mendorong masyarakat muslim untuk mempertanyakan kembali aturan hukum islam yang tidak sesuai dengan tututan mereka.
Dengan demikian, beberapa kecenderungan perubahan masyarakat muslim yang mempengaruhi perubahan hukum islam, dan sebaliknya. Perubahan ini dimungkinkan oleh sebuah kaidah fiqh yang menjelaskan bahwa perubahan hukum dapat terjadi karena perubahan tempat, waktu dan keadaan. Kaidah fiqh itu memberi landasan sosiologis bagi berkembangnya hukum islam. Landasan sosiologis inilah yang menjadi acuan dalam menganalisis sejumlah persoalan hukum islam.
2. Pengaruh Hukum Islam dalam Perkembangan Masyarakat.
Salah satu ciri terpenting yang menandai perkembangan sosial budaya masyarakat hukum adat Indonesia adalah keterbukaan dan kemampuanya menjawab tantangan kebudayaan asing dengan sikap menerima dan luwes serta pada waktu yang sama juga memillih.[5]
Adapun budaya asing yang sangat menonjol pengaruhnya dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum adat ialah agama – agama dunia yang dimulai dengan masuknya agama Hindu dan Budha. Kebudayaan asli yang telah lama dimiliki oleh bangsa kita mengalami perubahan dengan diterimanya norma – norma agama hindu dalam bidang hukum dan kesusilaan, kemudian agama budha yang hanya terlihat pengaruhnya dalam bidang kesusilaan semata.
Pengaruh kedua agama itu akhirnya tergeser ketika agama islam masuk ke negeri ini, di mana norma – norma sosial dalam Islam telah pula di terima oleh masyarakat hukum adat secara damai yang bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia.[6]
Begitu besarnya pengaruh Islam di kalangan masyarakat hukum adat yang beragama Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum islam tidak saja menggeser norma – norma social yang berlaku sebelumnya, tetapi kelihatannya cenderung menghupus norma – norma sosial itu. Fenomena ini mulai terlihat sejak masuknya Islam hingga datangnya bangsa – bangsa Barat, terutama Belanda ke Indonesia.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada masa prakolonial belanda hukum Islam merupakan satu – satunya sistem hukum yang dijalankan dan menjadi kesadaran hukum yang berkembang dalam sebagian besar masyarakat hukum adat indonesia.[7] Fenomena kesadaran hukum islam di zaman penjajahan itu agaknya hingga kemerdekaan tercapai, bahkan sampai saat ini belum banyak mengalami perubahan. Hal ini terlihat jelas di beberapa daerah sepeti Aceh, hukum islam masih dipegang teguh.
Begitu pula keadaanya di Sumatra Barat. Daerah ini dikenal keteguhannya berpegang kepada hukum adat yang sudah dilegitemer oleh hukum Islam. Artinya hukum adat yang berlaku hanyalah yang tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan dalam hukum islam. Banyak petatah – petitih yang menjelaskan hal ini, misalnya: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”[8]
Atas dasar itu lah, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia pada waktu itu masih tetap berkeyakinan tentang perlunya menjalankan hukum Islam. Untuk itu ada baiknya dipertimbangkan bahwa semua ketentuan hukum yang ada di negeri ini tidak sesuai, apalagi yang secara jelas bertentangan dengan asas – asas hukum Islam hendaknya tidak diberlakukan, kemudian perlu diganti dengan hukum yang selaras dengan kesadaran hukum umat Islam.
Pelaksanaan hukum islam di zaman penjajahan Belanda hanya terbatas pada hukum kekeluargaan saja, yaitu yang berkaitan dengan masalah – masalah perkawinan dan kewarisan. Sedangkan dalam penyelesaian perkara – perkara pidana, maka aturan hukum yang berlaku adalah Wetboek Van Strafrech (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), kecuali di Aceh.
Penerapan hukum pidana adat tidak sepenuhnya sudah lepas dari kontrol penguasab kolnial Belanda. Sebab ternyata pelaksanaan hukum pidana adat itu sangat di batasi, yaitu hanya boleh berlaku selama tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang – undangan tertentu, khususnya Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUH pidana)
Politik hukum penguasa kolonial Belanda yang demikian pada akhirnya membawa akibat – akibat yang lebih jauh, yakni bahwa hukum pidana adat menjadi sangat kabur, kesadaran hukum masyarakat menjurus kepada norma – norma hukum dalam KUH pidana, sehingga masyarakat semakin merasa asing dari hukum adatnya,hal ini menjadikan para kepala adat menjadi kurang semangatnya untuk mengembangkan hukum pidana adat secara wajar dan tidak mempunyai daya tahan untuk membendung unsur pidana Barat yang dalam banyak hal tidak sesuai dengan hukum Islam.[9]
D. Kesimpulan
Sosiologi hukum membahas pengaruh timbal balik antara perubahan hukum dan masyarakat . Perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan masyarakat, dan sebaliknya.
Hubungan timbal balik yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum adalah perubahan orientasi masyarakat muslim dalam menerapkan hukum Islam, perubahan hukum Islam karena perubahan masyarakat muslim, dan perubahan masyarakat muslim yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan hukum baru dalam hukum islam.
Kaidah fiqh memberi landasan sosiologis bagi berkembangnya hukum islam dan menjadi acuan dalam menganalisis sejumlah persoalan hukum islam.
Pengaruh agama Hindu dan Budha akhirnya tergeser ketika agama islam masuk ke negeri ini, di mana norma – norma sosial dalam Islam telah pula di terima oleh masyarakat hukum adat secara damai dan di anut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Begitu besarnya pengaruh Islam di kalangan masyarakat hukum adat yang beragama Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum islam tidak saja menggeser norma – norma social yang berlaku sebelumnya, tetapi kelihatannya cenderung menghupus norma – norma sosial itu.
E. Penutup
Dari uraian kami tentang hukum islam dalam bagian terpenting dalam mangarahkan perkembangan masyarakat diatas semoga dapat dijadikan pembelajaran bagi kita agar dapat menempatkan hukum islam yang sesuai dengan pekembangan masyarakat seperti dalam uraian makalah kami diatas. Dan kami mohon kritik dan saran dari teman-teman sekiranya dalam makalah kami terdapat kekurangan-kekurangan yang sekiranya dapat membangun kami supaya lebih baik dilain kesempatan.
F. Referensi
Ø Al-Ikhwan.net
Ø Tebba, sudirman, sosiologi hukum islam, UII press Indonesia, yogjakarta; 2003
Ø Bachtiar Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh Besar, dalam Alfian,ed., Segi Segi –Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977)
Ø Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta; Tintamas, 1974), hal. 38; Moch. Hidjazie Kartawidjaja, Pembahasan terhadap sarana Prasaran Satjipto Rahardjo SH, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional”, makalah untuk Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogjakarta, 15 – 17 Januari 1975
Ø Ismail Sunny, Islam as a System of Law in Indonesia, dalam in Momeriam Prof. Dr. Hazarin; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta; Yayasan Penerbit Unirversitas Indonesia, 1976)
Ø Abdul Gani Karim, Pengaruh Agama Islam terhadap Hukum Pidana Nasional, makalah untuk Siposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, yang diselenggarakan di Denpasar Bali, 17 – 19 Maret 1975
Ø Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977),



[1] Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977), hal 17
[2] Abdur Rahman I. Doi, Shari’ah: The Islamic Law (Kuala Lumpur: As Noordeen, 1990), hal. 348
[3] Lihat misalnya Abul Hasan M. Shadeq dan Aidit Ghazali, Readings in Islamic Economic Thought (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992); sayyid tahir, aidit ghazali, syed omar agil, Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992);
[4] Tsaqafah Islamiyah 27/3/2008 | 20 Rabbi al-Awwal 1429 H Oleh Al-Ikhwan.net
[5] Bandingkan dengan hildred Greetz, aneka budaya dan komunitas di indonesia, terjemahan A. Rahman Zainuddin (pulsar, 1981) hal. 95 – 96.
[6] Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta; Tintamas, 1974), hal. 38; Moch. Hidjazie Kartawidjaja, Pembahasan terhadap sarana Prasaran Satjipto Rahardjo SH, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional”, makalah untuk Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogjakarta, 15 – 17 Januari 1975.
