A. PENDAHULUAN
Sesuai
dengan anjuran Alquran itu kini semakin jelas bahwa ketidakpedulian kaum kaya
terhadap penderitaan kaum miskin merupakan bahaya terbesar yang telah mengancam
hidup masyarakat. Dan kaum kaya sendirilah yang akan menjadi korban ancaman ini.
Sedangkan bagi kehidupan bernegara, semakin melebarnya kesenjangan sosial
antara kaya dan miskin merupakan ancaman paling utama stabilitas nasional.
Agar
hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi, Islam sejak lebih dari 14 abad lalu
telah mengantisipasi ancaman ini dengan mewajibkan mereka yang berpunya untuk
berzakat. Tak hanya itu, mereka yang berpunya juga dituntut menginfakkan
hartanya guna meringankan kehidupan kaum miskin. Sebagaimana dalam firmanNya
لَن تَنالُوا البِرَّ حَتّىٰ تُنفِقوا مِمّا تُحِبّونَ ۚ وَما تُنفِقوا مِن شَيءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَليمٌ
ِArtinya
: ''Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna)
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.'' (Q. S Ali Imran
: 92).[1]
Menurut
ajaran Islam, setiap orang miskin patut memperoleh pertolongan, dan tentu saja
merupakan tanggung jawab pemerintah dan orang yang diberi kelimpahan rezeki
untuk memberikan pertolongan itu. ''Manusia yang terbaik adalah yang paling
berguna bagi masyarakatnya,'' demikian sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah
hadis. Dalam hadis lain yang Muttafaq 'Alaih, Nabi juga bersabda, ''Pada hari
kiamat, manusia yang menduduki tempat tertinggi di sisi Allah adalah orang yang
paling banyak memajukan kesejahteraan hamba-hamba Allah.''
Kini
makin banyak dikumandangkan kehidupan yang harmonis antarmasyarakat. Untuk
menciptakan kehidupan yang demikian Islam mengingatkan agar setiap individu
saling membantu. Dengan kehidupan yang demikian, setiap individu dalam
masyarakat akan saling memperoleh manfaat dari upaya masing-masing untuk
memenuhi kebutuhan bersama mereka. Nabi SAW mengibaratkan masyarakat yang
demikian seperti satu tubuh, yang apabila satu bagian merasa sakit, bagian
lainnya turut menderita.
Islam
yang mengakui dan menjunjung tinggi hak milik seseorang tidak membenarkan
umatnya mengabaikan mengumpulkan harta. Tapi, Allah juga mengingatkan bahwa
harta benda itu merupakan ujian. Semoga hati kita tergerak untuk menaati
anjuran Allah untuk memiliki kepedulian sosial membantu mereka yang papa dan
miskin.
B. PEMBAHASAN
1) Sikap kepedulian pada zaman Rasulullah
Ada
beberapa kisah kepedulian sosial yang terjadi pada masa Rasulullah. Di suatu
tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul bersama para sahabatnya yang
kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa nama sahabat yang hampir
semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb
Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi
mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan Islam.
Serombongan
bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat
orang-orang di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya.
Mereka berkata kepada Nabi, “Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan
majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan
dari berbagai kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka
melihat kami duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda,
jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda
duduk bersama mereka sesuka Anda.”
Uyainah
bin Hishn menegaskan lagi, “Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau
jubah bulu yang dipakai sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi
kami sehingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka
sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami.” Tiba-tiba turunlah malaikat
jibril menyampaikan surat Al-An’am ayat 52:
وَلا تَطرُدِ الَّذينَ يَدعونَ رَبَّهُم بِالغَداةِ وَالعَشِيِّ يُريدونَ وَجهَهُ ۖ ما عَلَيكَ مِن حِسابِهِم مِن شَيءٍ وَما مِن حِسابِكَ عَلَيهِم مِن شَيءٍ فَتَطرُدَهُم فَتَكونَ مِنَ الظّالِمينَ
Artinya : Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang
hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. kamu tidak memikul tanggung jawab
sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab
sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir
mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).(Q.S
Al-An’am
ayat 52)[2]
Nabi
saw segera menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut
mereka merapat dengan lutut Rasulullah saw. “Salam ‘Alaikum,” kata Nabi dengan
keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.
