Laman

Senin, 30 Desember 2013

Islam dan Kepedulian Sosial

A.      PENDAHULUAN
       Sesuai dengan anjuran Alquran itu kini semakin jelas bahwa ketidakpedulian kaum kaya terhadap penderitaan kaum miskin merupakan bahaya terbesar yang telah mengancam hidup masyarakat. Dan kaum kaya sendirilah yang akan menjadi korban ancaman ini. Sedangkan bagi kehidupan bernegara, semakin melebarnya kesenjangan sosial antara kaya dan miskin merupakan ancaman paling utama stabilitas nasional.
      Agar hal-hal yang tidak diinginkan itu terjadi, Islam sejak lebih dari 14 abad lalu telah mengantisipasi ancaman ini dengan mewajibkan mereka yang berpunya untuk berzakat. Tak hanya itu, mereka yang berpunya juga dituntut menginfakkan hartanya guna meringankan kehidupan kaum miskin. Sebagaimana dalam firmanNya
لَن تَنالُوا البِرَّ حَتّىٰ تُنفِقوا مِمّا تُحِبّونَ ۚ وَما تُنفِقوا مِن شَيءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَليمٌ
ِArtinya : ''Kamu sekali-kali tidak akan sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.'' (Q. S Ali Imran : 92).[1]
      Menurut ajaran Islam, setiap orang miskin patut memperoleh pertolongan, dan tentu saja merupakan tanggung jawab pemerintah dan orang yang diberi kelimpahan rezeki untuk memberikan pertolongan itu. ''Manusia yang terbaik adalah yang paling berguna bagi masyarakatnya,'' demikian sabda Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis. Dalam hadis lain yang Muttafaq 'Alaih, Nabi juga bersabda, ''Pada hari kiamat, manusia yang menduduki tempat tertinggi di sisi Allah adalah orang yang paling banyak memajukan kesejahteraan hamba-hamba Allah.''
     Kini makin banyak dikumandangkan kehidupan yang harmonis antarmasyarakat. Untuk menciptakan kehidupan yang demikian Islam mengingatkan agar setiap individu saling membantu. Dengan kehidupan yang demikian, setiap individu dalam masyarakat akan saling memperoleh manfaat dari upaya masing-masing untuk memenuhi kebutuhan bersama mereka. Nabi SAW mengibaratkan masyarakat yang demikian seperti satu tubuh, yang apabila satu bagian merasa sakit, bagian lainnya turut menderita.
           Islam yang mengakui dan menjunjung tinggi hak milik seseorang tidak membenarkan umatnya mengabaikan mengumpulkan harta. Tapi, Allah juga mengingatkan bahwa harta benda itu merupakan ujian. Semoga hati kita tergerak untuk menaati anjuran Allah untuk memiliki kepedulian sosial membantu mereka yang papa dan miskin.

