Pendahuluan
Hukum
merupakan petunjuk mengenai tingkah laku dan juga sebagai perlengkapan
masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap sebagai perangkat
kerja sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan menentukan langkah-langkah
yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan antarmanusia.1
Keadilan
harus selalu dilibatkan dalam hubungan satu manusia dengan manusia lainnya.
Sebagai makhluk sosial, interaksi antarmanusia tidak dapat dimungkiri lagi.
Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang dapat menjadi “pemangsa” bagi orang
lain sehingga masyarakat dengan sistem sosial tertentu harus memberikan aturan
pada para anggotanya yang mengatur tentang hubungan antarsesama. Menurut
Herbert Spencer, setiap orang bebas untuk menentukan apa yang akan
dilakukannya, asal ia tidak melanggar kebebasan yang sama dari lain orang.2
Hukuman
adalah sebuah cara untuk menjadikan seorang yang melakukan pelanggaran berhenti
dan tidak lagi mengulanginya. Selain itu juga menjadi pelajaran kepada orang
lain untuk tidak mencoba-coba melakukan pelanggaran itu. Setiap peradaban pasti
memiliki bentuk hukum dan jenis hukuman tersendiri. Dan masing-masing bisa
berjalan sesuai dengan apa yang telah digariskan.3
Salah satu
bentuk hukuman yang diperintahkan oleh Allah yang harus dilaksanakan oleh ummat
Islam adalah Hukum qisas.
Hukum ini pada esensinya memberi hak kepada orang yang dirugikan untuk membalas
kepada yang merugikannya dengan kadar yang seimbang (setara). Kata qishash dapat berarti pembalasan; pembunuhan dibalas
pembunuhan, melukai dibalas dengan melukai, pemenggalan dibalas pemenggalan.
Pemberlakuan
hukuman qisas
adalah sesuatu yang selalu mengundang kontroversi. Terutama jika dianggap bahwa
hukum qisas
itu sama dengan hukuman mati. Hal tersebut tidak hanya terjadi di kalangan umat
Islam sendiri, tetapi juga di kalangan non muslim. Kontroversi ini terjadi pula
di sejumlah negara Eropa yang telah membatalkan hukuman mati.4
Hukuman mati memang mengerikan. Dalam hukuman mati ini, manusia seolah-olah
mengambil peran sebagai Tuhan dengan menjadi penentu hidup atau mati seseorang.
Setiap manusia sebenarnya memiliki hak untuk hidup sehingga pemberlakuan
hukuman mati banyak yang menentang.5
Perdebatan
panjang mengenai pemberlakuan pidana mati ini sebenarnya bertitik tolak pada
permasalahan keadilan rasa kemanusiaan dan pencegahan terhadap kemungkinan
timbulnya kejahatan lagi. Alasan para pakar yang menentang adanya penjatuhan
pidana mati terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan adalah karena alasan
kemanusiaan dan penjatuhan pidana mati tidak akan dapat mencegah kejahatan dan
mengurangi angka kejahatan. Namun bagi mereka yang sepakat dengan pemberlakuan
pidana mati di Indonesia adalah semata-mata karena rasa keadilan dan
ketentraman yang ada di dalam masyarakat. Masyaraakat menginginkan keadilan,
dimana bagi seorang pembunuh sepantasnnya di bunuh pula. Ini terbukti dengan
adanya idiom didalam masyarakat yang mengatakan ‘Hutang budi dibayar budi dan
hutang nyawa dibayar nyawa‘.6
Apa
dan bagaimanakah hukum qisas
itu. bagaimana hukum qisas
itu menurut para ulama? dan Benarkah hukuman qisas
itu adalah hukuman yang kejam? pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dijawab
dalam tulisan berikut ini.
Hakikat Qisas
Qisas berasal dari kata “qashasha” yang berarti
memotong, atau berasal dari kata “aqasha”
yang berati mengikuti, yakni mengikuti perbuatan penjahat untuk pembalasan yang
sama dari perbuatannya.7
Sedangkan qisas
secara bahasa berarti adil atau persamaan. Dari kata ini terdapat qisas (gunting) karena
kedua sisinya adalah selalu sama. Juga qisas
dalam makna kisah karena kisah itu sama dengan yang diceritakan.8
Sedangkan qisas dalam pengertian
syar’i adalah membunuh orang yang melakukan pembunuhan sebaba hanya hukuman
inilah yang setimpal berdasarkan ketentuan syar‘i
terhadap pelaku pembunuhan.9
Dengan
demikian dapat dirumuskan bahwa qisas
ialah akibat yang sama yang dikenakan pada seseorang yang menghilangkan nyawa
atau melukai atau menghilangkan anggota badan orang lain seperti apa yang telah
diperbuatnya. Maka dapat dikatakan bahwa hukuman qisas itu ada dua macam yatiu qisas jiwa yakni hukuman
bunuh untuk tingkat pembunuhan dan hukuman qisas
untuk anggota badan yakni khusus untuk anggota badan yang terpotong atau
dilukai.
Dari uraian
di atas dapat dikatakan bahwa hukuman qisas
itu adalah hukuman yang menseimbangkan antara perbuatan dan pembelaan sehingga
dapat menjamin keselamatan jiwa dan kesempurnaan anggota badan manusia, ini
menunjukkann bahwa hukuman itu sendiri mempunyai sifat keadilan dan
kesempurnaan karena telah memberi keseimbangan pada setiap pelaku, bila
membunuh ia dibunuh, bila melukai maka juga dilukai, sehingga semua orang
merasa puas dengan ketentuan qisas
tersebut.
Pelaksanaan
hukuman qisas,
para fuqaha sudah sepakat bahwa wali korban boleh mengambil dari dua hal yaitu qisas atau pemberian
ampunan. Kemudian mereka berselisih pendapat dalam hal pemindahan dari hukuman qisas kepada hukuman diyat atau selain diyat. Diyat merupakan salah
satu hak wali korban tanpa ada pilihan dalam hal itu bagi orang yang dikenai qisas tidak bisa
ditetapkan melainkan kesepakatan kedua belah pihak. Maka tidak lain bagi korban
adalah qisas
atau memberikan ampunan.
Menurut Iman
Malik wali korban hanya diharuskan mengambil qisas
atau mengambil diyat
secara suka rela.10
Menurut Iman Syafi’i Iman Ahmad, Abu Tsaur bahwa wali korban boleh memilih
mengambil qisas
atau diyat,
baik orang yang membunuh rela atau tidak.11
Dari kedua
pendapat ini menurut Imam Malik harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak
pelaku dan keluarga korban, sedangkan Imam Syafi’i dan sebagian ulama lain,
wali korban boleh memilih antara qisas
atau diyat
dengan pihak pelaku setuju atau tidak. Bila dilihat dari kedua pendapat ini
boleh diselesaikan dengan jalan bila wali korban memberikan pemaafan dan
membayar diyat
itu diyat
ringan tanpa persetujuan pelaku. Tapi bila diyat
itu berat, harus ada persetujuan pelaku karena dalam ketentuan diyat harus bisa
ditanggung oleh pelaku.
Dalam
pelaksanaan qisas
harus memenuhi tiga syarat.
1.
Orang yang bakal qisas harus berakal
sehat dan balig. Seandainya harus berhak qisas
itu anak kecil atau orang gila maka tidak seorang pun yang menggantikannya
untuk dijatuhi hukuman qisas.
2.
Para wali korban bersepakat untuk
menetapkan hukuman qisas
dan tidak boleh sebagian di antara mereka saja yang menginginkannya, apabila di
antara sebagian tidak ada harus ditunggi sampai kedatangannya.
Pada
prinsipnya hukuman qisas
itu adalah menghukum pelaku jarimah qisas
dengan modus operandi yang sama karena qisas
itu sendiri menuntut kesamaan kecuali kalau dengan modus operandi yang sama
akan menyebabkan terhukum dalam waktu yang lama. Maka dengan demikian pedang
baginya tentu akan lebih tepat. Allah tegaskan dalam QS. al-Baqarah (2) 194
yang artinya “Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah dia seimbang
dengan serangannya terhadapmu”. Allah tegaskan lagi dalam QS. al-Nahl (16) :
126, “Jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan siksaan yang
ditimapakan kepadamu.
Qisas itu adalah hak hakim.
Menurut al-Qurtubi, yang dimaksud adalah pelaksanaan hukuman qisas merupakan
kewajiban hakim tetapi yang menentukan adalah hak keluarga. Jadi pada
pelaksanaan hukuman qisas
itu tetap dilakukan oleh hakim tetapi yang meminta melakukan atau tidak
dilakukan adalah hak wali korban. Mengenai pelaksanaan hukuman qisas timbul perbedaan
pendapat di antara ulama apakah sifap pelaksanaan qisas sama seperti yang dilakukan oleh
pelaku jarimah qisas
misalnya menebas leher dengan parang sipelaku juga ditebas lehernya dengan
parang dan apakah cukup dengan menghilangka nyawa saja, pendapat ini dianut
oleh Iman Syafi’i dan Imam Malik. Menurut mereka barangsiapa membunuh orang
lain dengan batu maka ia dibunuh dengan batu, bila ia membunuh dengan parang
maka pelaku juga dibunuh dengan parang.13
Ketentuan
hukuman qisas
menjadi hukuman pokok atas jarimah qisas,
namun pada keadaan tertentu hukuman qisas
itu bisa gugur dengan alasan-alasan tertentu.
1.
Amnesti oleh seluruh atau sebagian
wali korban dengan syarat bahwa pemberi amesti itu adalah sudah balig dan
tamyiz karena amesti merupakan tindakan yang otentik yang tidak bisa
dilakukannya oleh anak kecil dan orang gila.
2.
Matinya pelaku kejahatan atau tidak
adanya organ tubuh pelaku kejahatan yang akan diqisas, kalau orang yang akan menjamin qisas telah mati lebih
dahulu, maka gugurlah qisas
atasnya karena tidak bisa terselenggarakan pada saat itu yang diwajibkan
membayar diyat
yang diambil dari harta peninggalannya lalu diberikan kepada wali siterbunuh.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal.14
Sedangkan
menurut Imam Malik wali tidak berhak menuntut diyat karena hak mereka hanya jiwa.15
Dari kedua
pendapat ini karena perbedaan atas jiwa dan tanggung jawab sehingga mereka
disuruh memilih di antara jiwa atau tanggung jawab. Jadi bila salah satunya
tidak dapat dipenuhi maka wajib yang lainnya terpenuhi.
Secara garis
besar orang-orang yang memberikan pemaafan adalah mereka yang menanggung jiwa,
menurut Imam Malik adalah golongan ashabah, sedangkan fuqaha lainnya adalah
setiap orang yang mewaris karena fuqaha telah sepakat bahwa apabila korban
mempunyai anak-anak yang telah dewasa kemudian salah seorang dari mereka
memberikan pemaafan, maka qisas
menajdi batal dan yang ditetapkan adalah diyat.
Para ulama
juga berselisih pendapat tentang orang yang dibunuh dengan sengaja yakni
apabila ia memaafkan sebelum meninggal, bisakah ia diputuskan para walinya,
begitu pula orang yang dibunuh dengan tidak sengaja manakala korban memaafkan
dari dia.
Untuk
menjawab perbedaan pendapat ini dapat kita lihat pada firman Allah dalam QS.
al-Nisa’ (4) : 92,
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ
مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ
Terjemahnya:
“barangsiapa membunuh seorang mu’min
karena kesalahan, hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman
serta membayar diyat
yang diserahkan kepada walinya siterbunuh kecuali jika keluarga terbunuh
bersedekah.
Diyat itu ada dua macam yaitu diyat berat dan diyat ringan. Dari
pemabgian diyat
ini menurut Imam Syafi’i diyat
ringan diberikan kepada pembunuhan tidak sengaja dan diyat berat diberikan
kepada pembunuhan sengaja. Menurut Imam Malik dalam pembayaran diyat itu tidak boleh
utang dan cicil tetapi harus tunai dan ia pertegas lagi jangan ditunda. Menurut
Imam Malik jika diyat
itu ditetapkan damai itu tidak ada artinya, jika pembunuhan itu pembunuhan
sengaja maka diyatnya
25 ekor unta betina bin Makhadh, 25 ekor unta betina labun, 25 ekor unta siqaq
dan 25 ekor unta jadza’ah.16
Mengenai pembayaran diyat,
di antara sebagian pendapat ulama diyat
itu bisa dibayar oleh sipelaku dan juga boleh keluarga pelaku. Bagi pendapat
yang menyatakan diyat
tidak boleh dibayar oleh keluarga pelaku berdasarkan firman Allah surat Fathir
ayat 18, artinya” orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Alasan
yang lain dengan pelaku membayar diyat
sendiri memberikan pelajaran baginya agar ia merasakan beratnya diyat dan habisnya
harta. Karena membayar diyat
demikian memberikan kesadaran baginya untuk tidak lagi melakukan kejahatan yang
sama. Bagi pendapat yang menyatakan boleh kelaurga pelaku bisa membauar diyat bila pelaku sudah
meninggal lebih dahulu dan kalau keluarga korban bisa menuntut diyat maka kelaurga
pelaku juga bisa membayar diyat.
Jarimah yang
menimbulkan qisas
dalam pelaksanaan qisas
berpangkal pada pembicaraan tentang sifat-sifat beserta korban maka haruslah
terjadi qisas,
begitu pula tidak semua pembunuhan atau jarimah yang terjadi dan tidak pula
karena semua orang membunuh melainkan dari orang yang membunuh tertentu. Karena
yang dicari dalam soal ini adalah keadilan.
Para fuqaha
sudah sepakat bahwa pembunuhan yang dikenakan qisas harus memiliki syarat-syarat: si
pelaku harus berakal sehat, dewasa, bebas kemauan, dan menghendaki kematian
serta melaksanakan sendiri.17
Para ulama
sepakat bahwa tindak pidana pembunuhan adalah salah satu dari tujuh macam dosa
besar baik pembunuhan oleh orang lain maupun oleh keluarganya, begitu
pentingnyajarimah-jarimah ini sehingga mencegah setiap orang muslim menumpahkan
darah sesama muslim
Jarimah qisas itu para ulama
membagi pada tiga bagian yaitu pembunuhan sengaja yakni pembunuhan yang
direncanakan lebih dahulu dengan mempersiapkan alat yang biasa digunakan untuk
membunuh. Pembunuhan tidak sengaja yaitu pembunuhan yang tidak direncanakan
lebih dahulu untuk membunuh. Pembunuhan semi sengaja yaitu pembunuhan yang
tidak direncanakan dan akibatnya tidak dikehendaki oleh pelaku.18
Pembunuhan
sengaja ialah pembunuhan yang dengan sengaja dilakukan. Perbuatannya sedang ia
tahu bahwa perbuatan itu dilarang, kesengajaan pada pembunuhan mempunyai arti
khusus yaitu sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang dan akibatnya
dikehendaki pula.
Sedangkan
jarimah tidak sengaja yaitu melakukan perbuatan yang dilarang akan tetapi
perbuatan tersebut jarimah sebagai akibat kekeliruannya. Kekeliruan itu ada
terbagi dua.
1.
Pembuat dengan sengaja melakukan
perbuatan yang dibuat jarimah tetapi jarimah ini sama sekali tidak diniatkan.
Kekeliruan ini adakalanya terdapat pada perbuatan itu sendiri, seperti orang
yang melemparkan batu ke jalan, akan tetapi mengena orang lain yang secara
kebetulan lewat di jalan dan mengenanya.
2.
Pembuat tidak sengaja yaitu pembuat
dan jarimah yang terjadi sebagai akibat kelalaiannya, misalnya orang yang
sedang tidur di atas ranjang tingkat kemudian ia jatuh dan kena orang yang ada
di bawahnya dan mati.19
Pembunuhan
semi sengaja yaitu pembunuhan yang sama sekali tidak disengaja terjadi kematian
atas suatu perbuatan yang pada dasarnya tidak dikehendaki kematian atas suatu
perbuatan jarimah.
Memang untuk
menentukan jarimah-jarimah yang dikenakan qisas
itu amat terbatas, namun bila kita lihat cara pembunuhannya maka kita akan
menemukan banyak cara pembunuhan yang dikenakan qisas.
Pembunuhan
dengan sengaja dan berencana membunuh dan dilakukan dengan alat yang biasa
mematikan seperti parang, senjata api, pisau dan alat-alat yang menurut ukuran
umum dapat mematikan seseorang. Dalam pembunuhan seperti ini sepenuhnya
diberikan hukuman qisas.
Namun pembunuhan karena tersalah, yaitu pembunuh melakukan suatu perbuatan yang
tidak dimaksudkan untuk membunuh, malainkan hanya kekeliruan atau dengan tidak
sengajanya perbuatan tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang. Seperti
seorang pemburu yang bermaksud menembak binatang buruannya tetapi tanpa
disengaja tembakannya mengena seseorang yang sedang lewat dan orang tersebut
meninggal. Hal ini sama dengan seorang ibu mungkin tidak hati-hati ia melempar
dengan benda keras dengan maksud mengusir seekor binatan tiba-tiba benda itu
ken anaknya sendiri dan mati. Maka fuqaha
sepakat bahwa pembunuhan yang semacam adalah tidak sengaja.
Fleksibilitas Hukum Qisas
Disyari’atkan
qisas walaupun
pada lahirnya menetapkan hukuman bunuh bagi pembunuh, tetapi pada hakekatnya
dia memberikan kehidupan bagi masyarakat, dan dari sini pula ulama sepakat
untuk menyatakan bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh banyak orang harus juga
diqisas.
Walaupun mungkin yang dihilangkan itu satu nyawa saja, tetapi bila dilihat dari
segi perbuatannya maka harus diqisas.
Memang
terkadang terjadi qisas
itu sangat membahayakan, dan membiarkan tidak melakukan hukuman qisas itu adalah lebih
baik. Misalnya seorang pembunuh saudaranya karena dalam keadaan kalap, sehingga
melakukan pembunuhan sedangkan pelakunya adalah orang yang membiayainya dalam
penghidupan. Jika dilakukan hukuman qisas
kepadanya, tentu ahlul bait akan kehilangan orang yang membiayai mereka, jika
pelaku adalah orang lain yang bukan dari keluarga sendiri sebaiknya ahli waris
tidak usah menuntut hukuman qisas,
demi memotong bahaya dan mendapatkan hukuman diyat.20
Dalam kasus
seperti ini ahli waris boleh memilih antara memberi maaf atau mengambil diyat atau memberi maaf
sama sekali tanpa diyat.21
Dalam aturan Islam, jika seseorang terbunuh atau dibunuh, maka keluarga korban
diberi kesempatan mengemukakan pendapat dengan dua opsi atau pilihan, damai
atau qisas.
Kalau damai, maka si pembunuh harus membayar ganti rugi. Kalau qisas, maka pengadilan
harus memutuskan hukuman mati terhadap si pelaku itu, karena telah menghilangkan
nyawa orang lain.
Jika dipilih
berdamai, maka biaya damai itu menurut aturan Islam, si pelaku harus membayar
100 ekor unta. Kalau sekarang harga unta itu, sekitar Rp 500 juta (satu ekor
unta harganya Rp5 juta). Kalau yang dibunuh tadi meninggalkan seorang istri dan
empat anak, maka dengan uang Rp 500 juta itu, Insya Allah akan dapat membiayai
kehidupan keluarga si-korban. Sedangkan kalau dia memilih qisas (hukuman mati)
maka keluarga yang membunuh tidak akan dendam, sebab yang memutus hukuman mati,
bukan keluarga, tapi hakim yang adil, sehingga tidak akan terjadi dendam.22
Dalam
pidana qisas-diyat
terkandung unsur perlindungan hukum terhadap korban, pelaku tindak pidana, dan
masyarakat. Pelaku tindak pidana akan dikenahi pidana mati, tetapi hal ini
disepakati terlebih dahulu oleh pihak keluarga korban, namun apabila pembunuh
atau penganiaya dimaafkan oleh keluarga korban maka dia akan bebas dari pidana
mati tetapi sebagai gantinya dia harus membayar diyat (ganti rugi), yang diberikan pada
pihak keluarga korban. Hal inilah mengapa penjatuhan pidana qishos-diyat yang ada dalam
konsep hukum pidana Islam dikatakan lebih manusiawi dan lebih adil.23
Coba
bandingkan jika dalam kasus tersebut digunakan KUHP, pelaku divonis 15 sampai
20 tahun, karena pembunuhan direncanakan atau berkomplot. Lalu si pelaku
misalnya dijatuhi hukuman 15 tahun penjara , sementara keluarga korban (istri
dan anak-anaknya) akan sengsara hidupnya, karena tidak pernah diajak bicara,
atau tidak pernah dimintai pendapatnya oleh pemerintah, Maka ketika mereka
menjadi susah, tidak kuat lagi bayar kontrakan rumah. Keluarga korban menjadi
telantar tidur di kolong jembatan, dan menjadi anak-anak liar. sementara ibunya
kecewa, putus asa dan tidak menutup kemungkinan si ibu nekad bunuh diri. Akibat
lain si anak jadi liar, berandal, jadi preman, penodong, dan sebagainya, dan
tak tertutup kemungkinan akan dendam.
Pada zaman
modern ini ada orang mengatakan bahwa hukuman qisas itu sama dengan hukuman karma ini
sangat disayangkan kalau pendapat orang-orang Islam seperti itu ini menunjukkan
bahwa mereka sama sekali belum memaham hukuman qisas dengan baik. Mereka telah lupa
terhadap suatu hal yang mempunyai nilai edukatif jika diteliti secara saksama
dan kita perhatikan hukuman yang edukatif itu maka kita akan ketahui bahwa hal
ini baru bisa dilaksanakan jika seluruh umat manusia sudah mempunyai kemajuan
dalam peradaban umat manusia. Bukan ditujukan kepada satu kabilah terhadap
kabila lain atau dari orang yang mampu kepada orang yang tidak mampu. Bila kita
lihat dan cermat dapat diketahui bahwa salah satu dari tujuan hukuman qisas adalah dapat
mencegah kejahatan dan memelihara ketentraman masyarakat. Sebagai akibat dari
hukuman qisas
itu adalah gugurnya hak Allah dan hak hamba. Dengan demikian bagi pelaku
kejahatan terlepas dari siksaan api neraka di akhirat kelak asal ia bertobat
lebih dahulu.24
Dasar
penjatuan hukuman pada masa sekarang adalah rasa keadilan dan perlindungan
masyarakat. Rasa keadilan menghendaki agar suatu hukuman harus selesai sesuai
dengan besarnya kesalahan membunuh tanpa melihat keadaannya yang membahayakan
dan ini adalah hukuman dalam arti yang sebenarnya. Melindungi masyarakat agar
besarnya hukuman disesuaikan dengan keadaan pembunuh yang berbahaya
kecenderungan kepada pembunuhan tanpa melihat besarnya jarimah, dan ini adalah
tindakan pemeliharaan dan pengampunan. Sehingga yang menjadi tujuan pokok
hukuman qisas
itu adalah pencegahan, pengajaran serta pendidikan.
Untuk
menentukan suatu sandaran hukum atas suatu perbuatan jarimah ia berdasarkan
nash-nash syara’ yang menjadi pedoman dan petunjuk bagi semua perintah dan
larangan termasuk di dalamnya adalah pembunuhan dan penganiayaan. Hukuman qisas merupakan ketentuan
yang ditetapkan oleh Allah, yang dapat diberlakukan atas setiap pembunuhan
sengaja dan penganiayaan sengaja itu dijatuhi hukuman qisas atau diyat.
Untuk
melaksanakan suatu hukuman hakimlah mempunyai kekuasaan atas dasar ia ambil
sebagai pedoman dalam memutuskan suatu perkara. Oleh sebab itu kekuasaan hakim
itu terbatas pada penjatuhan hukuman yang telah ditetapkan, apabila perbuatan
yang dituduhkan sengaja malakukan qisas,
sedangkan pihak si korban memaafkan sipembunuh dengan alasan yang sah, maka
hakim harus menjatuhkan hukuman diyat
atas si pembunuh, selama sikorban memaafkan pula dari diyat maka hakim bisa
menjatuhkan hukuman ta’zir. Dengan demikian hukuman qisas itu adalah hukuman yang bisa dilihat
dari segi dasarnya sangat menakutkan dan mengerikan, akan tetapi pada tahap
pelaksanaannya tergantung pada keluarga si korban.
Penutup
Hukuman qisas merupakan hukuman
pokok yang dikenakan pada pelaku jarimah qisas
yakni pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja, hukuman qisas menurut pakar
merupakan menghilangkan jiwa pelaku, pelukaan pada angota badan, atau
penganiayaan atas diri seseorang, hukuman-hukuman dapat diterapkan dapat
dilihat dari jarimahnya masing-masing. Kalau membunuh sipelaku dapat dibunuh,
kalau melukai si pelaku dapat dilukai sehingga hukuman qisas dapat dikatakan
hukuman seimbang atau mengikuti jejak si pelaku jarimah.
Hukuman qisas merupakan hukuman
pokok atas jarimah qisas
tetapi bukan berarti hukuman qisas
itu merupakan satu-satunya hukuman yang harus dan mutlak dilaksanakan. Hukuman
Qisas dapat diganti dengan hukuman alternatif yaitu hukuman diyat, hal ini
diterapkan bila ada permintaan dari pihak korban, baik korban sendiri atau pun
kelaurga korban.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori,
Noehaiyah Hafez. Pidana
Mati Menurut Islam Cet. II; Surabaya: Al-Ikhlash, 1982.
Haliman,
Hukum Pidana Syari’at
Islam Menurut Ahlussunnah Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1970.
Ishak,
KH. Fakhrurrozy, Dibanding
KUHP Hukum Islam Lebih Efektif, dalam www.HarianTerbit.com, 19 Juni 2004
Ibnu
Rusyd, Bidayatul Mujtahid
Cet. I; Jakarta: Pustaka Aman, [t.th].
al-Maragi,
Ahmad Mustafa, Tafsir
Al-Maragi, Juz. II Cet. I; Kairo: Darul Arbiyah, 1925.
Sabiq,
Sayyid Fiqh Sunnah,
Bandung: Al-Ma’arif, [t.th].
Shiddieqy,
M. Ikhsan, Bagaimana Hukuman
Mati di Indonesia, dalam www.PikiranRakyat.com Senin16 Agustus 2004
Shihab,
Quraish, Diktat Tafsir,
Ujung Pandang: 1980.
Sutrisno,
Edy. Mengintegrasikan
Konsep Qishos-Diyat ke dalam Pasal-pasal Pembunuhan dalam Hukum Pidana, dalam
http://library.gunadarma.ac.id , 12 – 11 – 2002
Syariah
Consulting Centre, “Hukum
Pidana Islam Kejam?” dalam www.SyariahOnline.com
1 M. Ikhsan Shiddieqy, “Bagaimana Hukuman Mati di Indonesia”, dalam www.PikiranRakyat.com Senin16
Agustus 2004
6 Edy Sutrisno, “Mengintegrasikan Konsep Qishos-Diyat ke dalam
Pasal-pasal Pembunuhan dalam Hukum Pidana”, dalam http://library.gunadarma.ac.id
, 12 – 11 – 2002
7 Haliman, Hukum Pidana Syari’at Islam Menurut Ahlussunnah
(Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 10
17 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Diterjemahkan oleh A.
Hanafi dengan judul Bidayatul Mujtahid, jilid 10 (Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1970), h. 81.
22 KH. Fakhrurrozy Ishak, “Dibanding KUHP Hukum Islam Lebih Efektif”,
dalam www.HarianTerbit.com , 19
Juni 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar