A. Pendahuluan
Al-Qur'an adalah kitab suci [sacred book] terakhir yang diturunkan untuk seluruh manusia, dan dipandang sebagai petunjuk [hidayah] yang menyediakan solusi bagi berbagai problem kehidupan sesuai tuntutan perkembangan sosial masing-masing. Al-Qur’an juga sebagai pengarah mereka dalam segala aspek kehidupan, interaksi dan fenomena – fenomena sosial mereka. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an al – karim sebagai bahan rujukan umat Islam sejak lama, sehingga banyak bermunculan hukum-hukum yang menggatur masalah sosial dalam Al-Qur’an.
Islam telah memberikan kepada setiap insan jiwa yang merdeka, dan menjadikannya sebagai bagian terpenting dari sebuah masyarakat. Maka setiap manusia memiliki sifat sosial ditempat dia hidup, karena itu setiap insan tidak bisa hidup diluar area dari suatu masyarakat karena dirinya pasti membutuhkan bantuan orang lain.
Ada ungkapan mengatakan: “Manusia adalah berjiwa sosial; yaitu bahwa dirinya tidak bisa hidup dalam kesendirian namun mesti membutuhkan bantuan orang lain agar tetap bisa bertahan dalam hidupnya, mengaktualisasikan cita-citanya dan menyambung keturunannya”.
Karena itu, manusia sejak diciptakan oleh Allah dimuka bumi ini selalu membutuhkan adanya sekelompok masyarakat dan bahkan merupakan keharusan agar dapat memudahkan segala kebutuhannya dan melanggengkan hidupnya, manusia lahir sementara dirinya tidak bisa lari dari kehidupan berjamaah dan sekelompok orang, dan merupakan keharusan juga bahwa setiap insan harus menyatu dengan mereka, saling membantu dan menolong dalam segala aspek kehidupan mereka.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang tumbuh dari syari’at yang khusus yang berasal dari Yang Maha bijaksana dan Terpuji, dan masyarakat yang setiap individunya memahami perintah-perintah syariat. Yaitu masyarakat yang memiliki ciri khas tersendiri dari masyarakat lainnya, karena masyarakat islam dibangun atas pondasi yang satu yaitu aqidah Islamiyyah yang terpatri di dalam lubuk hati setiap individunya dan bersumber dari sang Pencipta masyarakat ini dan dunia ini.
B. Permasalahan
1. Peran Hukum Islam dalam Sosiologi Masyarakat.
2. Pengaruh Hukum Islam dalam Perkembangan Masyarakat.
C. Pembahasan
1. Peran Hukum Islam dalam Sosiologi Masyarakat.
Sosiologi hukum membahas pengaruh timbal balik antara perubahan hukum dan masyarakat . Perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan masyarakat, dan sebaliknya perubahan masyarakat dapat menyebabkan terjadinya perubahan hukum.[1]
Menurut sosiolog hukum Soerjono Soekanto, sosiologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dan gejala – gejala sosial lainnya.
Hubungan timbal balik antara hukum islam dan masyarakat muslim dapat dilihat dalam perubahan orientasi masyarakat muslim dalam menerapkan hukum islam, perubahan hukum islam karena perubahan masyarakat muslim, dan perubahan masyarakat muslim yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan hukum baru dalam hukum islam.
Diantara perubahan itu adalah perubahan orientasi masyarakat muslim dari urusan ibadah (hubungan vertikal dengan tuhan) kepada urusan muamalat (hubungan horizontal manusia dengan manusia dan lingkungan alam). Hukum islam mencakup urusan ibadah dan muamalat.
Dimasa lalu masyarakat muslim lebih sibuk membicarakan masalah ibadah dari pada muamalat. Ini nampak pada masalah – maslah hukum islam yang diperdebatkan, seperti shalat tarawih delapan atau 20 raka’at, persentuhan kulit wanita dengan pria membatalkan wudlu’ atau tidak, qunut wajib dibaca dalam shalat subuh atau tidak, dan sebagainya.
Dan pada masa sekarang pembicaraan masalah hukum islam lebih banyak pada masalah muamalat dari pada ibadah, seperti hukum makan dan budi daya kodok, pengguguran kandungan, penggunaan spiral dalam program keluarga berencana, minuman keras, pembagian harta waris antara pria dan wanita dibagi rata atau tetap dua banding satu, hukum bayi tabung, menikah beda agama, hukum minuman keras, pornografi dan wanita boleh menjadi presiden (pemimpin) atau tidak, dan sebagainya.
Bukti lain yang menunjukkan meningkatnya perhartian masyarakat muslim terhadap masalah muamalah adalah berkembangnya pemikiran hukum islam tentang kegiatan ekonomi dan bisnis yang dalam fiqh disebut tijarah.[2]
Perkembangan pemikiran hukum islam tentang bisnis ditunjang oleh penerbitan buku – buku dan tulisan yang mengulas beberapa aspek kegiatan bisnis dan prinsip – prinsip bisnis yang terdapat dalam Al – Qur’an, hadist dan pemikiran ulama dari zaman klasik sampai sekarang.[3]
Perubahan lain yang menonjol dalam perkembangan hukum islam saat ini adalah mencairnya hubungan antar Mazhab. Didunia islam dewasa ini ada dua Mazhab besar yang berpengaruh, Ahlussunnah Wal Jamaah dan Syiah. Dikalangan Ahlussunnah sendiri terdapat empat Mazhab hukum, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Bahwa dalam setiap buku atau madzhab yang ada dimuka bumi ini, dalam melewati perjalanannya pasti selalu berhadapan dengan hal yang baru dan oleh karenanya akan terjadi perubahan dari sisi pandangan dan ijtihadnya sehingga mampu menjawab realita dan kondisi yang sesuai dengan zaman, kecuali Al-Qur’an, karena Al-Qur’an elastis sejalan dengan perubahan zaman sesuai dengan kehidupan manusia, Al-Qur’an akan selalu seiring dengan kehidupan manusia sepanjang masa, namun karena itulah manusia membutuhkan tafsir yang baru yang sesuai dengan kehidupan mereka, yang dapat menentramkan jiwa mereka tanpa menyimpang dari sunnah Rasulullah saw dan perkataan para sahabat dan tabiin.[4]
Di Indonesia Mazhab fiqh yang dominan adalah mazhab syafi’i. Akan tetapi sekarang banyak ajaran Mazhab syafi’i yang mulai dipersoalkan oleh masyarakat muslim, karena dianggap sudah tidak relevan lagi atau terlalu memberatkan. Jadi masyarakat muslim mulai mencari pendapat Mazhab yang lebih sesuai dengan keperluannya.
Di antara kasus – kasus hukum di mana Mazhab syafi’i dianggap tidak relevan lagi di antaranya adalah dalam mazhab syafi’i hukum persentuhan kulit pria dan wanita itu membatalkan wudlu’. Kadang – kadang ditempat yang sangat ramai dan padat dimana pria dan wanita sangat sulit menghindari persentuhan, sehingga sangat sulit untuk mengikuti pendapat tadi. Karena itu, banyak orang islam mengikuti pendapat Mazhab lain yang menyatakan bahwa persentuhan yang tidak menimbulkan nafsu birahi tidak membatalkan wudlu’.
Masalah lain juga dipersoalkan relevansinya, meski dianut oleh mayoritas ulama Ahlussunnah adalah hukum perkawinan wanita muslim dengan pria ahlul kitab, seperti kristen. Mayoritas ulama berpendapat bahwa perkawinan semacam itu hukumnya tidak sah.
Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, orang islam dan kristen mudah bertemu dan berteman melalui hubungan tetangga, sekolah, dan tempat kerja. Dari hubungan tadi tidak jarang menjadi akrab, mereka berpacaran sampai mengambil keputusan untuk menikah dan menjadi suami istri.
Dalam hukum islam yang berlaku di Indonesia selain urusan ibadah hanya hukum perdata, itu pun hanya sebatas hukum perkawinan, kewarisan, dan perwakafan, sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan Inpres No: 1 tahun 1991.
Oleh karena itu, indonesia di bidang hukum, sebagaimana juga dialami banyak negara di dunia, mengalami dualisme hukum, yakni hukum islam dan hukum nasional yang bersal dari barat. Dalam hal dualisme tadi masyarakat muslim boleh memilih salah satu di antara dua, hukum islam dan hukum nasional. Namun dualisme hukum itu mendorong masyarakat muslim untuk mempertanyakan kembali aturan hukum islam yang tidak sesuai dengan tututan mereka.
Dengan demikian, beberapa kecenderungan perubahan masyarakat muslim yang mempengaruhi perubahan hukum islam, dan sebaliknya. Perubahan ini dimungkinkan oleh sebuah kaidah fiqh yang menjelaskan bahwa perubahan hukum dapat terjadi karena perubahan tempat, waktu dan keadaan. Kaidah fiqh itu memberi landasan sosiologis bagi berkembangnya hukum islam. Landasan sosiologis inilah yang menjadi acuan dalam menganalisis sejumlah persoalan hukum islam.