B.       PEMBAHASAN
1)     Sikap kepedulian pada zaman Rasulullah
      Ada beberapa kisah kepedulian sosial yang terjadi pada masa Rasulullah. Di suatu tempat terlihat Rasulullah saw berkumpul bersama para sahabatnya yang kebanyakan orang miskin. Sekedar menyebut beberapa nama sahabat yang hampir semuanya bekas budak, yaitu Salman al-Farisi, Ammar bin Yasir, Bilal, Suhayb Khabab bin Al-Arat. Pakaian mereka lusuh, berupa jubah bulu yang kasar. Tetapi mereka adalah sahabat senior Nabi, para perintis perjuangan Islam.
     Serombongan bangsawan yang baru masuk islam datang ke majelis Nabi. Ketika melihat orang-orang di sekitar Nabi, mereka mencibir dan menunjukkan kebenciannya. Mereka berkata kepada Nabi, “Kami mengusulkan kepada Anda agar Anda menyediakan majelis khusus bagi kami. Orang-orang Arab akan mengenal kemuliaan kita. Para utusan dari berbagai kabilah arab akan datang menemuimu. Kami malu kalau mereka melihat kami duduk dengan budak-budak ini. Apabila kami datang menemui Anda, jauhkanlah mereka dari kami. Apabila urusan kami sudah selesai, bolehlah anda duduk bersama mereka sesuka Anda.”
      Uyainah bin Hishn menegaskan lagi, “Bau Salman al-Farisi mengangguku (Ia menyindir bau jubah bulu yang dipakai sahabat nabi yang miskin). Buatlah majelis khusus bagi kami sehingga kami tidak berkumpul bersama mereka. Buat juga majelis bagi mereka sehingga mereka tidak berkumpul bersama kami.” Tiba-tiba turunlah malaikat jibril menyampaikan surat Al-An’am ayat 52:
وَلا تَطرُدِ الَّذينَ يَدعونَ رَبَّهُم بِالغَداةِ وَالعَشِيِّ يُريدونَ وَجهَهُ ۖ ما عَلَيكَ مِن حِسابِهِم مِن شَيءٍ وَما مِن حِسابِكَ عَلَيهِم مِن شَيءٍ فَتَطرُدَهُم فَتَكونَ مِنَ الظّالِمينَ
Artinya : Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaanNya. kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka, (sehingga kamu termasuk orang-orang yang zalim).(Q.S Al-An’am ayat 52)[2]

