Jika
seorang wanita ditalak, dia lebih berhak untuk mengurusi anaknya dari pada
suaminya selama wanita tersebut belum menikah lagi. Jika dia menikah, maka
suaminya yang lebih berhak untuk mengurusinya. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَالَمْ تَنْكِـحِي .
“Kamu
lebih berhak untuk (mengurus) anak itu selama kamu belum menikah.” [Hadits
hasan. Riwayat Abu Dawud (no. 2276) dan Ahmad (II/182)]
Adapun
seorang anak yang tidak lagi membutuhkan asuhan, maka anak tersebut diberi
pilihan untuk mengikuti bapaknya atau ibunya. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ada seorang wanita yang datang
kepadanya untuk mengadu masalah rebutan anak dengan suaminya, maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda kepada anaknya,
يَاغُلاَمُ، هَـذَا أَبُوكَ وَهَـذِهِ أُمُّكَ، فَخُـذْ بِيَدِ
أَيِّهِـمَا شِئْتَ، فَأَخَذَ بِيَدِ أُمَّهِ، فَانْـطَلَقَـتْ بِهِ .
“Wahai
anak laki-laki, ini adalah bapakmu dan ini adalah ibumu, maka ambillah tangan
salah satu dari keduanya yang kamu inginkan.”
Lalu
dia (anak itu) mengambil tangan ibunya, kemudian ibunya membawanya pergi. [Hadits hasan. Riwayat Abu Dawud (no. 2277), Tirmidzi (no.
1357), An-Nasa'i (VI/185), dan Ibnu Majah (no. 2351)]
Sedangkan
anak yang lahir dari seorang wanita yang melakukan li’aan, maka anaknya
dinisbatkan kepada ibunya (yakni nasabnya). Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,
أَنَّ رَجُلاَ رَمَى امْرَأَتَهُ وَانْتَفَى مِنْ وَلَدِهَا
فِي زَمَانِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فَتَلاَعَنَا، كَمَا قَالَ اللهُ
تَعَالَى، ثُمَّ قَضَى بِالْوَلَدِ لِلْمَرْأَةِ وَفَرَّقَ بَيْنَ الْمُتَلاَ
عِنَيْنِ .
“Bahwasanya
pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang laki-laki yang
menuduh istrinya berzina. Dia tidak mengakui anak yang lahir dari istrinya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas memerintahkan keduanya untuk
melakukan li’aan sebagaimana firman Allah Ta’ala. Setelah itu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa anak tersebut dinisbatkan kepada ibunya dan
beliau memisahkan pasangan suami istri tersebut.” [Hadits shahih. Riwayat
Bukhari (no. 4748) dan Muslim (no. 1494)]
Anak
yang dilahirkan di luar nikah dinisbahkan kepada ibunya. Karena anak tersebut
bukan keturunan bapaknya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاش وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَر
“Anak
itu milik suami. Sementara orang yang berzina mendapatkan penyesalan” (Muttafaq
‘alaihi)
- Nafkah dan Tempat Tinggal untuk Wanita yang Ditalak
Ada
empat keadaan wanita yang ditalak, terkait dengan hak nafkah dan tempat
tinggal:
Pertama, wanita yang ditalak dengan talak raj-’i (talak yang
masih memungkinkan untuk rujuk)
Pada
keadaan ini, wanita berhak mendapatkan tempat tinggal dari suaminya selama
menjalani masa ‘iddahnya. Allah berfirman :
يَأَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ
فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللهَ
رَبَّكُم ۖ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ إِلَّآ أَنْ
يَأتِيْنَ بِفَـحِـشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ …
“Wahai
Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan
mereka pada waktu mereka (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar), dan hitunglah
waktu ‘iddah itu, serta bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu
keluarkan mereka dari rumahnya dan janganlah (diizinkan) keluar kecuali jika
mereka melakukan perbuatan yang keji dengan jelas..” (Qs. Ath-Thalaaq: 1)
Dan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun pernah bersabda,
إِنَّمَا النَّفَقَةُ وَالسُّكْنَى لِلْمَرْأَةِ إِذَاكَانَ
لِزَوْجِهَا عَلَيْهَا الرَّجْعَةُ .
“Nafkah
dan tempat tinggal adalah hak istri, jika suami memiliki hak rujuk kepadanya.”
[Hadits shahih. Riwayat An-Nasa'i (VI/144)]
Kedua, wanita yang telah ditalak dengan talak ba-’in
(setelah tiga kali talak)
Dalam
keadaan ini, wanita tidak lagi berhak untuk mendapatkah nafkah juga tempat
tinggal atas suaminya.
Dalilnya,
kejadian yang dialami Fathimah binti Qais radhiyallahu ‘anha yang telah
ditalak dengan talak ba-’in kubra oleh suaminya, Abu ‘Amr bin Hafsh.
Kemudian ia (Fathimah) berkata,
فَخَاصَمْتُهُ إِلَى رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِي
السُّـكْنَى وَالنَّفَقَةِ، فَلَمْ يَجْعَلْ لِيْ سُـكْنَى وَلاَ نَفَقَةً
وَأَمَرَنِيْ أَنْ أَعْتَدَّ فِيْ بَيْتِ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ .
“Lalu
aku mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tempat
tinggal dan nafkah, beliau tidak menjadikan bagiku hak untuk mendapatkan tempat
tinggal dan nafkah, dan memerintahkanku agar melakukan ‘iddah di rumah Ibnu
Ummi Maktum.” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 1480)]
[Lihat
Ensiklopedi Larangan (III/95-96)]
Ketiga, wanita yang ditalak dalam kondisi hamil
Mereka
berhak mendapatkan nafkah hingga melahirkan, Allah Ta’ala berfirman:
…
وَإِنْ كُنَّ أُوْلَتِ حَمْلٍ فَأَنْـفِـقُـوا
عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَـعْـنَ حَمْلَهُـنَّۚ …
“…dan
jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya..” (Qs.
Ath-Thalaaq: 6)
Keempat, wanita yang dipisahkan dengan suami karena li’aan
Mereka
tidak berhak mendapatkan nafkah maupun tempat tinggal. [Lihat Ensiklopedi
Fiqh Wanita (II/435)]
- Mut’ah
untuk Wanita yang Ditalak
Al-Mut’ah adalah harta yang diserahkan kepada wanita yang ditalak.
Harta tersebut dapat berupa pakaian, uang, perhiasan, pembantu, atau yang
lainnya. Besarnya berbeda-beda sesuai dengan keadaan ekonomi suami.
Al-Mut’ah merupakan hak untuk setiap wanita yang ditalak, berdasarkan
keumuman firman Allah Ta’ala,
وَلِلْمُـطَلَّقَـتِ مَتَعٌ بِالْمَعْـرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّـقِـيْنَ
“Dan
bagi wanita-wanita yang diceraikan, hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang
patut, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Qs.
Al-Baqarah: 241)
Allah
juga berfirman :
…
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَـدَرُهُ، وَعَلَى
الْمُـقْـتَرِ قَـدَرُهُ، مَتَعًا بِالْمَعْـرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِيْنَ
“..Dan
hendaklah kamu beri mereka mut’ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan
bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang
patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan.”
(Qs. Al-Baqarah: 236)
Ketentuan
ini berlaku bagi wanita yang sudah dicampuri maupun bagi wanita yang belum
dicampuri ketika ditalak. Khusus bagi wanita yang ditalak sebelum dicampuri
maka ada dua rincian hukum:
a.
Maharnya telah ditentukan dalam akad nikah. Wanita berhak mendapatkan setengah
dari mahar yang diucapkan dalam akad nikah.
b.
Maharnya belum ditentukan ketika akad nikah, maka dia mendapatkan mut’ah
dengan kadar yang tidak ditentukan.
[Lihat
Al-Mughni (X/139 - Al-Kitaabul 'Arabi), Al-Haawi
(XIII/101), dan Ibnu 'Abidin (III/111)]
Sebuah Renungan Untuk Suami dan
Istri
Pernikahan adalah sebuah ikatan kuat
antara seorang laki-laki dan wanita yang tidak dapat dianggap remeh. Oleh
karena itu, Islam telah membahas masalah pernikahan secara panjang lebar,
lengkap dan menyeluruh. Dan melalui pintu pernikahan, diharapkan setiap
keluarga dapat membina suatu hubungan yang sakinah, mawaddah warahmah.
Di dalam perjalanannya seringkali
pasangan suami istri menemui berbagai ujian dan cobaan yang fungsinya adalah
sebagai proses pendewasaan bagi keduanya. Namun, tidak jarang kita temui juga
beberapa biduk rumah tangga yang terpaksa terhenti di tengah jalan karena dua
sebab umum, yaitu kematian dan perceraian.
Perpisahan yang disebabkan oleh
kematian adalah suatu kejadian yang sifatnya pasti akan dialami oleh setiap
makhluk yang bernyawa dan tidak ada yang dapat menghindarinya. Adapun perpisahan
yang disebabkan oleh perceraian merupakan suatu permasalahan yang harus
mendapatkan perhatian khusus, agar setiap pasangan suami istri memahami betul
bahwa sekalipun Islam mensyari’atkan terjadinya perceraian, namun sesungguhnya
Islam sangat menginginkan terwujudnya keluarga muslim yang harmonis dan penuh
dengan kebahagiaan.
Meski demikian, tidak jarang terjadi
perselisihan antara pasangan suami istri di dalam mengarungi kehidupan rumah
tangga. Dan apabila segala upaya telah dikerahkan demi langgengnya ikatan
pernikahan, namun bara perselisihan di antara keduanya tidak dapat padam juga,
maka dalam keadaan seperti ini seseorang dituntut untuk mengambil tindakan lain
yang lebih kuat, yaitu talak (cerai).
Syaikh Muhammad bin Shalih
al-Utsaimin rahimahullah pernah ditanya tentang kedudukan hadits yang
populer di telinga kita yang berbunyi,
أَبْغَضُ
الْحَلاَلِ إِلَى اللهِ الطَّلاَقُ .
“Perkara halal yang paling
dibenci oleh Allah adalah talak,” maka beliau berkata, “Hadits tersebut dha’if
(lemah) dan makna hadits tidak dapat diterima oleh akal, sebab tidak mungkin
ada perbuatan atau sesuatu yang halal akan tetapi dibenci oleh Allah Ta’ala.
Namun, secara umum Allah Ta’ala tidak menyukai seseorang yang mentalak
istrinya, oleh sebab itu hukum asal talak adalah makruh. Adapun dalil yang
menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak menyukai talak adalah dalam
firman-Nya mengenai orang yang meng-ilaa’ istrinya,
لِلَّذِيْنَ
يُؤْ لُونَ مِنْ نِّسَآئِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُـرٍ ۖ فَإِنْ فَآءُو
فَإِنَّ اللهَ غَـفُـورٌرَّحِيْمٌ وَإِنْ عَـزَمُوا الطَّلَـقَ فَإِنَّ اللهَ
سَمِيْعٌ عَلِيمٌ
“Kepada orang-orang yang
meng-ilaa’ istrinya diberi tangguh empat bulan lamanya. Kemudian jika mereka
kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang. Dan jika mereka berazzam (bertetap hati untuk) talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah:
226-227)
Allah Ta’ala berfiman tentang
seseorang yang kembali kepada istrinya setelah melakukan ilaa’,
‘Kemudian jika mereka kembali (kepada istrinya), maka sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.’ Dan pada waktu mereka berniat untuk tetap
memilih jalan talak, maka Allah Ta’ala berfirman, ‘Dan jika mereka
berazzam (bertetap hati untuk) talak, maka sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui.’ Dan ini menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak
menyukai orang-orang yang memilih jalan talak daripada kembali menyambung tali
pernikahan.” [Lihat Duruus wa Fataawaa Al-Haram Al-Makki Syaikh 'Utsaimin
(III/260) dan Fatwa-Fatwa Tentang Wanita (II/189-190)]
Sesungguhnya bagi seseorang yang