[7] Ismail Sunny, Islam as a System of Law in Indonesia, dalam in Momeriam Prof. Dr. Hazarin; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta; Yayasan Penerbit Unirversitas Indonesia, 1976), hal. 19
[8] T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh Besar, dalam Alfian,ed., Segi Segi –Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977)
[9] Abdul Gani Karim, Pengaruh Agama Islam terhadap Hukum Pidana Nasional, makalah untuk Siposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, yang diselenggarakan di Denpasar Bali, 17 – 19 Maret 1975

Peradilan Tata Usaha Negarantuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya


A. PENDAHULUAN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dengan warga negaranya dan pembentukan lembaga tersebut bertujuan mengkontrol secara yuridis (judicial control) tindakan pemerintahan yang dinilai melanggar ketentuan administrasi (mal administrasi) ataupun perbuatan yang bertentangan dengan hukum (abuse of power).
UU No. 9 Tahun 2004 putusan PTUN sering tidak dipatuhi pejabat karena tidak adanya lembaga eksekutornya dan juga tidak ada sanksi hukumnya serta dukungan yangyang menyebabkan inkonsistensi sistem PTUN dengan sistem peradilan lainnya, terutama dengan peradilan umum karena terbentur dengan asas dat de rechter niet op de stoel van het bestuur mag gaan zitten (hakim tidak boleh duduk di kursi pemerintah atau mencampuri urusan pemerintah) dan asas rechtmatigheid van bestuur yakni atasan tidak berhak membuat keputusan yang menjadi kewenangan bawahannya atau asas kebebasan Pejabat tak bisa dirampas.
Setelah diundangkannya UU No.9 Tahun 2004 tersebut diharapkan dapat memperkuat eksistensi PTUN. Namun, dalam UU No. 9 Tahun 2004 itu pun ternyata masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik karena tidak mengatur secara rinci tahapan upaya eksekusi secara paksa yang bisa dilakukan atas keputusan PTUN serta tidak adanya kejelasan prosedur dalam UU No. 9 Tahun 2004 Pasal 116 ayat (4) yakni jika pejabat tidak bersedia melaksanakan putusan maka dapat dikenakan sanksi upaya paksa membayar sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif. lemah dari prinsip-prinsip hukum administrasi negara.[1]
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah Pelaksanaan Putusan PTUN?
2. Bagaimanakah Kendala Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara?
C. PEMBAHASAN
Pelaksanaan Putusan PTUN
Selama empat belas tahun eksistensi PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia, dirasakan masih belum memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyaknya putusan PTUN yang tidak dapat dieksekusi telah menimbulkan pesimisme dan apatisme dalam masyarakat. Masalahnya adalah tidak adanya kekuatan eksekutorial.
Dalam UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN. Kondisi ini merupakan suatu fakta yang memprihatinkan bahwa keberadaan PTUN belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup administratif pemerintahan. Prinsip adanya peradilan TUN, untuk menempatkan kontrol yudisial dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik menjadi bias dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Bila suatu putusan PTUN tidak memiliki kekuatan eksekutorial, bagaimana mungkin hukum dan masyarakat dapat mengawasi jalannya pemerintah yang dilaksanakan oleh pejabat-pejabat TUN.
Permasalahan eksekusi putusan PTUN ini juga dapat timbul terkait dengan diberlakukannya otonomi daerah, karena dengan adanya otonomi daerah seluruh pejabat kepala daerah di tingkat II memiliki kewenangan yang luas dalam mengelola daerahnya dan hal tersebut pasti menggunakan metode keputusan-keputusan administratif.
Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan begitu saja.
Demikian juga semangat prinsip dari PTUN tersebut harus diterapkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dengan kewenangan yang besar dan luas menimbulkan potensi penyelewenangan seperti “abuse of power” dan “excessive power” sehingga dibutuhkan pengawasan yang serius dalam hal ini.
Salah satu yang menyebabkan lemahnya pelaksanaan putusan PTUN adalah karena tidak terdapatnya lembaga eksekutorial dan kekuatan memaksa dalam pelaksanaan putusan PTUN sehingga pelaksanaan putusan PTUN tergantung dari kesadaran dan inisiatif dari pejabat TUN. Dengan penegoran sistem hirarki seperti diatur dalam UU No. 5 tahun 1996 terbukti tidak efektif dalam pelaksaan putusan PTUN.
Baru-baru ini pemerintah telah sadar akan tumpulnya pelaksanaan putusan PTUN yang hanya menyandarkan pada kesadaran yang dirasa kurang efektif sehingga pemerintah mengundangkan UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Adapun perubahan yang mendasar dalam UU No. 9 tahun 2004 terletak pada Pasal 116 ayat (4) dan ayat (5) yaitu adanya penjatuhan uang paksa bagi pejabat TUN yang tidak melaksanakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap berupa pembayaran uang paksa (dwangsom) dan/atau sanksi administratif serta publikasi di media cetak.
Pemberlakuan uang paksa merupakan salah satu tekanan agar orang atau pihak yang dihukum mematuhi dan melaksanakam hukuman. Namun, dalam penerapannya pemberlakuan uang paksa (dwangsom) masih menimbulkan permasalahan antara lain jenis putusan apa yang dapat dikenakan uang paksa (dwangsom), siapa yang akan dibebankan uang paksa (dwangsom), dan sejak kapan uang paksa (dwangsom) diberlakukan.
Bahwa penerapan dwangsom tidak dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnatoir). Pejabat TUN yang sedang menjalankan tugasnya dalam kedinasan dan kemudian menimbulkan suatu kerugian bagi masyarakat, namun tugas tersebut dilaksanakan sesuai dengan hukum maka kerugian yang dialami masyarakat haruslah dibebankan kepada negara. Karena merupakan kesalahan teknis dalam menjalankan dinas.
Lain halnya jika pada saat pejabat TUN tidak patuh untuk melaksanakan putusan PTUN maka pada saat tersebut pejabat TUN tidak sedang melaksanakan peran negara. Apabila terjadi hal demikian maka pertanggung jawabannya dibebankan secara pribadi kepada pejabat TUN yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan teori kesalahan yang dikembangkan dari Yurisprudensi Counsil d’Etat yang membedakan kesalahan dinas (Faute de serve) dan kesalahan pribadi (Faute de personelle).
Dalam pelaksanaan penerapan uang paksa. mekanisme pembayaran uang paksa juga perlu diperhatikan, karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan PTUN adalah pejabat TUN yang masih aktif yang masih mendapatkan gaji secara rutin. Maka akan lebih efektif jika pengenaan dwangsom diambil dari gaji bulanan pejabat TUN yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji dalam amar putusan hakim diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN).
Namun untuk melaksanakan pembayaran uang paksa yang dikenakan kepada pejabat TUN yang bersangkutan masih menimbulkan kendala. Kendala yang pertama adalah apabila dalam pelaksanaan eksekusi ternyata pejabat TUN yang bersangkutan dipindah tugaskan ke tempat wilayah kerja KPKN yang berbeda.
Upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi kendala pertama adalah dengan adanya koordinasi antara PTUN yang satu dengan PTUN yang lain, dan antara PTUN dengan Pengadilan Negeri jika ternyata pejabat TUN bersangkutan pindah ditempat yang tidak ada PTUN.
Kendala selanjutnya adalah apabila gaji pejabat yang bersangkutan tidak mencukupi untuk membayar uang paksa. Adapun upaya yang dapat dilakukan untuk menghadapi hal ini adalah dengan cara pejabat bersangkutan dapat mengangsur setiap bulan dengan mempertimbangkan sisa gaji yang layak untuk biaya hidup.
Lalu satu lagi sanksi yang dapat dikenakan pada pejabat TUN yang membandel adalah sanksi administratif. Sanksi administratif yang dapat diberikan berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang Disiplin Pegawai Negeri adalah hukuman disiplin berupa penurunan pangkat, pembebasan dari Jabatan, pemberhentian dengan hormat, dan pemberhentian tidak dengan hormat. Sanksi administratif berupa pembebasan dari jabatan adalah paling tepat karena pada saat ia tidak mematuhi putusan PTUN maka pada saat itu ia tidak mau menggunakan kewenangan jabatannya. Perintah penjatuhan sanksi administratif ditujukan kepada pejabat yang berwenang untuk menghukum pejabat TUN tertentu.[2]
KENDALA PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA
Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berfungsi sebagai lembaga peradilan yang mengadilli sengketa tata usaha negara antara orang atau Badan Hukum Privat dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN).
Sengketa tata usaha negara merupakan sengketa yang terjadi akibat adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang dianggap merugikan Penggugat Setelah melalui proses pengajuan gugatan dan pemeriksaan serta diberikan putusan oleh hakim PTUN, maka proses yang paling penting dari seluruh rangkaian proses beracara di Peradilan TUN tersebut adalah pelaksanaan putusan (eksekusi) terhadap putusan yang telah in kracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap.
Pelaksanaan eksekusi ini dilakukan dalam suatu subsistem pelaksanaan putusan dalam sistem Peradilan Tata Usaha Negara. Pelaksanaan putusan dalam Peradilan TUN merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputus oleh hakim dalam proses pemeriksaan untuk mengembalikan hak-hak penggugat yang telah dilanggar oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
Hakhak penggugat akan dapat dipenuhi apabila eksekusi telah dilaksanakan secara efektif. Dengan dipenuhinya hak-hak tersebut maka keadilan yang diinginkan oleh masyarakat akan dapat terwujud.
Namun pada kenyataannya, selama ini pelaksanaan putusan PTUN belum dapat dilaksanakan secara efektif karena pelaksanaan putusan ini didasarkan pada pertanggungjawaban moral (moral responsibility) dari Pejabat TUN selaku tergugat. Apabila Pejabat TUN enggan melaksanakan isi putusan maka tidak ada instrumen atau lembaga yang dapat memaksa Pejabat TUN tersebut untuk melaksanakan putusan.
Dari penelitian yang telah dilakukan terhadap perkara Nomor. 31/G/TUN/2007/PTUN Semarang menunjukkan bahwa pelaksanaan atas putusan tersebut mengalami kendala antara lain kurangnya kesadaran dari masyarakat dan Pejabat TUN sendiri untuk melaksanakan isi putusan. Selain itu di dalam peraturan perundang-undangan sendiri juga tidak ada ketegasan sanksi terhadapPejabat yang enggan melaksanakan putusan.
Untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan putusan tersebut maka perlu dilakukan pembenahan-pembenahan baik dari segi praktik maupun dari peraturan perundang-undangannya sendiri. Hal ini dapat dimulai dengan memberi kesadaran hukum kepada masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas dalam undangundang bagi Pejabat TUN yang enggan melaksanakan putusan.
D. KESIMPULAN
Pengadilan Tata Usaha Negara sebagai upaya mekanisme control yuridis, sedangkan sanksi administrasi secara maksimal yang dapat diterapkan berupa pemberhentian dan jabatan demi konsistensi negara sebagai negara hukum.
Akibat ketidakpatuhan Pejabat Tata Usaha Negara terhadap praktek penegakan hukum Tata Usaha Negara, maka terjadilah eksekusi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara melalui upaya paksa berupa pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administrasi maupun pengumuman ketidakpatuhan tersebut di mass media.
Sengketa tata usaha negara merupakan sengketa yang terjadi akibat adanya suatu Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang dianggap merugikan Penggugat Setelah melalui proses pengajuan gugatan dan pemeriksaan. maka proses yang paling penting dari seluruh rangkaian proses beracara di Peradilan TUN tersebut adalah pelaksanaan putusan (eksekusi) terhadap putusan yang telah in kracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap.
Pelaksanaan putusan dalam Peradilan TUN merupakan pelaksanaan dari apa yang telah diputus oleh hakim dalam proses pemeriksaan untuk mengembalikan hak-hak penggugat yang telah dilanggar oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara.
E. PENUTUP
Demikian makalah yang dapat penulis sampaikan kurang lebihnya mohon di maafkan, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan, jika ada kesalahan mohon di ingatkan dan dibenarkan, sebagai perbaikan penulis ke depan. Semoga apa yang tertera disini bisa membawa manfaat untuk kita semua dan bisa menambah wawasan kita semua dalam kompeterensi terkait.
F. REFERENSI
X http://www.duniaesai.com/index.html, tanggal 21 April 2010
X Prof.Subekti,SH, Pokok-pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta,2003
X http://infohukum.co.cc/sejarah-lahirnya-peradilan-tata-usaha-negara/