Sejak
itu, apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan
tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis,
beliau memilih duduk dalam kelompok mereka. Seringkali beliau berkata,
“Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang
aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku.
Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat.
Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang
ukurannya 500 tahun. Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang
kaya tengah diperiksa amalnya.”
Dalam
kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa’ad al-Anshari yang
memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, “mengapa
tanganmu hitam, kasar dan melepuh?” Sa’ad menjawab, “tangan ini kupergunakan
untuk mencari nafkah bagi keluargaku.” Nabi yang mulia berkata, “ini tangan
yang dicintai Allah,” seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu.
Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para
sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
وَهَدَيناهُ النَّجدَينِ{10}فَلَا اقتَحَمَ العَقَبَةَ{11}وَما أَدراكَ مَا العَقَبَةُ{12}فَكُّ رَقَبَةٍ{13}أَو إِطعامٌ في يَومٍ ذي مَسغَبَةٍ{14}يَتيمًا ذا مَقرَبَةٍ{15}أَو مِسكينًا ذا مَترَبَةٍ{16}ثُمَّ كانَ مِنَ الَّذينَ آمَنوا وَتَواصَوا بِالصَّبرِ وَتَواصَوا بِالمَرحَمَةِ{17}أُولٰئِكَ أَصحابُ المَيمَنَةِ{18}
Artinya : Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua
jalan (10), Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (11),
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (12), (yaitu) melepaskan
budak dari perbudakan (13), Atau memberi makan pada hari kelaparan (14),
(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat (15), Atau kepada orang miskin
yang sangat fakir (16), Dan dia (Tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman
dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih saying
(17), Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan
kanan.(18). (Surat
al-Balad ayat 10 -18)[3]
Ayat-ayat
di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam memanfaatkan
harta kita. Al-Qur’an menyarankan kita untuk mengambil jalan yang sukar dan
mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim atau orang
miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan memberi
contoh jalan yang sukar.
Disebut
jalan yang sukar karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat atau merasa
sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat dan rasa sukar
pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita termasuk golongan
yang kanan; ahli surga.
Secara
tegas Allah menyebutkan dalam surat al-Ma’arij
ayat 19bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan
manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik.
Bagi saya pribadi, ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau
kita tidak memiliki harta kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau
memiliki banyak harta kita cenderung untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar
sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita tersebut tidak menjelma atau dapat
kita padamkan.
Allah
menyebutkan, paling tidak, dua jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang secara
kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung bagian
tertentu untuk fakir miskin. Dua resep ini insya Allah akan mampu memadamkan
sifat keluh kesah dan sifat kikir yang kita miliki.
Dalam
al-Qalam ayat 17-33 menceritakan bahwa Pertama, mereka lupa bahwa Allah
berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalam Q.S al-Qalam ayat 17-33 ketika mereka tidak menyebut insya Allah;
mereka merasa pasti akan meraih hasil yang luar biasa. Mereka lupa bahwa
sedetik kedepan kita tak tahu apa yang terjadi dengan hidup kita. Kita tak tahu
“skenario” Allah terhadap diri kita.
Kedua,
mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar orang miskin tak bisa
masuk ke kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada mereka. Allah turunkan
azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah
timpakan pada pemilik kebun hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat jauh
lebih besar lagi.[4]
2) Konsep kepedulian sosial dalam Islam
Konsep
kepedulian sosial dalam Islam sungguh cukup jelas dan tegas . Bila diperhatikan
dengan seksama, dengan sangat mudah ditemui dan untuk saya mengatakan bahwa
masalah kepedulian sosial dalam Islam terdapat dalam bidang akidah dan keimanan
, tertuang jelas dalam syari’ah serta jadi tolok ukur dalam akhlak seorang
mukmin.
Begitu juga
Allah menghargai mereka yang melaksanakan amal sosial dalam kontek kepedulian
sosial tersebut sebagaimana juga Alah sangat mengecam mereka yang tidak
mempunyai rasa kepedulian sosial.
1. Dari Dimensi Aqidah dan Keimanan.
Iman kepada Allah merupakan rukun utama dan pertama dalam Islam.
Bagaimana implikasi kepada Allah dijelaskan oleh Al−Quran dan hadis. Salah
satunya berkaitan dengan kepedulian sosial.antara lain, misalnya surah al−Anfal
ayat 2:
“Sesungguhnya orang−orang beriman itu hanyalah (1). mereka yang jika
disebut nama Allah gemeyat hatinya. (2) dan apabila dibacakan kepadanya
bertambah keimanannya (3) dan mereka bertawakkal kepadanya.(4) Mereka yang
melaksanakan sholat dan (5) menafkahkan sebagian harta yang diberikan kepada
mereka…”
Jadi menafkahkan sebagian harta (no:5) untuk orang lain termasuk
indikasi/ukuran bagi keimanan sesorang dalam kehidupan ini.Hadis−hadis yang
menekan hal ini cukup banyak antara lain Siapa yang beriman dengan Allah dan
hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamu/tetangga.
2. Dari Dimensi Syari’ah/Hukum
Dalam Islam, para pemberontak negara haru diperangi sampai habis total
dan tuntas.Termasuk disini adalah mereka yang tak mau bayar zakat.Artinya tidak
mau bayar zakat merupakan kesalahan besar di mata hukum Islam. Islam juga
mewajibkan amar makruf nahi mungkar yang kesemuanya terkait dengan hukum dan
segala konsekwensinya. Orang yang yang tidak memberi makan fakir miskin dapat
terjerat vonis pedusta agama.
3. Dimensi Akhlak
Dalam Islam seseorang dianggap mulia, jika ia memelihara anak yatim.
Orang yang paling disenangi Allah adalah mereka yang paling dermawan.
Orang−oarang yang berinfaq/bersedekah diberi ganjaran pahala sampai 70 x lipat.
Dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa Allah akan selalu membantu hambaNya
selama hamba tersebut membantu saudaranya. Pada hadis lain Rasulullah menyebutkan,
bahwa bakhil itu sifat tercela dan pemboros itu adalah kawan−kawan setan.
Jika
dibahas secara terinci, tentang kepedulian Islam terhadap masalah sosial maka
kita akan menemukan bahwa ternyata amal ibadah secara umum lebih banyak
berurusan dengan hamblum minannas ketimbang hablum minallah. Cuma kesemuanya
itu harus dikunci dengan prinsip utama.[5]
C. Analisis
Bahwa
Allah dalam fir,man – firmannya menyuruh umatnya untuk saling mengasuhi dan
memperdulikan sesame. Ini terbukti dari ayat – ayat yang pemakalah sajikan
menyuruh untuk menghargai dan memperdulikan sesame.
Oleh
karenanya, kita sebagai umat muslim harus peka terhadap keadaan sekitar.
Perhatikan setiam orang muslimm yang kekurangan dan butuh pertolongan.
Konsep
kepedulian sosial dalam Islam sungguh cukup jelas dan tegas. bahwa masalah
kepedulian sosial dalam Islam terdapat dalam bidang akidah dan keimanan ,
tertuang jelas dalam syari’ah serta jadi tolok ukur dalam akhlak seorang
mukmin.
1. Dari Dimensi Aqidah dan Keimanan.
2. Dari Dimensi Syari’ah/Hukum
3. Dimensi Akhlak
D. Sumber
Al-Quran
Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan
irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al
Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja
Fadh), Medina Al – Munawwarah
Shiahab, M.
Quraisy, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.
Novi Hardian dan
Tim ILNA Learning Center, Panduan Keislaman untuk Remaja, Super Mentoring.
http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/15/kepedulian-sosial-dalam-islam/
[1]
Al-Quran Ali Imran : 92, Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan
irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al
Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja
Fadh), Medina Al – Munawwarah, Hal. 212
[2]
Al-Quran Al-An’am ayat
52, Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan
irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al
Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja
Fadh), Medina Al – Munawwarah, Hal. 278
[3]
Al-Quran Al-Balad, Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan
irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al
Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja
Fadh), Medina Al – Munawwarah, Hal. 1783
[5]
Novi Hardian dan Tim ILNA Learning Center, Panduan
Keislaman untuk Remaja, Super Mentoring, Jakarta, Pustaka Ilmu, 2009, Hal.
43
Tidak ada komentar:
Posting Komentar