Sanksi dalam Islam
Dalam
Islam, kejahatan adalah perbuatan tercela (alqabTh), yaltu perbuatan apa saja
yang dicela oleh As-Syari' (Allah), bukan berdasarkan ukuran akal dan hawa nafsu
manusia. Syariat telah menetapkan perbuatan tercela sebagai dosa (dzunub) yang
harus dikenai sanksi ('uqubat).
Sanksi tersebut berfungsi sebagai
jawabir (penebus dosa bagi pelakunya) sekaligus zawajir (pencegah agar orang
lain tidak melakukan kejahatan yang sama). Perbuatan-perbuatan yang dikenai sanksi adalah tindakan
meninggalkan kewajiban (fardhu), mengerjakan keharaman, serta menentang
perintah dan melanggar larangan yang pasti dan telah ditetapkan oleh Negara.
Dalam
Islam ada 4 (empat) macam sanksi: yaitu:
(1)
hudud;
(2)
jinayat;
(3)
ta'zir, dan
(4)
mukhalafat
(Lihat:
Abdurrahman ah Maliki, Nizham al-'Uqubat, him. 17).
Hudud
adalah sanksi yang kadarnya telah ditetapkan oleh syariat bagi suatu tindak
kemaksiatan tertentu; ia tidak bisa dikurangi, ditambah, atau diganti; tidak
pula pelakunya dapat diberi pengampunan. Pezina ghayra muhshan (bujang/belum
kawin), misalnya, harus dihukum cambuk 100 kali berdasarkan firman Allah SWT
berikut: "Pezina wanita dan laki-laki, cambuklah masing-masing dengan 100
kali cambukan, dan janganlah kalian menaruh belas kasihan kepada keduanya dalam
menjalankan agama Allah." (QS An-Nur [24]: 2).
Demikian pula pencuri; ia harus dipotong tangannya jika
nilai harta yang dicurinya telah melampaui kadar tertentu (yakni 1/4 dinar berdasarkan Hadis
Nabi saw. [1 dinar = 4,25 gram emas] sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
"Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, potonglah masing-masing tangannya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS AI-Maidah [5]: 38).
"Pencuri laki-laki dan pencuri wanita, potonglah masing-masing tangannya sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS AI-Maidah [5]: 38).
Beberapa
tindakan kemaksiatan lain yang terkategori ke dalam bab hudud dan wajib dikenai
sanksi had adalah: liwath (homoseksual), qadzaf (menuduh berzina), minum khamr,
pembegalan, bughat (memberontak terhadap Khatifah yang sah), dan murtad.
Jinayat
adalah sanksi yang berkaitan dengan kasus pelanggaran terhadap badan yang di
dalamnya ada kewajiban qishash atau harta (diyat}. Contohnya adalah qishSsh
atau diyat dalam kasus pembunuhan, melukai orang lain, dan berbagai
penganiayaan lainnya.
Ta'zir adalah sanksi yang diberikan kepada pelaku kemaksiatan—melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban syariat—yang tidak termasuk hudud dan jinayat. Contohnya adalah melakukan kasus korupsi, memperlihatkan aurat di tempat umum, berjudi, dan sebagainya.
Ta'zir adalah sanksi yang diberikan kepada pelaku kemaksiatan—melakukan keharaman atau meninggalkan kewajiban syariat—yang tidak termasuk hudud dan jinayat. Contohnya adalah melakukan kasus korupsi, memperlihatkan aurat di tempat umum, berjudi, dan sebagainya.
Dalam
konteks perjudian, tidak ada perselisihan di kalangan ulama, bahwa judi
diharamkan oleh Allah SWT, antara lain berdasarkan AI-Qur'an (QS AI-Maidah
[5j: 90-91). Namun demikian, AI-Qur'an dan Hadis Nabi SAW. tidak menyebutkan
sanksi bagi para penjudi sehingga sanksi mereka adalah ta'zir.
Penetapan kadar sanksi ta'zir asalnya
merupakan hak bagi Khalifah berdasarkan ijtihadnya atau mengambil salah satu
hasil ijtihad dari para mujtahid. Penetapan sanksi ini mengacu pada keadilan hudud dan
jinayat; bentuknya diambil dari salah satu bentuk hukuman yang telah ditetapkan
dalam Islam.
Sanksi ta'zfr sangat bergantung pada
besarnya pelanggaran dengan tetap memperhatikan kadar sanksi hudud dan jinayat,
yaitu mulai dari hukum penjara, cambuk, diasingkan (nafyu), diisolasi dari
komunikasi dengan masyarakat (hijr), disalib, didenda (gharamah), dihancurkan
harta/barangnya yang tak berguna seperti peralatan judi dll (itlaf al-m^l),
dinasihati (al-wa'zhu), dibatasi haknya atas harta (hurmanj, ditayangkan
pelakunya (tasyhir) hingga dihukum mati (alqatlu).
Adapun
Mukhalafat adalah sanksi yang ditimpakan kepada mereka yang melanggar
perintah dan larangan yang telah ditetapkan oleh Negara/Khilafah yang tidak
berkaitan dengan perintah dan larangan Allah secara langsung. Contohnya adalah
sanksi bagi pelanggar lalu-lintas, pengendara yang tidak membawa SIM, dan
sebagainya.
Di
tengah perjuangan penegakan syariat Islam, pasti ada pihak yang berusaha
menggagalkannya. Hal semacam Ini tidaklah aneh. Sepanjang sejarah manusia sejak
Nabi Adam as. hingga akhir zaman akan selalu terjadi pertentangan antara yang
haq dan yang bathil, antara yang prosyariah dan yang anti-syariah.
Banyak
argumentasi yang disodorkan untuk mencegah atau meredam perjuangan penegakan
syariat Islam secara kaffah. Di antaranya adalah:
Pertama,
hukum Islam, khususnya yang berkenaan dengan sanksi pidana, bertentangan dengan
HAM. Hukum Islam digambarkan sebagai hukum rimba yang mengerikan dan
menyeramkan.
Pandangan
seperti ini sangat lemah dan sempit karena hanya melihat dari sisi kerasnya
sanksi yang diberikan kepada pelaku kejahatan. Mereka tidak pernah berptkir
bahwa kerasnya hukuman akan memberikan efek jera bagi pelakunya dan mencegah
orang lain untuk mclakukan kejahatan yang sama (yang berarti akan mengurangi
tindak kejahatan).
Bandingkan
dengan hukum pidana saat ini, yang tidak mampu meredam berbagai tindak
kejahatan yang terus-menerus menunjukkan kecenderungan naik. Hukum pidana saat
ini juga terbukti gagal sehingga tidak mampu melindungi masyarakat, yang
berarti hak masyarakat untuk mendapatkan rasa aman terampas. Maraknya kasus
pembunuhan dan pemerkosaan, misalnya, jelas-jelas mengancam rasa aman
masyarakat.
Dengan
hukum pidana saat ini, masyarakat juga diperlakukan tidak adil. Sebagai contoh,
salah satu terpidana kasus BLBI, mantan wakil Presdir Bank Aspac, Hendrawan
Haryono, hanya ditahan di LP Cipinang selama 1.5 tahun; padahal negara
dirugikan sebesar Rp 583 miliar.
Hendrobudiyanto
dan Heru Supraptomo, kedua-duanya mantan direktur BI, juga divonis 1,5 tahun
penjara; padahal masing-masing telah merugikan negara sebesar Rp 9.79 triliun
dan Rp 6.36 triliun (Republika, 20/6).
Bandingkan,
misalnya, dengan seorang pencuri ayam seharga Rp 20 ribu yang dipenjara 4 bulan.
Jika
standarnya ini saja, maka pelaku korupsi Rp 583 miliar seharusnya dihukum jauh
lebih berat dari itu. Begitu juga dalam kasus seorang anak pejabat yang
terbukti membunuh, dia hanya dihukum penjara 1,7 tahun, sementara dia
telah melenyapkan nyawa orang lain yang merupakan hak hidupnya.
Padahal
dalam Islam, pembunuh wajib dikenai sanksi qishash, yaitu harus balas dibunuh,
kecuali jika ahli waris korban memaafkannya, maka hukumannya boleh diganti
dengan denda (diyat).
Kedua,
hukum Islam hanya menyangkut aturan pada lingkup pribadi dan tidak pada level
negara. Pandangan seperti ini bertentangan dengan fakta hukum secara umum.
Tidak ada satu pun di dunia ini hukum yang tegak dan bersirat mengikat yang
tidak dipayungi oleh negara. Kalaupun ada hukum adat yang diberlakukan, itupun
sifatnya sangat terbatas; hanya mengikat orang-orang yang berada di areal adat
tersebut.
Kesimpulan
Satu
hal yang penting dicatat, hukum Islam akan benar-benar menyelesaikan masalah
jika diterapkan secara total. Oleh sebab itu, penerapan hukum Islam dalam
perjudian hanyalah secuil dari hukum Islam. Kalaupun setelah itu tetap terjadi
kejadian serupa, tidak boleh diartikan bahwa hukum Islam gagal. Hal ini
disebabkan hukum Islam belum total diterapkan.
Untuk
menyelesaikan masalah perjudian, misalnya, harus diterapkan syariat Islam
tentang kewajiban penguasa menjamin kebutuhan pokok, peningkatan keterampifan,
penyediaan lapangan kerja, dan distribusi kekayaan; menciptakan lingkungan yang
penuh dakwah, menutup pusat-pusat kemaksiatan dan perjudian, serta
memberlakukan sanksi bagi siapa saja yang melakukannya.
Walhasil,
yang sejatinya layak dipersoalkan sesungguhnya bukanlah penerapan hukum Islam,
tetapi fakta bahwa hukum buatan manusia saat ini telah terbukti gagal total,
dan kemaksiatan justru semakin merajalela. Mahasuci Allah dengan firman-Nya: Apakah
hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Hukum siapakah yang lebih baik dari hukum
Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS AI-Maidah [5] : 50).
Wallahu 'alam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar