Disusun Guna Memenuhi Tugas
MataKuliah : Masail Fiqhyah
Dosen Pengampu : Abdul Haris Na’im
Disusun oleh:
1.
Syukriya Fahrun
Nissa’ :212411
2.
Nor Sholikhah :212430
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pembagian
harta pusaka yang dalam fiqh dikenal dengan harta waris, merupakan salah satu
fenomena yang belum tuntas dan selalu mengundang polemik. Dikatakan demikian,
karena dengan waris, sebagian orang cenderung meragukan agama sebagai pioner
pemberantas ketidakadilan. Agama dinilai tidak memperhatikan supremasi
(kekuatan) budaya yang berkembang ditengah masyarakat, atau juga sebagai
pendongkel tanpa membawa kebudayaan baru yang lebih bersih.
Dari literatur yang
ada, secara bahasa warits berasal dari kata waritsa, yang berarti adanya
perpindahan harta dari satu pihak ke pihak yang lain. Dalam istilah syara’
warits adalah perpindahan kepemilikan dari orang yang telah meninggal dunia
kepada orang yang masih hidup.[1]
Dapat juga diartikan, membagi-bagikan harta pusaka kepada mereka yang berhak.
Orang-orang yang berhak itu berasal dari keluarga dekat si mayit. Karena itu
pada hakikatnya, membagi-bagikan harta pusaka berarti urusan intern dalam suatu
keluarga. Tidak ada hubungannya dengan masyarakat secara umum. Hal ini berlaku
karena aturan-aturan tersebut telah digariskan secara tegas dalam al-Qur’an.
Ayat-ayat tentang warisan bersifat qath’i (pasti) dan harus dilaksanakan
oleh semua umat islam. Namun mereka menganggap konsep mawarits tidak adil.
Lebih menguntungkan satu pihak, sementara yang lain harus menerima kerugian
sebab mendapat bagian yang lebih sedikit.karena itu, aturan waris harus diubah,
diganti dengan ketentuan baru yang lebih mengedepankan keadilan di antara para
ahli waris.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana mawaris
pada masa Nabi?
2. Bagaimana mawaris
pada masa sekarang?
C.
Tujuan
1. Untuk mengetahui
letak ketidakadilan dalam fiqh mawaris.
2. Untuk mengetahui
perbedaan mawaris dari masa nabi sampai sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mawarits pada Masa Nabi
Pada masa sebelum
islam, masalah pembagian harta warisan telah berlaku dikalangan orang arab. Saat
itu, ada tiga jalur yang digunakan untuk memperoleh harta pusaka. Pertama,
melalui jalur keturunan. Dalam hal ini, hanya anak laki-laki yang berhak
mendapat harta. Yang menjadi patokan untuk memberikan harta warisan adalah
setiap orang yang mampu mengangkat senjata, meranpas harta musuh serta mampu
membanting tulang demi kepentingan keluarga. Tentunya, pada waktu itu, yang
dapat melakukan semua pekerjaan ini adalah kaum laki-laki. Sedangkan perempuan
tidak dapat melaksanakannya. Karenanya, hak waris tidak dapat diberikan kepada
mereka.[2]
Kedua, melalui jalur adopsi. Anak laki-laki yang diadopsi akan
mendapatkan hak-hak layaknya anak kandung. Dan ketiga, dengan cara half
wa al-‘ahd (melakukan sumpah dan perjanjian). Seorang laki-laki yang
melakukan perjanjian untuk saling membantu, saling seiya-sekata, atau saling
mewarisi, akan mendapat bagian dari harta yang ditinggalkan oleh temannya.[3]
Pada awal islam
datang, sebagian budaya arab tersebut dilegitimasi oleh islam. Terbukti dengan
adanya ayat yang menunjukkan waris karena faktor nasab dan faktor perjanjian.[4]
Namun, ada perbedaan yang cukup mendasar. Kalau pada masa pra islam, perempuan
tidak mendapat apa-apa. Bahkan kadang perempuan dianggap sebagai harta pusaka.
Tetapi dalam ketentuan islam, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya
mendapat bagian. Inilah salah satu cara islam untuk mewujudkan keadilan.[5]
Dalam hal ini,
Allah SWT berfirman:
لِلرِّجالِ نَصيبٌ مِمّا تَرَكَ الوالِدانِ وَالأَقرَبونَ وَلِلنِّساءِ نَصيبٌ مِمّا تَرَكَ الوالِدانِ وَالأَقرَبونَ مِمّا قَلَّ مِنهُ أَو كَثُرَ ۚ نَصيبًا مَفروضًا
“bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu
bapak dan kerabatnya. Dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan bapak, ibu dan kerabatnya. Baik sedikit atau banyak menurut
ketentuan yang telah detetapkan”.[6]
Ini adalah salah
satu bukti nyata bahwa islam sangat memperhatikan hak-hak perempuan. Mereka
diberi kududukan yang setara dengan laki-laki. Kaum wanita diberi bagian harta
waris sebagaimana laki-laki mendapat warisan. Namun, bagian yang mereka terima tidak
sama persis dengan hak yang didapat oleh laki-laki. Wanita mendapat bagian
lebih kecil dari harta yang diterima laki-laki. Sebagaimana firman Allah SWT:
يوصيكُمُ اللَّهُ في أَولادِكُم ۖ لِلذَّكَرِ مِثلُ حَظِّ الأُنثَيَينِ ۚ فَإِن كُنَّ نِساءً فَوقَ اثنَتَينِ فَلَهُنَّ ثُلُثا ما تَرَكَ ۖ وَإِن كانَت واحِدَةً فَلَهَا النِّصفُ ۚ
“Allah
mensyariatkan bagimu tentang (pembagian
pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan dua
orang perempuan”.[7]
Ketika ayat ini
turun, masyarakat gaduh, ribut, dan marah. Kata mereka: “Bagaimana ini,
perempuan diberi ¼ dan 1/8 bagian, anak perempuan diberi ½ bagian. Mana mungkin
bisa seperti ini, bukankah perempuan tidak ikut berperang apalagi mengambil
harta rampasan. Sebagian mereka lalu berkata: “Sudah biarkan saja barangkali
nanti Rasulullah melupakannya. Jika tetap tidak diubah, kita demonstrasi saja
agar beliau menggagalkan keputusan itu”. Sebagian yang lain menyatakan: “Hai rasul,
apakah kami harus member budak perempuan ½ bagian harta peninggalan ayahnya,
padahal dia bukanlah pemacu kuda dan tidak dapat berperang? Juga apakah kami
harus memberi anak-anak yang tidak member kekayaan sedikitpun? Padahal
kebiasaan jahiliyah hanya memberikan bagian harta pusaka kepada siapa yang
mampu berperang.[8]
Terlihat
jelas usaha Rasulullah untuk mengangkat harkat martabat kaum perempuan mendapat
tantangan yang tidak ringan dari masyarakat arab. Namun hal itu tidak
menjadikan rasul patah semangat. Dalam masalah harta pusaka, beliau tetap
menetapkan perempuan mendapat harta pusaka yang ditinggalkan keluarganya. Yakni
dengan pembagian dua banding satu.
B.
Mawarits pada Masa Sekarang
Diakhir ayat QS.
al-Nisa’: 11 tersebut disebutkan kalimat “faridhah min Allah” (ketentuan
yang sudah pasti dari Allah). Ini berarti bahwa bagian-bagian yang telah
disebutkan merupakan ketentuan Allah. Sebagai ketentuan, ia harus diikuti dan
dilaksanakan oleh siapa saja yang taat kepadaNya. Orang yang melanggalahar akan
diberi siksa yang amat pedih dan menyakitkan. Sebagaimana peringatan dan
ancamanNya pada ayat 14 dalam surat yang sama. Ancaman yang dimaksudkan disini
dalam rangka member semangat kepada orang yang taat agar bertambah yakin.
Benar-benar sebagai ancaman bagi mereka yang durhaka.
Dalam tafsirnya,
al- Razy menyebutkan bahwa ketentuan (bagian-bagian yang dibuat) Allah itu
lebih utama diikuti daripada mengikuti kemauan setiap individu, mengingat Allah
lebih mengetahui segala sesuatu. Dia maha tahu akibat yang baik (maslahah)
sekaligus yang buruk (mafsadah) dari pembagian tersebut. Selanjutnya ketika
mengomentari ayat 14 pada surat tersebut, beliau mengatakan bahwa orang yang
melanggar ketentuan Allah dalam masalah warisan itu ada dua bentuk. Pertama,
orang-orang yang masih mengakui kebenaran hokum tersebut, bahwa ilmu fara’id
merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan oleh setiap umat islam. Namun
mereka enggan untuk menerapkannya. Kedua, orang-orang yang berkeyakinan
bahwa hukum waris yang ditawarkan islam tidak dapat menjamin
maslahah manusia. Karena didalamnya tidak mengandung maslahah yang sesuai
dengan kebutuhan hamba.[9]
Dari pengertian
al-Razi, bisa dipahami jika sebenarnya mengikuti ketentuan tersebut merupakan
suatu keharusan bagi tiap umat islam. Hukum itu datang langsung dari tuhan yang mengetahui segala
urusan hambanya. Jika di dalamnya terkandung ketentuan yang bertentangan dengan
kemaslahatan manusia, mungkin saja karena manusianya belum mampu menemukan
hikmah dan esensi terdalam dari hukum tersebut.
Namun persoalannya
tidak sampai disini. Ada pertanyaan yang belum terjawab. Benarkah seperti itu?
Apakah memang benar ketentuan seperti ini bersifat paten dan harus dilaksanakan
dalam kondisi apapun, atau dalam masyarakat apapun? Apakah pada masyarakat lain
tidak terbuka peluang untuk membuat aturan baru yang ‘menyimpang’ dari
ketentuan yang telah diajarkan Tuhan?
Untuk menjawab
persoalan ini, ada baiknya jika kita beranjak sejenak menuju dunia sosiologi.
Disana akan kita temukan bahwa ada tiga bentuk masyarakat. Pertama,
masyarakat patrinial, yakni sistem masyarakat dipimpin para laki-laki. Pada model ini,
posisi kaum pria berada diatas kaum wanita. Kedua, masyarakat matrinial,
yakni masyarakat yang dipimpin oleh kaum wanita. Ketiga, masyarakat bilateral,
masyarakat yang beranggapan bahwa kaum laki-laki dan perempuan mempunyai
kedudukan yang setara dalam segala bidang.
Dari ketiga model
ini, masyarakat arab ketika itu menganut sistem pertama. Ini bisa terdeteksi dengan tingkah polah
mereka yang memandang rendah kedudukan kaum wanita. Bahlan diantara mereka ada
yang malu memiliki anak perempuan, sehingga harus mengubur hidup-hidup setiap
anak permpuan yang baru lahir. Kenyataan seperti ini sebagaimana diceritakan
oleh al-Quran:
“Dan apabila mereka diberi kabar tentang kelahiran anak
perempuan, maka hitamlah (merah-padamlah) mukanya. Dan mereka sangat marah. Ia
menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah dia akan merawat anak tersebut dengan menanggung kehinaan, ataukah akan menguburnya
(hidup-hidup)? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.[10]
Dalam kondisi
masyarakat seperti inilah ayat-ayat al-Quran diturunkan. Maka, jika ingin
mendapat respon respon dari masyarakat arab,
al-Quran harus mengikuti tradisi mereka. Dalam masalah pembagian harta
warisan, al-Quran harus dapat ‘menyesuaikan diri’ dengan tradisi yang berlaku
di masyarakat arab.[11]
Karena itu, pembagian satu banding dua merupakan respon al-Quran terhadap
tradisi arab waktu itu. Dan merupakan hasil kompromi antara al-Quran yang
menginginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dengan tradisi arab yang
memarginalkan kaum wanita.
Disamping itu,
dalam kajian ushul fiqh kita kenal istilah takhsih bi al-aql.
Yakni mengecualikan beberapa
persoalan hokum yang tidak dapat diterima nalar sehat. Setiap kejadian yang
tidak dapat diterima akal adalah tidak masuk pada keumuman ayat serta tidak
dapat diikut-sertakan dalam hokum Tuhan.[12]
Dalam masalah harta pusaka, hukum fara’id yang dijelaskan dalam al-Quran
diturunkan pada masyarakat patrinial. Karena itu ketentuan tersebut tidak dapat
diberlakukan pada model masyarakat lainnya. Sangat sulit, bahkan tidak mungkin
memberlakukan hukum tersebut pada masyarakat matrinial ataupun bilateral yang memiliki
corak dan karakteristik masyarakat yang sangat berbeda. Maka konsep mawaris
yang terdapat dalam al-quran merupakan panduan untuk masyarakat patrinial.
Yakni masyarakat yang meminggirkan kaum wanita agar jangan sampai hak mereka
dihilangkan secara total.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Pada masa sebelum
islam, pembagian
harta warisan melalui ada tiga jalur yang digunakan
yaitu, melalui jalur
keturunan. Jalur adopsi.
Dan
dengan cara half wa al-‘ahd (melakukan sumpah dan
perjanjian). Pada
awal islam datang, baik laki-laki maupun perempuan, semuanya mendapat bagian. Inilah salah
satu cara islam untuk mewujudkan keadilan. islam sangat memperhatikan hak-hak
perempuan. Mereka diberi kududukan yang setara dengan laki-laki.
Namun, bagian yang mereka terima tidak sama. Wanita mendapat bagian lebih kecil dari harta yang
diterima laki-laki.
Dengan demikian, hukum waris dalam islam tidak paten. Masih ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan, seperti kondisi sosio-kultural yang ada dalam
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Yazid,
Abu, Fiqh Realitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Thalib,
Sajuti, Hukum Kewarisan Islam Indonesia, Jalarta: Sinar Grafika, 2004.
Al-Quran dan Terjemahannya
Mahmud Junus, Hukum Waris Dalam Islam, Pustaka
Muhammadiyah, Jakarta.
[1]
Muhammad Ali al-Shabuni,
al-Mawarits Fi al-Syari’ah al-Islamiyyah fi Dlau’ al-kitab wa al-Sunnah. (‘Alam
al-kutub, 1979) 31-32
[2]
Lihat al-Shabuni, al-Mawarits
[3]
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz IV, 194
[4]
QS. An-Nisa’ (4), 33
[5]
Al-Razi, Tafsir Kabir, juz V, 211
[6]
QS. An-Nisa’ (4), 7
[7]
QS. An-Nisa’ (4), 11
[8]
Abi Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Quran,
juz IV
[9]
Al-Razi, tafsir kabir, juz IX, 177-185
[10]
QS. al-Nahl, (16), 58-59
[11]
Kairo: al-Hai’ah al-Mishriyah al-Ammah Fi al-Kitab, 1993, 27-29
[12]
Al-Dairani, Manahij al-Ushuliyyah, 451
Tidak ada komentar:
Posting Komentar