2. Pengaruh Hukum Islam dalam Perkembangan Masyarakat.
Salah satu ciri terpenting yang menandai perkembangan sosial budaya masyarakat hukum adat Indonesia adalah keterbukaan dan kemampuanya menjawab tantangan kebudayaan asing dengan sikap menerima dan luwes serta pada waktu yang sama juga memillih.[5]
Adapun budaya asing yang sangat menonjol pengaruhnya dalam pertumbuhan dan perkembangan hukum adat ialah agama – agama dunia yang dimulai dengan masuknya agama Hindu dan Budha. Kebudayaan asli yang telah lama dimiliki oleh bangsa kita mengalami perubahan dengan diterimanya norma – norma agama hindu dalam bidang hukum dan kesusilaan, kemudian agama budha yang hanya terlihat pengaruhnya dalam bidang kesusilaan semata.
Pengaruh kedua agama itu akhirnya tergeser ketika agama islam masuk ke negeri ini, di mana norma – norma sosial dalam Islam telah pula di terima oleh masyarakat hukum adat secara damai yang bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia.[6]
Begitu besarnya pengaruh Islam di kalangan masyarakat hukum adat yang beragama Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum islam tidak saja menggeser norma – norma social yang berlaku sebelumnya, tetapi kelihatannya cenderung menghupus norma – norma sosial itu. Fenomena ini mulai terlihat sejak masuknya Islam hingga datangnya bangsa – bangsa Barat, terutama Belanda ke Indonesia.
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada masa prakolonial belanda hukum Islam merupakan satu – satunya sistem hukum yang dijalankan dan menjadi kesadaran hukum yang berkembang dalam sebagian besar masyarakat hukum adat indonesia.[7] Fenomena kesadaran hukum islam di zaman penjajahan itu agaknya hingga kemerdekaan tercapai, bahkan sampai saat ini belum banyak mengalami perubahan. Hal ini terlihat jelas di beberapa daerah sepeti Aceh, hukum islam masih dipegang teguh.
Begitu pula keadaanya di Sumatra Barat. Daerah ini dikenal keteguhannya berpegang kepada hukum adat yang sudah dilegitemer oleh hukum Islam. Artinya hukum adat yang berlaku hanyalah yang tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan dalam hukum islam. Banyak petatah – petitih yang menjelaskan hal ini, misalnya: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”[8]
Atas dasar itu lah, maka dapatlah dikatakan bahwa masyarakat muslim di Indonesia pada waktu itu masih tetap berkeyakinan tentang perlunya menjalankan hukum Islam. Untuk itu ada baiknya dipertimbangkan bahwa semua ketentuan hukum yang ada di negeri ini tidak sesuai, apalagi yang secara jelas bertentangan dengan asas – asas hukum Islam hendaknya tidak diberlakukan, kemudian perlu diganti dengan hukum yang selaras dengan kesadaran hukum umat Islam.
Pelaksanaan hukum islam di zaman penjajahan Belanda hanya terbatas pada hukum kekeluargaan saja, yaitu yang berkaitan dengan masalah – masalah perkawinan dan kewarisan. Sedangkan dalam penyelesaian perkara – perkara pidana, maka aturan hukum yang berlaku adalah Wetboek Van Strafrech (Kitab Undang – Undang Hukum Pidana), kecuali di Aceh.
Penerapan hukum pidana adat tidak sepenuhnya sudah lepas dari kontrol penguasab kolnial Belanda. Sebab ternyata pelaksanaan hukum pidana adat itu sangat di batasi, yaitu hanya boleh berlaku selama tidak bertentangan dengan ketentuan – ketentuan hukum yang terdapat dalam ketentuan perundang – undangan tertentu, khususnya Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUH pidana)
Politik hukum penguasa kolonial Belanda yang demikian pada akhirnya membawa akibat – akibat yang lebih jauh, yakni bahwa hukum pidana adat menjadi sangat kabur, kesadaran hukum masyarakat menjurus kepada norma – norma hukum dalam KUH pidana, sehingga masyarakat semakin merasa asing dari hukum adatnya,hal ini menjadikan para kepala adat menjadi kurang semangatnya untuk mengembangkan hukum pidana adat secara wajar dan tidak mempunyai daya tahan untuk membendung unsur pidana Barat yang dalam banyak hal tidak sesuai dengan hukum Islam.[9]
D. Kesimpulan
Sosiologi hukum membahas pengaruh timbal balik antara perubahan hukum dan masyarakat . Perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan masyarakat, dan sebaliknya.
Hubungan timbal balik yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum adalah perubahan orientasi masyarakat muslim dalam menerapkan hukum Islam, perubahan hukum Islam karena perubahan masyarakat muslim, dan perubahan masyarakat muslim yang disebabkan oleh berlakunya ketentuan hukum baru dalam hukum islam.
Kaidah fiqh memberi landasan sosiologis bagi berkembangnya hukum islam dan menjadi acuan dalam menganalisis sejumlah persoalan hukum islam.
Pengaruh agama Hindu dan Budha akhirnya tergeser ketika agama islam masuk ke negeri ini, di mana norma – norma sosial dalam Islam telah pula di terima oleh masyarakat hukum adat secara damai dan di anut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.
Begitu besarnya pengaruh Islam di kalangan masyarakat hukum adat yang beragama Islam, sehingga dapat dikatakan bahwa hukum islam tidak saja menggeser norma – norma social yang berlaku sebelumnya, tetapi kelihatannya cenderung menghupus norma – norma sosial itu.
E. Penutup
Dari uraian kami tentang hukum islam dalam bagian terpenting dalam mangarahkan perkembangan masyarakat diatas semoga dapat dijadikan pembelajaran bagi kita agar dapat menempatkan hukum islam yang sesuai dengan pekembangan masyarakat seperti dalam uraian makalah kami diatas. Dan kami mohon kritik dan saran dari teman-teman sekiranya dalam makalah kami terdapat kekurangan-kekurangan yang sekiranya dapat membangun kami supaya lebih baik dilain kesempatan.
F. Referensi
Ø Al-Ikhwan.net
Ø Tebba, sudirman, sosiologi hukum islam, UII press Indonesia, yogjakarta; 2003
Ø Bachtiar Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh Besar, dalam Alfian,ed., Segi Segi –Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977)
Ø Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta; Tintamas, 1974), hal. 38; Moch. Hidjazie Kartawidjaja, Pembahasan terhadap sarana Prasaran Satjipto Rahardjo SH, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional”, makalah untuk Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogjakarta, 15 – 17 Januari 1975
Ø Ismail Sunny, Islam as a System of Law in Indonesia, dalam in Momeriam Prof. Dr. Hazarin; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta; Yayasan Penerbit Unirversitas Indonesia, 1976)
Ø Abdul Gani Karim, Pengaruh Agama Islam terhadap Hukum Pidana Nasional, makalah untuk Siposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, yang diselenggarakan di Denpasar Bali, 17 – 19 Maret 1975
Ø Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977),
[1] Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum (Jakarta : Bhratara Karya Aksara, 1977), hal 17
[3] Lihat misalnya Abul Hasan M. Shadeq dan Aidit Ghazali, Readings in Islamic Economic Thought (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992); sayyid tahir, aidit ghazali, syed omar agil, Readings in Microeconomics: An Islamic Perspective (Kuala Lumpur: Longman Malaysia, 1992);
[5] Bandingkan dengan hildred Greetz, aneka budaya dan komunitas di indonesia, terjemahan A. Rahman Zainuddin (pulsar, 1981) hal. 95 – 96.
[6] Hazairin, Tujuh Serangkai tentang Hukum (Jakarta; Tintamas, 1974), hal. 38; Moch. Hidjazie Kartawidjaja, Pembahasan terhadap sarana Prasaran Satjipto Rahardjo SH, Pengertian Hukum Adat, Hukum yang Hidup dalam Masyarakat (Living Law) dan Hukum Nasional”, makalah untuk Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogjakarta, 15 – 17 Januari 1975.
[7] Ismail Sunny, Islam as a System of Law in Indonesia, dalam in Momeriam Prof. Dr. Hazarin; Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta; Yayasan Penerbit Unirversitas Indonesia, 1976), hal. 19
[8] T. Bachtiar Effendi Panglima Polem, Pengendalian Sosial di Aceh Besar, dalam Alfian,ed., Segi Segi –Sosial Budaya Masyarakat Aceh (Jakarta: LP3ES, 1977)
[9] Abdul Gani Karim, Pengaruh Agama Islam terhadap Hukum Pidana Nasional, makalah untuk Siposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, yang diselenggarakan di Denpasar Bali, 17 – 19 Maret 1975
Tidak ada komentar:
Posting Komentar