memperhatikan hukum-hukum mengenai masalah perceraian, maka ia akan memahami
bahwa sebenarnya Islam sangatlah menginginkan terjaganya keutuhan rumah tangga
dan keabadian jalinan kasih sayang antara suami dan istri. Sebagai bukti akan
hal itu, Islam tidak menjadikan talak terjadi hanya dalam satu kali, di mana
ketika perceraian telah dilakukan, maka tidak ada lagi ikatan pernikahan dan
keduanya tidak boleh untuk menyambungnya kembali. Demikianlah Allah menetapkan
syari’at-Nya atas setiap hamba-Nya. [Lihat Panduan Keluarga Sakinah
(hal. 299-300) dan Terj. Al-Wajiz (hal. 627-628)]
Demikianlah pembahasan ringkas
mengenai perpisahan yang terjadi di antara suami dan istri. Semoga menjadi
suatu pembelajaran dan bahan renungan tersendiri bagi setiap pasangan suami
istri yang sedang dilanda prahara dalam rumah tangganya dan berniat untuk
berpisah.
Wallahu a’lam wal musta’an.
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
arsip artikel talak:
http://muslimah.or.id/keluarga/talak-bagian-1-hukum-talak.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-2-pembagian-talak.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-3-sebab-talak-nusyuz.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-4-sebab-talak-khulu.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-5-sebab-talak-ilaa.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-6-sebab-talak-liaan.html
http://muslimah.or.id/fikih/takal-bagian-7-sebab-talak-zhihar.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-8-iddah.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-9-ketika-maut-memisahkan.html
http://muslimah.or.id/fikih/talak-bagian-10-beberapa-masalah-seputar-perceraian.html
Maraji’:
- Ahkaam al-Janaaiz wa Bidaa’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Maktabah
al-Ma’arif, Riyadh
- Al-Wajiz
(Edisi Terjemah), Syaikh ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, cet. Pustaka
as-Sunnah, Jakarta
- Do’a dan Wirid,
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Jakarta
- Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka
Ibnu Katsir, Bogor
- Ensiklopedi Islam al-Kamil, Syaikh Muhammad bin Ibrahim at-Tuwaijiri, cet. Darus
Sunnah, Jakarta
- Ensiklopedi Larangan Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali, cet. Pustaka Imam
asy-Syafi’i, Jakarta
- Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq, Jakarta
- Meniru Sabarnya Nabi,
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cet. Pustaka Darul Ilmi, Jakarta
- Panduan Keluarga Sakinah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka at-Taqwa,
Bogor
- Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet.
Pustaka Ibnu Katsir, Bogor
- Penyimpangan Kaum Wanita, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Jibrin, cet.
Pustaka Darul Haq, Jakarta
- Pernikahan dan Hadiah Untuk Pengantin, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cet. Maktabah Mu’awiyah
bin Abi Sufyan, Jakarta
- Shahiih Fiqhis Sunnah,
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Maktabah at-Taufiqiyyah, Kairo
- Subulus Salam
(Edisi Terjemah), Imam Muhammad bin Ismail al-Amir ash-Shan’ani, cet.
Darus Sunnah, Jakarta
- Syarah Al-Arba’uun Al-Uswah Min al-Ahaadiits
Al-Waaridah fii An-Niswah,
Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan, Riyadh
- Syarah Riyaadhush Shaalihiin, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, cet. Daar
al-Wathaan, Riyadh
- Syarah Riyadhush Shalihin (Edisi Terjemah), Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilali,
cet. Pustaka Imam asy-Syafi’i, Bogor
- ‘Umdatul Ahkaam,
Syaikh ‘Abdul Ghani al-Maqdisi, cet. Daar Ibn Khuzaimah, Riyadh