      Nabi saw segera menyuruh kaum fukara duduk lebih dekat lagi sehingga lutut-lutut mereka merapat dengan lutut Rasulullah saw. “Salam ‘Alaikum,” kata Nabi dengan keras, seakan-akan memberikan jawaban kepada usul para pembesar Quraisy.
      Sejak itu, apabila kaum fukara ini berkumpul bersama Nabi, beliau tidak meninggalkan tempat sebelum orang-orang miskin itu pergi. Apabila beliau masuk ke majelis, beliau memilih duduk dalam kelompok mereka. Seringkali beliau berkata, “Alhamdulillah, terpuji Allah yang menjadikan di antara umatku kelompok yang aku diperintahkan bersabar bersama mereka. Bersama kalianlah hidup dan matiku. Gembirakanlah kaum fukara muslim dengan cahaya paripurna pada hari kiamat. Mereka mendahului masuk surga sebelum orang-orang kaya setengah hari, yang ukurannya 500 tahun.       Mereka bersenang-senang di surga sementara orang-orang kaya tengah diperiksa amalnya.”
Dalam kesempatan lain Nabi bertemu dengan seorang sahabat, Sa’ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuh karena kerja keras. Nabi bertanya, “mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh?” Sa’ad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku.” Nabi yang mulia berkata, “ini tangan yang dicintai Allah,” seraya mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh itu. Bayangkanlah, Nabi yang tangannya selalu berebut untuk dicium oleh para sahabat, kini mencium tangan yang hitam, kasar dan melepuh.
وَهَدَيناهُ النَّجدَينِ{10}فَلَا اقتَحَمَ العَقَبَةَ{11}وَما أَدراكَ مَا العَقَبَةُ{12}فَكُّ رَقَبَةٍ{13}أَو إِطعامٌ في يَومٍ ذي مَسغَبَةٍ{14}يَتيمًا ذا مَقرَبَةٍ{15}أَو مِسكينًا ذا مَترَبَةٍ{16}ثُمَّ كانَ مِنَ الَّذينَ آمَنوا وَتَواصَوا بِالصَّبرِ وَتَواصَوا بِالمَرحَمَةِ{17}أُولٰئِكَ أَصحابُ المَيمَنَةِ{18}
Artinya :  Dan kami Telah menunjukkan kepadanya dua jalan (10), Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar (11), Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (12), (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan (13), Atau memberi makan pada hari kelaparan (14), (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat (15), Atau kepada orang miskin yang sangat fakir (16), Dan dia (Tidak pula) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih saying (17), Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.(18). (Surat al-Balad ayat 10 -18)[3]
       Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa ada dua jalan yang bisa kita pakai dalam memanfaatkan harta kita. Al-Qur’an menyarankan kita untuk mengambil jalan yang sukar dan mendaki, yaitu memerdekakan budak atau memberi makan pada anak yatim atau orang miskin. Allah tidak menjelaskan tentang jalan yang mudah, melainkan memberi contoh jalan yang sukar.
        Disebut jalan yang sukar karena kebanyakan manusia enggan atau merasa berat atau merasa sukar untuk melakukannya. Bila kita mampu mengalahkan rasa berat dan rasa sukar pada diri kita dalam beramal, maka Allah menjanjikan kita termasuk golongan yang kanan; ahli surga.
          Secara tegas Allah menyebutkan dalam surat al-Ma’arij  ayat 19bahwa keluh kesah dan kikir itu telah menjadi sifat bawaan manusia sejak ia diciptakan. Allah melukiskan sifat manusia dengan sangat baik. Bagi saya pribadi, ayat di atas telah menelanjangi sifat kita. Bukankah kalau kita tidak memiliki harta kita sering berkeluh kesah, sebaliknya, kalau memiliki banyak harta kita cenderung untuk kikir. Lalu bagaimana caranya agar sifat bawaan (keluh kesah & kikir) kita tersebut tidak menjelma atau dapat kita padamkan.
         Allah menyebutkan, paling tidak, dua jalan. Pertama, mengerjakan sembahyang secara kontinu. Kedua, menyadari bahwa dalam harta yang kita miliki terkandung bagian tertentu untuk fakir miskin. Dua resep ini insya Allah akan mampu memadamkan sifat keluh kesah dan sifat kikir yang kita miliki.
      Dalam al-Qalam ayat 17-33 menceritakan bahwa Pertama, mereka lupa bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Ini dilukiskan dalam Q.S al-Qalam ayat 17-33  ketika mereka tidak menyebut insya Allah; mereka merasa pasti akan meraih hasil yang luar biasa. Mereka lupa bahwa sedetik kedepan kita tak tahu apa yang terjadi dengan hidup kita. Kita tak tahu “skenario” Allah terhadap diri kita.
      Kedua, mereka bersifat kikir. Mereka sudah bersiap-siap agar orang miskin tak bisa masuk ke kebun mereka saat panen tiba. Allah murka pada mereka. Allah turunkan azab-Nya pada mereka. Di akhir ayat Allah mengingatkan bahwa azab yang Allah timpakan pada pemilik kebun hanyalah azab dunia; sedangkan azab akherat jauh lebih besar lagi.[4]
2)     Konsep kepedulian sosial dalam Islam
     Konsep kepedulian sosial dalam Islam sungguh cukup jelas dan tegas . Bila diperhatikan dengan seksama, dengan sangat mudah ditemui dan untuk saya mengatakan bahwa masalah kepedulian sosial dalam Islam terdapat dalam bidang akidah dan keimanan , tertuang jelas dalam syari’ah serta jadi tolok ukur dalam akhlak seorang mukmin.
     Begitu juga Allah menghargai mereka yang melaksanakan amal sosial dalam kontek kepedulian sosial tersebut sebagaimana juga Alah sangat mengecam mereka yang tidak mempunyai rasa kepedulian sosial.
1. Dari Dimensi Aqidah dan Keimanan.
Iman kepada Allah merupakan rukun utama dan pertama dalam Islam. Bagaimana implikasi kepada Allah dijelaskan oleh Al−Quran dan hadis. Salah satunya berkaitan dengan kepedulian sosial.antara lain, misalnya surah al−Anfal ayat 2:
“Sesungguhnya orang−orang beriman itu hanyalah (1). mereka yang jika disebut nama Allah gemeyat hatinya. (2) dan apabila dibacakan kepadanya bertambah keimanannya (3) dan mereka bertawakkal kepadanya.(4) Mereka yang melaksanakan sholat dan (5) menafkahkan sebagian harta yang diberikan kepada mereka…”
Jadi menafkahkan sebagian harta (no:5) untuk orang lain termasuk indikasi/ukuran bagi keimanan sesorang dalam kehidupan ini.Hadis−hadis yang menekan hal ini cukup banyak antara lain Siapa yang beriman dengan Allah dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamu/tetangga.
2. Dari Dimensi Syari’ah/Hukum
Dalam Islam, para pemberontak negara haru diperangi sampai habis total dan tuntas.Termasuk disini adalah mereka yang tak mau bayar zakat.Artinya tidak mau bayar zakat merupakan kesalahan besar di mata hukum Islam. Islam juga mewajibkan amar makruf nahi mungkar yang kesemuanya terkait dengan hukum dan segala konsekwensinya. Orang yang yang tidak memberi makan fakir miskin dapat terjerat vonis pedusta agama.
3. Dimensi Akhlak
Dalam Islam seseorang dianggap mulia, jika ia memelihara anak yatim. Orang yang paling disenangi Allah adalah mereka yang paling dermawan. Orang−oarang yang berinfaq/bersedekah diberi ganjaran pahala sampai 70 x lipat. Dalam hadis Rasulullah disebutkan bahwa Allah akan selalu membantu hambaNya selama hamba tersebut membantu saudaranya. Pada hadis lain Rasulullah menyebutkan, bahwa bakhil itu sifat tercela dan pemboros itu adalah kawan−kawan setan.
Jika dibahas secara terinci, tentang kepedulian Islam terhadap masalah sosial maka kita akan menemukan bahwa ternyata amal ibadah secara umum lebih banyak berurusan dengan hamblum minannas ketimbang hablum minallah. Cuma kesemuanya itu harus dikunci dengan prinsip utama.[5]

C.      Analisis
    Bahwa Allah dalam fir,man – firmannya menyuruh umatnya untuk saling mengasuhi dan memperdulikan sesame. Ini terbukti dari ayat – ayat yang pemakalah sajikan menyuruh untuk menghargai dan memperdulikan sesame.
      Oleh karenanya, kita sebagai umat muslim harus peka terhadap keadaan sekitar. Perhatikan setiam orang muslimm yang kekurangan dan butuh pertolongan.
Konsep kepedulian sosial dalam Islam sungguh cukup jelas dan tegas. bahwa masalah kepedulian sosial dalam Islam terdapat dalam bidang akidah dan keimanan , tertuang jelas dalam syari’ah serta jadi tolok ukur dalam akhlak seorang mukmin.
1. Dari Dimensi Aqidah dan Keimanan.
2. Dari Dimensi Syari’ah/Hukum
3. Dimensi Akhlak
D.      Sumber
*        Al-Quran Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja Fadh), Medina Al – Munawwarah
*        Shiahab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007.
*        Novi Hardian dan Tim ILNA Learning Center, Panduan Keislaman untuk Remaja, Super Mentoring.
*        http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/15/kepedulian-sosial-dalam-islam/


[1] Al-Quran Ali Imran : 92, Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja Fadh), Medina Al – Munawwarah, Hal. 212
[2] Al-Quran Al-An’am ayat 52, Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja Fadh), Medina Al – Munawwarah, Hal. 278
[3] Al-Quran Al-Balad, Departemen urusan agama Islam, wakaf, dakwah dan irsyad kerajaan Saudi Arabia, yang menaungi Mujamma’malik Fahd Li Thiba’at Al Mush Haf Asy Syarif (kompleck percetakan Al – Qur’anul karim kepunyaan Raja Fadh), Medina Al – Munawwarah, Hal. 1783
[4] Shiahab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007, hal 67
[5] Novi Hardian dan Tim ILNA Learning Center, Panduan Keislaman untuk Remaja, Super Mentoring, Jakarta, Pustaka Ilmu, 2009, Hal. 43

Tidak ada komentar:

Posting Komentar